KH Abdurrahim Nur dan Sufisme Muhammadiyah ditulis oleh Nadjib Hamid MSi, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim. Tulisan ini diterbitkan tepat 13 tahun meninggalnya sang Ustadz.
PWMU.CO – Gajah mati meninggalkan gading. Harimau mati meninggalkan belang. KH Abdurrahim Nur mati mewariskan keteladanan. Peribahasa itu rasanya tepat untuk menggambarkan sosok yang akrab dipanggil ustadz ini.
Tiga belas tahun lalu, tepatnya pada 29 Mei 2007 malam (23.00 WIB), masyarakat Jawa Timur, khususnya warga Muhammadiyah, kehilangan tokoh kharismatik. Ustadz Abdurrahim Nur, ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur (1989-2000), pulang ke rahmatullah.
Esuknya, Rabu siang (30/5/2007), ribuan orang mulai dari pejabat pemerintah, tokoh masyarakat, pimpinan ormas, pimpinan perguruan tinggi, jamaah pengajian dan handai taulan, turut mengantarkan kepergian almarhum ke tempat peristirahatan terakhir. Di pemakaman umum Jatirejo, Kecamatan Porong, tak jauh dari rumah tinggalnya.
Suasana haru sangat terasa, ketika jenazah hendak diberangkatkan menuju pemakaman. Terutama ketika Muhammad Mirdasy, salah seorang putranya, menyampaikan pesan terakhir almarhum.
“Sebelum meninggal, beliau berpesan agar jangan pernah menyurutkan semangat perjuangan,” kata Mirdasy dalam sambutan atas nama keluarga.
Ungkapan bela sungkawa datang dari Prof Dr Din Syamsuddin. Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah kala itu yang sedang di luar negeri, mengirimkan SMS, dan dibacakan oleh Wakil Ketua PWM Jatim Drs Nur Cholis Huda MSi ketika menyampaikan sambutan mewakili PWM Jatim.
“Atas nama Pimpinan Pusat Muhammadiyah saya menyampaikan takziyah atas wafatnya Ustadz KH Abdurrahim Nur. Semoga arwah almarhum diterima Allah SWT. Kita kehilangan, semoga akan lahir pengganti-pengganti beliau di masa depan. Maaf tidak bisa hadir karena sedang berada di Auckland, New Zealand, bersama Prof Syafiq A. Mughni. Salam, Din Syamsuddin.”
Prof Dr Ahmad Syafi’i Ma’arif, mantan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, yang berhalangan hadir saat pemakaman, juga mengirimkan pesan senada. Penasihat Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu mendoakan almarhum husnul khatimah.
Menghindari Kultus
Selama hidupnya, almarhum dikenal sangat getol melakukan dakwah. Baik melalui kegiatan sosial keagamaan seperti pengajian dan penyantunan anak-anak yatim di rumahnya, maupun melalui Persyarikatan.
Di mata para sahabatnya, beliau dikenal sebagai ulama yang santun dan sederhana. Putera dari pasangan Teriman dan Supiah itu, juga memiliki banyak santri, murid, dan pengagum.
Kalau mau, tokoh kelahiran Porong, Sidoarjo, 17 September 1932 ini, bisa memanfaatkan semua itu untuk kepentingan dirinya, baik keuntungan materi maupun non-materi seperti membangun kharisma, pengaruh, dan kultus agar kebesaran dirinya terus naik.
Beliau tidak membiasakan diri sekadar untuk dicium tangannya oleh para santri dan pengagumnya. Apalagi yang lebih dari itu, seperti pura-pura bisa memberi barakah lewat doa-doa. Justru selalu berada di barisan depan dalam gerakan pemurnian tauhid dan memberantas sikap pengultusan kepada seseorang. Padahal, beliau berasal dari subkultur tradisional.
“Ustadz Abdurrahim Nur adalah sosok pribadi yang punya magnet tersendiri bagi para penggemar dan pengagumnya,” tulis Prof A. Syafi’i Ma’arif dalam pengantar buku: Pergumulan Tokoh Muhammadiyah Menuju Sufi.
“Namun bagi Ustadz kita ini, dikagumi atau tidak bukan urusannya. Yang penting baginya, pesan risalah nabi disampaikan secara bijak melalui pengajaran yang baik, dan bila berdialog dilakukannya dengan penuh kesopanan,“ tulis Syafi’i.
Nur Cholis Huda dalam sambutan pelepasan almarhum mengatakan, “Kehidupan sangat sedikit melahirkan orang besar. Karena jumlah yang terbatas itu, seorang tokoh selalu nampak menonjol. Beliau menonjol karena memiliki sesuatu.”
“Ibarat lampu mercusuar, beliau memiliki sinar yang menjadi panduan bagi perahu dan kapal yang mengarungi samudera. Beliau menjadi rujukan dan tempat bertanya bagi pengikutnya,” imbuhnya.
Kiai Tawadhu’
Ketika kita ketemu dengannya, kesan yang segera muncul, beliau seorang yang santun, tawadu’, bicaranya lembut dan rendah hati.
Sikap itu tidak mengurangi sama sekali kebesarannya sebagi seorang ulama, justru mencerminkan rasa percaya diri yang teguh, tingkat kematangan jiwa yang dalam dan pancaran dari akhlak karimah.
Jika kita bertandang ke rumahnya, akan menyaksikan sederet almari buku yang dipenuhi kitab-kitab kuning dari berbagai disiplin ilmu agama. Keulamaan dan kesederhanaannya menjadikan suami dari Hj Marrotain ini sangat dihormati sekaligus menjadi tumpuan keluh kesah dan harapan umat.
Kendati ulama kharismatik itu telah pergi untuk selamanya, namun sejumlah kenangan indah tetap terpatri di hati umatnya, terutama bagi anak-anaknya. Mirdasy misalnya, punya kenangan tak terlupakan mengenai kebiasaan ayahnya itu pada malam 21 Ramadhan.
“Biasa kita semua shalat witir di tengah malam bersama jamaah Nurul Azhar. Setelah shalat kita diberi tausiah, hingga pukul 03.00 lalu sahur,” kenangnya.
“Khusus untuk anak-anaknya diajak sahur bersama, lalu diberi tahu pentingnya menjaga amal yang kecil dan sederhana, tapi dilakukan rutin tanpa putus hingga kematian menjemput,” imbuhnya dengan nada sedih gara-gara Covid 19, tahun ini tidak bisa melaksanakan tradisi tersebut. “Serasa bersalah dengan pesan beliau.”
Seperti diketahui, dari pernikahan pertama Ustadz dengan ibu Makinah (wafat 1975), beliau dikaruniai 5 anak, yaitu Nailul Mursyidah, Nailatus Shofi, Muhammad Mirdasy, Ainul Millah, dan Mohammad Masruh.
Masa Kecil Abdurrahim Nur
Pria berperawakan tinggi ini sejak usia enam tahun, sudah menjadi yatim. Tidak lama berselang, ibunya menikah lagi. Dari ayah tirinya inilah ia banyak mendapatkan bimbingan belajar terutama membaca al-Quran.
Di samping itu, ibunya mendorongnya untuk mengaji di Pesantren Tirmidzi, Porong Sidoarjo. Setiap berangkat mengaji, dia harus berjalan kaki seusai shalat ashar dan baru sampai menjelang Maghrib.
Di Pondok Tirmidzi ini, awalnya dia hanya mengaji al-Quran. Tapi kemudian ada ilmu lain yang harus dipelajarinya, yakni nahwu dan sharaf, dari kiab al-Ajrumiyah, al-Imrithi dan Alfiyah.
Di pondok ini dia diasuh Kiai Manshur dan Kiai Marzuki. Setelah itu, melanjutkan belajar di Pondok Pesantren Darul Ulum, Peterongan, Jombang, yang diasuh Kiai Romli Tamim dan Kiai Dahlan.
Mondok di Persis Aktif di GP Ansor
Putaran nasib kemudian telah mengubah jalan hidupnya. Tahun 1948 menjadi titik balik langkahnya. Ia harus meninggalkan pondok meski belum menamatkan Aliyah. Agresi Belanda menyebabkan ia harus pulang dengan jalan kami. Di kampungnya, ia diajak temannya berdagang dan keluar masuk pasar selama dua tahun.
Tetapi, minatnya dalam belajar agama tidak pernah surut. Ia kemudian masuk Pesantren Persatuan Islam (Persis) Bangil. Di sinilah ia merasa betul-betul mendapat pengetahuan baru tentang agama.
Di pesantren ini, dirinya dikenal sebagai santri yang memiliki kelebihan dalam membaca al-Quran dengan fasih. Selama lima tahun digembleng oleh Ustadz A. Hassan dengan disiplin tinggi.
Ada sesuatu yang istimewa baginya. Semua santri tidak boleh pulang kecuali hari libur. Tapi itu tidak berlaku bagi Abdurrahim. Ia boleh pulang setiap hari karena memberikan kesempatan berdakwah di masyarakat kampung halamannya.
Dari hari ke hari, aktivitas Abdurrahim semakin padat. Di tengah menjalani pendidikan di Pesantren Persis, ia menjadi pengurus GP Ansor di kampungnya. Pagi hari sekolah di Bangil, sehabis Dhuhur mengajar di Pandaan. Setelah Ashar dan selepas Maghrib berdakwah dengan gaya pengajian tradisional.
Kuliah di Mesir
Keinginan kuatnya menuntut ilmu membuka jalan untuk belajar di Universitas Al-Azhar. Kesempatan ini bermula dari adanya penawaran pemerintah Mesir yang ketika itu dipimpin oleh Gamal Abdul Naser.
Tawaran pemerintah Mesir ini sedikit bernuansa politis. Pada waktu itu Gamal Abdul Naser merasa khawatir dengan kritik sebagian tokoh Islam Indonesia, terutama Muhammad Natsir, tentang kebijakannya yang dipandang sekuler.
Berkaitan dengan isu tersebut, pemerintah Mesir mengutus Anwar Sadat berkunjung ke Indonesia untuk bertemu dengan pejabat dan tokoh-tokoh Islam. Dalam pertemuannya dengan Muhammad Natsir, Anwar Sadat mengatakan bahwa pemerintah Mesir ingin menjalin kerja sama.
Tawaran ini langsung direnspon M. Natsir, dengan kesepakatan mengirim mahasiswa untuk belajar di Mesir, yang direalisasikan mulai tahun 1955. Salah satu lembaga pendidikan yang memperoleh kesempatan adalah Pesantren Persis, tempat Abdurrahim belajar.
Setelah seleksi, ia dinyatakan lulus dan mendapatkan beasiswa dari Mu’tamar Alam Islami. Tentu saja hatinya gembira bukan kepalang. Sejak tahun 1955 ia mulai kehidupan barunya di Kairo, Mesir.
Sebelum berangkat ke Kairo, Abdurrahim bersama teman-temannya mendapat kesempatan bertemu dengan M. Natsir. Dalam pertemuan yang diwarnai suasana kekeluargaan tersebut Natsir menyampaikan pesan-pesan dan harapan-harapannya.
Salah satunya, meminta Abdurrahim dan kawan-kawan agar memanfaatkan waktunya selama di Mesir untuk belajar ilmu agama. Bagi Natsir, ilmu agama merupakan segala-galanya.
Pulang dari Al Azhar
Di Universitas Al-Azhar ia memilih Fakultas Ushuluddin. Selain aktivitas belajar, ia juga menyempatkan diri aktif di berbagai kegiatan ekstra, seperti kepanduan, olahraga, dan musik. Bahkan untuk bidang kepanduan, ia dapat dikatakan sebagai pendirinya. Sementara untuk olahraga, ia dikenal sebagai pemain sepakbola.
Akhirnya, ia dapat menyelesaikan studinya hingga tingkat sarjana, dan berhak mendapatkan gelar Lc tahun 1963.
Ketika pulang ke kampung halaman, dirinya disambut dengan meriah oleh masyarakat dan teman-temannya dengan tetabuhan rebana (shalawatan yang diiringi dengan terbangan) dan drumband.
Sebagian besar para penyambut tersebut adalah teman-temannya ketika masih aktif di GP Ansor. Bagi mereka, Abdurrahim layak mendapat sambutan penghormatan.
Kiprahnya di Muhammadiyah
Di kampung halamannya, ia kembali melaksanakan kegiatannya sebagai pendidik, juru dakwah, dan aktivis organisasi. Sebagai pendidik, karirnya dimulai sebagai guru dan Kepala PGAA Muhammadiyah Porong.
Sejak 1967 hingga pensiun tahun 1997 menjadi dosen di Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel (kini UINSA) Surabaya. Pernah menjabat sebagai Pembantu Dekan Bidang Akademik, dan bahkan dekan dua periode.
Juga dosen di Universitas Muhammadiyah Surabaya dan koordinator sekolah-sekolah tinggi Muhammadiyah Sidoarjo, sebelum menjadi universitas.
Sebagai dai, ia tergolong penceramah yang digemari, dan tidak membeda-bedakan siapa yang mengundang, apakah dari Muhammadiyah atau NU. Tapi karena sering diundang oleh kelompok orang-orang Muhammadiyah, maka semakin lama semakin kuat ikatan emosionalnya dengan Persyarikatan yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan itu.
Karirnya dalam jabatan struktural Muhammadiyah, dimulai sebagai Sekretaris Majelis Tarjih Pimpinan Daerah Muhammadiyah Sidoarjo, tahun 1970. Perannya yang menonjol kemudian mengantarkannya menjadi anggota Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur, tahun 1980-an, dengan jabatan Ketua Majelis Tabligh.
Selanjutnya, pada periode 1985-1990 dipercaya menjadi salah satu Wakil Ketua PWM Jatim, dengan ketua KH Anwar Zain. Pada Desember 1989 KH Anwar Zain wafat. Melalui Musyawarah Tahunan Muhammadiyah, di Kediri, awal 1990, ustadz Abdurrahim Nur ditetapkan sebagai penggantinya.
Dalam Musyawarah Wilayah (Musywil) di Asrama Haji Surabaya, beliau terpilih sebagai Ketua PWM Jatim periode 1990-1995. Sesuai hasil Musywil di Kota Batu, posisi yang sama diduduki kembali untuk periode 1995-2005.
Ketua PAN Pertama di Jatim
Pada awal era reformasi, ketika Prof Dr M. Amien Rais mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN) Jatim, beliau diminta untuk menjadi ketua PAN Jatim periode awal. Karena waktu itu masih menjabat sebagai Ketua PWM Jatim, tak pelak kesediaannya untuk rangkap jabatan sempat menimbulkan kontroversi.
Kepemimpinannya di PAN berakhir dengan usainya Pemilu 1999, dan kembali memimpin Muhammadiyah. Meski dalam Musywil Magetan tahun 2000 tidak terpilih sebagai ketua, beliau tetap aktif sebagai Panasehat PWM periode 2000-2005.
Pada periode 2005-2010, ia bersama Prof M. Amien Rais dan Prof M. Syafii Maarif diangkat menjadi salah seorang panasihat Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Kiprah dakwahnya selain melalui Muhammadiyah, juga mendirikan dan memimpin Yayasan Nurul Azhar, yang mengelola panti asuhan yatim, mengadakan pengajian rutin Tafsir al-Quran, dan pengajian bulanan Fajar Shodiq, di halaman rumahnya, yang diikuti ribuan jamaah dari berbagai kalangan.
Sejak tahun 1987, aktif di Majelis Ulama Indonesia (MUI), sebagai Wakil Ketua MUI Kabupaten Sidoarjo. Setahun kemudian terpilih sebagai Wakil Ketua MUI Jatim.
Pemikiran Sufisme Ustadz
Dalam bidang pemikiran, almarhum memiliki beberapa pemikiran baru dalam bidang keagamaan yang berbeda dengan pendapat yang lazim di tengah masyarakat. Misalnya, pendapat tentang tasawuf dan takdir, dua hal yang sebenarnya sensitif karena menyangkut akidah.
Banyak orang memandang kesufian dengan mengukur pada ketekunannya berdzikir, bahkan sampai “mabuk” atau penolakannya pada kekayaan dan kehidupan duniawi.
Sementara bagi mantan Sekretaris Majelis Tarjih Pimpinan Daerrah Muhammadiyah (PDM) Sidoarjo ini, ukuran sufi adalah pada sikap seseorang yang menerima, menyerah, tunduk dan patuh sepenuhnya kepada ketentuan Allah SWT. Tauhidnya murni sesuai ketentuan Allah. Ibadahnya sesuai yang dicontohkan Nabi, tidak dikurangi atau ditambah-tambah. Itulah perilaku seorang sufi.
Dalam masalah takdir, pemahamannya mendorong umat menjadi manusia dinamis, tidak gampang menyerah, tidak berpangku tangan dan hidup penuh tanggung jawab.
Baginya, takdir bukan sikap pasif menunggu. Karena takdir adalah ukuran, ketentuan yang menjadi peraturan dan undang-undang terhadap terjadinya segala sesuatu yang dituangkan dalam bentuk sebab akibat.
Sering dicontohkan, jika orang ingin mencapai angka 10, jalan yang ditempuh biasanya 5+5 atau 9-1 atau 16-6 dan seterusnya. Orang akan mengalami kegagalan untuk mencapai 10, jika yang ditempuh menyimpang dari ketentuan Tuhan yang ditetapkan menjadi hukum sebab akibat, misalnya melalui 2+6 atau 8+5 dan seterusnya.
Karya tulisnya yang telah diterbitkan, antara lain: Percaya kepada Takdir Membawa Kemajuan dan Kemunduran Umat dan Wahabi Menurut Pandangan Para Ilmuwan, diterbitkan PT Bina Ilmu. Perkembangan Aqidah dalam Islam diterbitkan Pustaka Progresif, dan Memahami Al Fatihah diterbitkan UMM Press.
Musibah Politik
Pada 2001, musibah politik menimpa beliau. Menjelang jatuhnya Presiden Abdurrahman Wahid, Muhammadiyah di Jawa Timur menjadi sasaran teror dan kekerasan. Beberapa amal usaha Muhammadiyah, termasuk rumah beliau dirusak sekelompok massa pendukung Gus Dur.
Peristiwa pertama, pada Rabu, 7 Februari 2001. Pukul 09.30 WIB. Massa dari arah Pasuruan sebanyak 10 truk berhenti di depan rumah Ustadz di Jalan Raya Porong. Mereka merobohkan dan membakar papan nama Pengajian Fajar Shodiq, melempari rumah dengan batu, dan membakar ban. Ustadz bersama istri diungsikan ke kantor Polres. Beberapa jam kemudian, pindah ke rumah anaknya, di Wage, Waru, Sidoarjo.
Peristiwa kedua pada 28 Mei 2001. Pukul 08.00-08.45 WIB. Massa yang berdatangan dari arah selatan Porong mengendarai 20 truk, naik mobil dan jalan kaki, berhenti di sebelah rumah Ustadz Rahim.
Kemudian melakukan aksi pembakaran ban mobil, pelemparan masjid, merusak dapur panti asuhan, pagar dan rumah. Seluruh kaca rumah hancur, bagian depan teras dan samping rumah pecah berantakan, ratusan genting pecah. Pagar pintu implasment yang roboh, dilempar ke dalam rumah.
Pada saat kejadian, Ustadz diungsikan ke Tretes dan Pandaan. Sehingga seluruh kegiatan pengajian dan proses pembelajaran para santri Nurul Azhar diliburkan. Lebih detail mengenai peristiwa ini dapat dibaca dalam buku Muhammadiyah Korban Kekerasan Politik, yang diterbitkan Hikmah Press pada Januari 2002, dan 2005.
Pada 2006, musibah kembali menimpanya, tatkala rumahnya terkena dampak luapan lumpur Lapindo. Beliau terpaksa diungsikan ke rumah anaknya di Pandaan.
Hadiah Ultah ke-70
Di Muhammadiyah tidak ada tradisi memeringati hari kelahiran atau milad seseorang. Pun tidak ada tradisi memeringati hari kematian atau khaul.
Tapi memasuki usia Ustadz Abdurrahim Nur yang ke-70, Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur memberikan hadiah buku biografi tentang beliau, Pergumulan Tokoh Muhammadiyah Menuju Sufi, yang terbit pada Mei 2003.
Alasannya, seperti disebutkan dalam pengantar penyusun, untuk menghidupkan sejarah. “Menulis sebuah biografi merupakan bagian dari menghidupkan sejarah.”
Buku tersebut dilengkapi testimoni dari beberapa tokoh yang mengenalnya, baik dari internal Muhammadiyah maupun lainnya.
Posisi yang Membebani
Ustadz memang dikenal sangat alim dan sederhana dalam hidupnya. Keulamaan, kesederhanaan, dan kapasitasnya sebagai Ketua PWM Jatim ketika itu menjadikannya sangat dihormati sekaligus menjadi tumpuhan keluh kesah dan harapan umat.
Jarang terjadi, jika saya berkunjung ke kediaman di Jatirejo Utara Porong, beliau tidak sedang menerima tamu. Di antara mereka ada yang sekadar menanyakan persoalan keagamaan, konsultasi masalah keluarga, minta nasihat mau kawin lagi karena istrinya akan mengizinkan jika Ustadz juga merestui, dan minta pertimbangan dalam penentuan jodoh anaknya.
Ada pula yang minta rekomendasi untuk diterima kerja, minta bantuan biaya kesehatan dan biaya pendidikan anaknya, sampai masalah-masalah organisasi dan politik.
Posisi Ustadz yang senantiasa dituakan, dan dijadikan tempat bergantung banyak orang itu menurut hemat saya sangat membebani beliau. Karena giliran beliau sendiri punya masalah dan memerlukan bantuan orang lain, tidak mudah mengomunikasikan dengan sembarang orang.
Sementara yang saya tahu, tidak ada lagi generasi seangkatan beliau yang kapasitas ilmu agamanya selevel apalagi melebihi. Jadi, semua urusan seolah menjadi tanggungan Ustadz sendiri.
Pernah suatu ketika, saya kaget menyaksikan Ustadz tiba-tiba kondisi fisiknya tampak letih. Layaknya sedang menanggung beban berat. Dan benar adanya. Tapi tidak mungkin diceritakan pada orang lain. Pada saat seperti itupun beliau tetap tidak surut melayani keperluan umatnya.
Tetap Layani Umat di Usia Tua
Ketika fisiknya terus mengalami penurunan seiring bertambahnya usia, Ustadz masih terus bersemangat melayani kebutuhan umatnya, mengasuh anak-anak yatim, membina berbagai pengajian. Seperti pengajian Raboan, Sabtuan, Ahad Pagi, dan lain-lain.
Kesibukannya yang sangat luar biasa dalam memberdayakan masyarakat itu tidak mengubah gaya hidupnya yang sederhana. Padahal kalau ia mau seperti tokoh masyarakat pada umumnya pasti sudah berlimpah harta.
“Ustadz Rahim itu andaikan bukan orang Muhammadiyah, tentu sudah menjadi wali dan berlimpah harta. Tapi karena di Muhammadiyah, kendati ilmunya segudang, ya tetap kering,” kelakar seorang teman.
Ustadz sendiri memang tak pernah risau dengan sikapnya yang egaliter. Juga tidak mau mengeksploitasi umatnya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya. Kerisauannya mungkin karena tidak ada putra-putrinya yang bersedia menjadi pewaris kitab kuningnya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.
Tulisan ini dikembangkan dari artikel berjudul KH Abdurrahim Nur (Lahir 1932) Tokoh Muhammadiyah yang Sufi dalam buku Siapa & Siapa 50 Tokoh Muhammadiyah Jawa Timur, Editor Nadjib Hamid et all.