PWMU.CO – IMMawati Nurrima Dini Elysa yang akhirnya dipanggil oleh Allah SWT, Senin (5/09) kemarin karena kecelakaan 3 hari sebelumnya, dikenal sebagai aktivis tulen. Dini panggilannya akrabnya, tercatat sebagai Ketua Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Komisariat Psikologi Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya). Selain ber-IMM, kegiatan rutinnya tiap pekan adalah mendampingi para anak jalanan di kawasan pinggir kali Jembatan Merah, Surabaya.
Ya, gadis kelahiran Tuban 24 Maret 1995 ini aktif dalam melakukan pembinaan untuk para anak jalanan melalui “Komunitas Cahaya”. Salah satu cita-cita besar Dini adalah mengentas kehidupan mereka yang tak punya kewarganegaraan, karena keberadaan mereka memang tidak tercatat di negara ini. Berikut adalah catatan Dini tentang anak jalanan, yang diterima oleh Redaksi PWMU.CO dalam naskah yang berjudul “Beri Nama untuk Mereka”.
(Berita terkait: IMMawati Nurrima Dini Elysa, Ketua IMM Komisariat Psikologi UMSurabaya, Meninggal Akibat Kecelakaan dan Almarhumah IMMAwati Nurrima Dini Elysa di Mata Para Sahabatnya)
***
Haru, hal pertama yang kami (IMM Komisariat ALLENDE) rasakan ketika melihat mereka yang nyata keberadaannya.Terasingkan, terabaikan tak diperdulikan oleh sebagian besar golongan. Jauh dari kata layak mereka menitipkan kehidupan dengan beratapkan kesuraman dalam memandang masa depan.
Siang 11 Agustus 2015, tepat di pinggir kali Jembatan Merah, mereka dengan semangat menyanyikan lagu Anak Merdeka dengan khas Agustusan yang ceria.Tanpa tahu maknanya, mereka bernyanyi menggabarkan kebanggan atas negeri yang mereka tinggali. Tanpa peduli dengan apa yang telah diberikan kepada negerinya, mereka tetap bangga dengan tanahnya.
(Baca juga: Setelah Penderita Tumor Mata, Kini Lazismu Kota Pasuruan Bantu Yatim Penderita Kelainan Usus dan Terkena Tumor Mata, Farah Anak Keluarga Miskin Ini Butuh Bantuan Pengobatan)
Komunitas Cahaya, komunitas inilah yang menjadi cahaya kecil yang menyalakan semangat mereka untuk sekedar berani bermimpi. Di komunitas yang dirintis oleh dosen PAUD Universitas Muhammadiyah Surabaya ini, kami dari IMM Komisariat Allende) membantu untuk menumbuhkan semangat belajar yang dibarengi dengan penumbuhan karakter yang kuat kepada mereka agar menjadi generasi yang mampu memproduksikan sebuah karya.
Karena selama ini mereka dibesarkan di lingkungan yang tidak pernah diharapkan oleh siapapun. Rumah kumuh yang setiap saat harus dibongkar pasang jika ada penertiban, dan tentu saja sumber air yang kotor itu sudah menjadi hal yang biasa buat mereka.
(Baca juga: 2 Kembar Peyandang Disabilitas Ini Temukan Semangat Hidup sejak Terima Kursi Roda dan Beasiswa Lazismu Antarkan Anak dari Penyandang Tunanetra Ini Lulus Kuliah 7 Semester)
Bagi mereka, cita-cita adalah hal yang perlu diambil dengan keberanian. Karena mereka menganggap cita-cita hanya milik mereka yang punya uang, cita-cita hanya milik mereka yang bertahta. Maka perlu kiranya ada tangan-tangan yang merangkul mereka, hati yang mampu bersimpati, bahkan berempati terhadap mereka. Karena buat mereka, kepedulian adalah hal yang sangat langka, hidup tanpa orang tua adalah hal yang biasa.
Mereka membawa latar belakang yang begitu sangat memprihatinkan di masing-masing pundaknya.Bagaimana tidak, ada sebagian dari mereka, jangankan sebuah kartu kelurga yang sah diakui negara, pengakuan dari siapa mereka dilahirkan pun tidak mereka dapat kejelasanya. Rumah mereka jauh dari kata layak untuk sebuah ukuran manusia. Hidup dalam ketidakjelasan tujuan membuat mereka bergerak dalam lingkaran, hanya berputar tanpa tahu di mana mereka mulai dan harus berhenti.
(Baca juga: Berkat Program Difabel Berdaya, UMSurabaya Raih Penghargaan dari D-Care dan Kisah Sukses Mahasiswa UMM Ubah Perkampungan Kumuh Jadi Rio de Janeiro-nya Indonesia)
Dengan mengetahui bagaimana realita bangsa kita apakah kita masih menutup mata, bahkan hanya untuk memberikan pandangan yang sama pada mereka bawasanya mereka juga penerus dan pembaru sejarah negeri kita, apakah kita masih menutup mata untuk sekedar percaya bahwa mereka juga bisa.
Hey, ayolah negeri kita bukan seperti apa yang dipertontonkan dan dikemas apik dalam layar kaca yang seakan hanya keindahan yang tersajikan. Bukan lagi saatnya kita memelihara mental pembaca koran yang selalu akan percaya pada setiap redaksi yang tertulis. Ini saatnya kita tunaikan kewajiban kita dengan peduli kepada mereka, bantu mereka menemukan identitas siapa dirinya, beri mereka nama.
Sudah saatnya kita pergunakan kaki kita untuk melangkah lebih jauh dari biasanya, meringankan tangan untuk membantu saudara kita.ini lebih dari persoalan rasa kasihan tapi lebih pada tanggung jawab yang harus kita tunaikan.
(Baca juga: Mengenang H Bisri Ilyas, Saudagar Sukses Bermodal Kejujuran dan Cermin Guru Sejati, Mengenang Budayawan Lenon Machali)
Walau hanya sekali dalam seminggu kami bertemu dengan mereka, tapi kami paham akan tawa dan kegelisahan mereka. Kami paham bukan kesombongan yang bisa membentuk mereka, bukan pula keangkuhan. Tapi kepedulianlah yang mereka butuhkan. Pembelajaaran formal memang penting, tapi di sisi lain duduk bersama di bawah lebih berkesan bagi mereka untuk mengajarkan tentang keanggunan moral. Kerasnya lingkungan sekitar menjadikan mereka terlalu sederhana dalam memaknai kehidupan, hanya”yang penting bisa makan dan jajan”.
Kami harap akan ada banyak kepedulian buat mereka, kepedulian yang akan semakin membangkitkan semangat mereka untuk bermimpi dan berusaha memerjuangkannya. (*)