PWMU.CO-Pembatalan haji oleh pemerintah bisa dinilai sebagai langkah yang tepat dan tepat waktu dalam situasi wabah Covid-19. Menurut pertimbangan syariat juga dibolehkan karena syarat haji harus aman selama perjalanan.
Hal itu disampaikan Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Dr Abdul Mu’ti ketika dihubungi Selasa (2/6/2020).
Pernyataannya itu menanggapi keputusan pemerintah tentang pembatalan haji 1441 H yang disampaikan oleh Menteri Agama Fahrur Razi siang ini.
Menurut Mu’ti, secara Syariah tidak melanggar karena di antara syarat haji selain mampu secara ekonomi, kesehatan, mental, dan agama, juga aman selama perjalanan. Secara undang-undang juga tidak melanggar.
”Belum adanya keputusan Pemerintah Arab Saudi mengenai haji, sangat sulit bagi Pemerintah Indonesia untuk dapat menyelenggarakan ibadah haji tahun ini,” kata Abdul Mu’ti yang juga dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Mu’ti menjelaskan, ada tiga konsekuensi yang harus diberikan solusi berkaitan dengan pembatalan ini. Pertama, antrean haji yang semakin panjang. Kedua, biaya haji yang sudah dikeluarkan oleh pendaftar dan mungkin dikelola oleh biro haji dan KBIH. Ketiga, pertanggungjawaban dana APBN haji.
”Umat Islam hendaknya tetap tenang dan dapat memahami keputusan pemerintah. Keadaannya memang darurat. Semuanya harap berdoa agar Covid-19 dapat segera diatasi,” ujarnya.
Alasan Pembatalan Haji
Menteri Agama Fachrul Razi dalam jumpa pers virtual siang ini mengumumkan tidak ada pemberangkatan haji tahun 2020 atau 1441 Hijriyah. Alasannya, pemerintah Arab Saudi belum mengumumkan penyelenggaraan haji tahun ini dan demi melindungi warga negara dari penyebaran wabah Corona yang belum membaik di seluruh negara.
”Pemerintah Arab Saudi yang tak kunjung memberikan kepastian soal penyelenggaraan ibadah haji di tahun ini, membuat pemerintah Indonesia tidak punya cukup waktu untuk melakukan persiapan haji,” tuturnya.
Berdasarkan kenyataan itu, sambung dia, pemerintah memutuskan tidak memberangkatkan jamaah haji pada tahun 1441 H atau 2020 ini.
”Keputusan ini saya sampaikan melalui keputusan Menteri Agama RI No. 494 tahun 2020 tentang Pembatalan Keberangkatan Jamaah Haji pada Penyelenggaraan Ibadah Haji pada 1441 H atau 2020 M,” jelas Fachrul Razi.
Sesuai amanat undang-undang, kata dia, selain kemampuan ekonomi dan fisik, keselamatan dan keamanan jamaah haji harus diutamakan. Yaitu, sejak dari embarkasi dalam perjalanan dan di Arab Saudi.
Dijelaskan, rencana awal keberangkatan kloter pertama pada 26 Juni. Artinya, untuk persiapan terkait visa, penerbangan, dan layanan di Saudi tinggal beberapa hari lagi. Belum ditambah keharusan karantina 14 hari sebelum keberangkatan dan saat kedatangan. Padahal akses layanan dari Saudi hingga saat ini belum ada kejelasan kapan mulai dibuka.
“Jika jemaah haji dipaksakan berangkat, ada risiko amat besar yaitu menyangkut keselamatan jiwa dan kesulitan ibadah. Meski dipaksakan pun tidak mungkin karena Arab Saudi tak kunjung membuka akses,” katanya lagi.
Pembatalan keberangkatan Jemaah ini berlaku untuk seluruh warga negara Indonesia (WNI) untuk kuota haji pemerintah, baik reguler maupun khusus, juga jamaah yang akan menggunakan visa haji mujamalah atau furada.
”Sungguh ini keputusan pahit dan sulit, di satu sisi kita sudah upaya bersama untuk menyiapkan penyelenggaraan haji tahun ini, sebagai tugas pembinaan dan pelayanan. Tapi di sisi lain kita punya tanggung jawab perlindungan bagi jamaah dan petugas haji. Ini tugas negara untuk menjamin keselamatan warganya,” tegasnya. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto