PWMU.CO – Logika tidak beradab, rezim yang membungkam kebebasan. Karena kebebasan itu sesuatu yang tinggi. Hanyalah pada manusia beradab ada kebebasan.
Demikian perspektif Prof Dr Din Syamsuddin MA, Guru Besar Pemikiran Politik Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dalam Webinar Masyarakat Hukum dan Tata Negara Muhammadiyah (Mahutama) bertema Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan di Era Pandemi Covid-19, Senin (1/6/20).
Din berpendapat, dalam perspektif Islam dan politik Islam, kebebasan berpendapat dan pemakzulan, yang masuk dalam tema webinar, keduanya di-cover dan dibahas dalam pemikiran politik Islam. Dan merupakan bagian tak terpisahkan dari ajaran Islam.
Tiga Dimensi Kebebasan
Menurut Din, kebebasan berpendapat dipahami para ulama sebagai salah satu dari tiga dimensi penting kebebasan. Sementara kebebasan itu sendiri merupakan hak manusiawi, hak makhluk. “Bahkan sang pencipta Allah SWT menyilakan manusia mau beriman atau tidak beriman. Ini pangkal sebuah kebebasan,” ujarnya.
Maka dari itu, kebebasan pada manusia ini dipandang sebagai sesuatu yang melekat pada kemanusiaan itu sendiri. Dan manusia, pada madzhab qadhariyah memiliki kebebasan berkehendak, free will free act.
“Ada yang memandang, seperti yang dikutip Muhammad Abduh, melihat dan menilai kebebasan itu sesuatu yang sakral dan transendental. Istilahnya muqaddasah, sebagai sesuatu yang suci dan melekat dengan fitrah kemanusiaan,” papar Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2005-20015 itu.
Din lalu menyatakan jika manusia bebas walaupun terbatas. Dalam lingkup agama ada syahadatain. Syahadat itu sendiri suci karena berasal dari Dzat Yang Maha Suci. “Sesungguhnya manusia sudah terikat dengan janji perenial ‘alastu birobbikum’, bukankah aku ini Tuhanmu? Mengaku bersyahadat,” tuturnya.
Namun ketika lahir di muka bumi, lanjutnya, boleh jadi dia menyimpang dari perjanjian itu. “Tapi Allah masih memberi kebebasan: mau tetap beriman kepadaku atau tidak. Sungguh luar biasa,” kata Din.
Maka, kalau melihat proses kejadian manusia pertama Adam diciptakan, dan malaikat diminta untuk bersujud pada Adam. Malaikat bertanya, ‘adakah engkau akan menciptakan makhluk yang senantiasa menumpahkan darah dan berbuat suatu kerusakan di muka bumi’. “Allah sang pencipta tidak membungkamnya, tapi hanya menyatakan: aku lebih tahu tentang apa yang engkau tidak tahu,” ujarnya.
Logika Tidak Beradab
Ada satu ruang kebebasan pada makhluk. Maka Muhammad Abduh menyimpulkan kebebasan itu sesuatu yang sakral dan transendental, muqaddasah. Abduh menilai kebebasan itu hanya bisa diaktualisasikan manusia ketika manusia sudah melewati dua fase kehidupannya. Yaitu fase eksistensi alamiah ketika manusia itu masih berada dalam kejahiliyahan, dalam suatu kemunduran. Kedua, melewati fase sosial-komunal, ketika manusia sudah ber-tamaddun, berbudaya, dan berperadaban.
“Maka kebebasan itu sesuatu yang tinggi. Hanyalah pada manusia beradab ada kebebasan, ada pemberian kebebasan, dan tentu logika sebaliknya. Logika tidak beradab kalau ada orang, pihak, dan rezim yang ingin dan menghalangi atau meniadakan kebebasan itu,” paparnya.
Itulah yang kemudian diturunkan para pemikir politik Islam, melihat tiga kebebasan asasi yang inhern dalam diri manusia. Ketiganya adalah kebebasan beragama, kebebasan berbicara atau berpendapat, dan kebebasan memilih serta untuk dipilih. Ketika terjadi perkembangan kebudayaan manusia, maka diperlukan kepemimpinan dan lain sebagainya.
Din berpendapat, apa yang dibicarakan dalam webinar yang menyoal kebebasan berpendapat ini mempunyai landasan teologis dan filosofis yang kuat pada pemikiran Islam. Oleh karena itu apa yang dirumuskan di dalam traktat yang ada dalam sejarah peradaban manusia seperti Magna Charta sampai Universal Declaration, termasuk juga Deklarasi Kairo – hasil dari konferensi OKI tentang hak-hak manusia – sangat-sangat memberi ruang dengan kebebasan itu sendiri.
Juga UUD 1945 seperti yang disebutkan dalam pasal 28, Din berkeyakinan, para tokoh bangsa yang merumuskan UUD 1945 itu termasuk Soekarno, apalagi tokoh-tokoh Islam, mereka sangat paham tentang prinsip-prinsip kebebasan dalam Islam ataupun dalam sejarah pemikiran Islam.
“Oleh karena itu, terus terang kita terganggu jika ada rezim yang cenderung otoriter, represif, dan anti kebebasan berpendapat. Dan tentu juga, kebebasan tersebut ada syaratnya, yakni tidak keluar dari norma-norma dan etika dan nilai-nilai yang disepakati. Selama dalam koridor dan lingkaran itu, maka itu adalah hak rakyat dan warga negara,” pungkasnya. (*)
Penulis Darul Setiawan. Editor Mohammad Nurfatoni.