Maklumat dan Putusnya Urat Takut Umat ditulis Bekti Sawiji, Mahasiswa S3 Universitas Negeri Islam (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang.
PWMU.CO – M. Rifqi Rosyidi—Wakil Ketua Lembaga Pengembangan Pesantren (LP2) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur—geram kepada para pimpinan Muhammadiyah di semua level yang tidak patuh dengan Maklumat PP Muhammadiyah tentang pelaksanaan shalat Idul Fitri di rumah lewat tulisan Maklumat PP: Hifdzun Nufus Vs Hidzun Fulus.
Banyak pimpinan yang masih tetap menyelenggarakan salat Idul Fitri berjamaah di Masjid. Menurut Rifqi, hal ini merupakan bentuk pembusukan internal organisasi dan sangat mencederai Muhammadiyah sebagai organisasi besar.
Jauh sebelum pelaksanaan salat Idul Fitri, saya merasakan atmosfir yang mulai kurang nyaman dalam hal peribadahan umat muslim akibat pandemi Covid-19.
Saat itu, saya mengirim pesan WhatsApp (WA) kepada teman yang menjadi takmir masjid dengan pertanyaan yang terlalu luas, “Mas, bagaimana masjid?” Maksud saya adalah ingin tahu apakah malam itu, hari pertama bulan Ramadhan, takmir masjid menyelenggarakan shalat Tarawih.
Pertanyaan tersebut tidak kunjung dijawab hingga masuk waktu Isya. Meskipun belum dijawab saya sudah memutuskan untuk shalat Isya dan Tarawih di rumah dengan keluarga. Jadi pertanyaan itu sekadar ingin tahu apakah masjid tempat saya sering berjamaah itu mengikuti imbauan dari organisasi, ulama, dan umara (pemerintah).
Sebelumnya deras beredar di WA imbauan pemerintah maupun organisasi masyarakat keagamaan agar semua ritual peribadatan Ramadhan diselenggarakan di rumah.
Akhirnya WA saya baru dijawab sekitar pukul 20.00. Jawabannya menggelikan. Dia mengatakan masjid baik-baik saja sambil dibubuhi emoji tertawa khas WA. Pikir saya memang pertanyaannya yang keliru. Buru-buru saya menanyakan perihal Tarawih dan dia menjawab bahwa benar masjid menyelenggarakannya.
Putus Urat Takutnya
Saya menyatakan keheranan dan menanyakan sikap takmir terhadap imbauan pemerintah dan organisasi. Dia menyatakan bahwa setelah tidak melaksanakan shalat Jumat tiga kali, terjadi gejolak di tubuh takmir.
Ada yang meminta bertahan dengan kondisi itu. Ada yang meminta shalat Jumat dan Tarawih berjamaah diselenggarakan. Singkat cerita, setelah rapat, takmir memutuskan mengadakan salat Tarawih dan Jumat dengan prosedur ketat dan diutamakan untuk jamaah rutin dan kalangan takmir. Ini rupanya dilakukan dengan tanpa rasa takut. Urat rasa takutnya telah putus.
Rasa takut sepertinya mirip dengan sikap sabar, ada batasnya. Rasa takut yang belangsung lama akan hilang juga, seperti rasa takut saat menghadapi pandemi Covid-19 ini.
Kini rasa takut itu bukan hanya hilang, sebaliknya masyarakat kini menjadi berani, berani sekali. Ada dua keberanian masyarakat saat ini yaitu berani melawan virus dan berani melawan pimpinan mereka: pimpinan organisasi, ulama, dan umara.
Melawan Virus dan Pimpinan
Masyarakat mulai berani melawan mahkluk pengancam kehidupan manusia walau makhluk itu tidak kelihatan. Sampai malam ketiga Ramadhan, grafik perkembangan kasus kumulatif tidak menunjukan tanda-tanda melandai, bahkan hingga hari ini, H+6 Lebaran.
Seingat saya, rasa takut masyarakat bermula di pertengahan bulan Maret lalu saat angka kasus terkonfirmasi positif masih di sekitar 117 (15/3/2020). Sekolah dan kampus diliburkan. Bahkan, di daerah tertentu instansi juga meliburkan pegawainya atau menggunakan moda bekerja dari rumah (BDR).
Semua orang membicarakan kasus ini dan selalu memantau perkembangannya terutama kasus di daerah mereka sendiri.
Para kepala daerah rajin melakukan konferensi pers yang disiarkan langsung melalui YouTube. Begitu ada tambahan kasus positif, suasana bagaikan mencekam. Tentu suasana mencekam ini terlihat dalam percakapan di grup-grup WA. Harapan dan doa-doa terlantun begitu masifnya di sana.
Sayangnya, tidak ada grafik yang menggambarkan kondisi psikis atau emosional masyarakat. Seandainya ada, hari ini mungkin sudah jauh melewati anti-klimaks. Ketakutan warga sudah klimaks di pertengahan April lalu.
Yah, takut itu sudah lewat. Meningkatnya kasus positif dan meninggal dunia sudah dipandang sekadar angka-angka, mungkin disamakan dengan angka perolehan medali di ajang olahraga yang tidak menakutkan sama sekali.
Menteri Agama RI mengeluarkan Surat Edaran Nomor: SE. 6 Tahun 2020 tentang Panduan Ramadhan dan Idul Fitri 1 Syawal 1441 H di Tengah Pandemi Wabah Covid-19. Menteri dalam hal ini adalah representasi dari umara. Dalam Islam, terkecuali perintah untuk berbuat kemaksiatan atau tidak sejalan dengan perintah dan ketentuan Allah SWT dan Rasul Muhammad SAW, umara harus dipatuhi.
Tidak demikian dengan nasib surat edaran ini. Meski beredar seluas-luasnya—saya katakan demikian karena satu orang bisa menerima beberapa kiriman melalui WA—tapi edaran itu kini tak ubahnya produk hukum lain seperti undang-undang, tak banyak yang membaca apalagi berusaha memahami.
Masyarakat cukup berani menganggapnya sebagai angin lalu dengan cara tetap menggelar shalat Tarawih berjamaah, salat Jumat, dan salat Idul Fitri. Bahkan ada yang sempat membuat video hoax bahwa menteri agama membolehkan warga melakukan Tarawih. Padahal faktanya video itu direkam jauh sebelum edaran itu dibuat ketika Covid-19 masih belum separah sekarang.
Bagaimana dengan imbauan ulama? Setali tiga uang dengan imbauan umara. Ulama yang direpresentasikan organisasi masyarakat juga mengeluarkan imbauan perihal peribadahan dalam masa pandemi ini.
Perlu Dibahas Muktamar
Dua organisasi masyarakat terbesar di Indonesia Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah mengeluarkan edaran yang serupa. Muhammadiyah mengeluarkan Edaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 04/EDR/I.0/E/2020 tentang Tuntunan Salat Idul Fitri Dalam Kondisi Darurat Pandemi Covid-19. Nahdlatul Ulama menerbitkan surat edaran tersebut bernomor 3953/C.I.034/04/2020 terkait pelaksanaan shalat Tarawih dan Idul Fitri di tengah pandemi virus corona (Covid-19).
Kedua organisasi ini sama-sama mengimbau agar salat Jumat, salat tTarawih, dan salat Idul Fitri berjamaah ditiadakan dan diganti dengan salat di rumah. Tidak tanggung tanggung, yang tidak mendengarkan imbauan ini bukan masyarakat biasa tetapi justru struktur organisasi di bawahnya—biasanya struktur yang paling bawah yang membidangi wilayah kecamatan.
Dengan berbagai alasan, takmir masjid dari organisasi NU maupun Muhammadiyah tetap menyelenggarakan kegiatan yang dilarang oleh pengurus besar atau pimpinan pusat mereka. Kini masjid-masjid itu buka kembali untuk salat Jumat dan 1 Syawal kemarin salat Idul Fitri dengan tambahan redaksi misalnya untuk kalangan internal, wajib pakai masker, dan cuci tangan pakai sabun.
Tak mengherankan bila Rifqi mengurai lima fakta pembusukan internal itu. Kini PP Muhammadiyah harus memikirkan formulasi baru dalam menerbitkan segala produk aturan seperti maklumat, edaran, atau pernyataan yang sekiranya benar-benar berterima.
Artinya bagaimana produk aturan itu minim penolakan dari kalangan internal apalagi sampai menimbulkan bau busuk di tubuh organisasi sebesar Muhammadiyah. Perlu diingat, semakin besar jumlah penolakan semakin besar peluang maklumat untuk didiskusikan ulang. Muktamar mungkin wadah yang tepat untuk membahas itu. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.