PWMU.CO– Fatimah putri Rasulullah Muhammad saw dengan Khadijah. Ayahnya seorang nabi yang juga penguasa negeri jazirah Arab tahun 622-632. Luas wilayahnya antara Yaman di selatan hingga ke Khaibar di utara.
Namun kehidupan putri penguasa ini miskin. Ali bin Abi Thalib yang menikahinya tak banyak harta. Maharnya pun baju zirah yang sudah digadaikan.
Saat perayaan pernikahan, sahabat-sahabatnya urunan tepung untuk dibuat makanan. Ketika pasangan pengantin ini diantar ke rumah Ali, di dalamnya hanya dijumpai selembar tikar, satu teko dan gelas. Itulah hartanya.
Perkawinan itu dijalaninya dengan ikhlas dan sabar. Mencari air, kayu bakar, menggiling gandum, membuat makanan, dan mengasuh anak-anaknya. Dia perempuan yang nriman. Penghasilan suaminya yang sedikit diterimanya dengan syukur.
Suatu hari dia mendengar ayahnya mendapatkan tawanan perang. Ingin hatinya meminta satu budak perempuan untuk membantunya di rumah.
Diceritakan dari Sahih Bukhari yang diriwayatkan dari suaminya Ali bin Abi Thalib. Fatimah menuju rumah ayahnya yang menempel di Masjid Madinah. Rumah dan masjid itulah tempat ayahnya mengendalikan pemerintahan negeri yang luas ini.
Sayangnya ayahnya sedang keluar. Dia ditemui oleh Aisyah, istri Nabi. Dia bercerita kepada Aisyah maksud kedatangannya. Ingin meminta budak membantu kerja di rumah seperti menggiling gandum yang membuatnya penat.
Dzikir Fatimah
Ketika Rasulullah pulang, Aisyiyah segera menyampaikan keinginan putrinya itu. Hampir tengah malam ketika Ali dan Fatimah rebahan siap-siap untuk tidur, Nabi Muhammad saw datang ke rumahnya.
Ali hendak bangkit dari tikar untuk menyambut. Tetapi Rasulullah berkata,”Tetaplah kalian berdua di tempat.” Lalu Nabi duduk di antara keduanya. Ali merasakan dinginnya kedua kaki Nabi saat menempel di dadanya.
Rasulullah berkata, ”Maukah kalian berdua aku ajari apa yang lebih baik dari apa yang kalian berdua minta kepadaku.”
Lalu Nabi melanjutkan, ”Jika kalian berdua hendak tidur, bertakbirlah tiga puluh empat kali, bertasbihlah tiga puluh tiga kali, dan bertahmidlah tiga puluh tiga kali. Itu lebih baik bagi kalian berdua daripada seorang budak.”
Begitulah pemberian Nabi kepada putrinya. Meminta budak diberi dzikir yang nilainya jauh lebih baik. Fatimah dan Ali mengamalkan dzikir itu yang kelak dikenal sebagai dzikir Fatimah.
Perkebunan Fandak
Beberapa tahun kemudian ketika Rasulullah wafat, Fatimah menemui Khalifah Abu Bakar. Dia meminta kepada penguasa baru agar membagikan kepadanya bagian harta warisan yang ditinggalkan Rasulullah berupa perkebunan kurma di Fandak, Khaibar.
Perkebunan itu diperoleh Rasulullah saat menaklukkan Kota Khaibar milik kaum Yahudi setelah perang Khandaq. Hasil kebun itu oleh Rasulullah dipakai untuk menghidupi istri-istri dan keluarganya serta fakir miskin.
Ternyata Khalifah Abu Bakar menolak permintaannya. Abu Bakar berkata kepada Fatimah, ”Sesungguhnya Rasulullah saw pernah mengatakan, harta kami tidaklah diwariskan, harta yang kami tinggalkan adalah sedekah.”
Oleh Abu Bakar, perkebunan Fandak dikelola oleh negara dan hasilnya dipakai untuk kepentingan rakyat. Mendengar penjelasan itu Fatimah langsung pulang tanpa komentar. Enam bulan kemudian Fatimah meninggal dunia menyusul ayahnya tercinta. (*)
Editor Sugeng Purwanto