PWMU.CO – Sebut saja namanya Eka Pujiastuti. Melalui Grup WhatApps yang diikutinya, seorang anggota grup memposting tulisan yang mengingatkan pentingnya puasa menjelang Hari Raya Adha. Menurut temannya tadi, umat Islam disunnahkan berpuasa dua hari, yaitu tanggal 8 dan 9 Dzulhijjah, dengan berbagai keutamaannya. Benarkah ada tuntunan Islam tentang puasa 2 hari itu?
Idul Adha itu adalah tanggal 10 Dzulhijjah, yang juga disebut yaumun nahr (hari penyembelihan). Tanggal 8-nya disebut yaumut tarwiyah dari asal kata rawwa yang artinya: minum air dengan sepuas-puasnya, atau berfikir untuk hari esok.
Tanggal 8 itu dikatakan hari tarwiyah, karena pada hari itu didapatkannya air Zamzam, dan dari situlah Ismail dan Ibundanya bisa minum dengan sepuas-puasnya. Disebut juga berfikir, karena pada tanggal 8 itu, Nabi Ibrahim berfikir untuk melaksanakan mimpinya untuk menyembelih Ismail. Sedang tanggal 9-nya disebut hari Arafah, karena pada waktu itu jamaah haji sedang wuquf di Arafah.
Tentang puasa sunat menyongsong Idul Adha ini, menurut hadits Nabi saw hanya satu hari, yaitu tanggal 9 Dzulhijjah bagi orang yang tidak berhaji. Sedang tanggal 8-nya tidak ada yang shahih. Memang di kalangan masyarakat ada redaksi hadits puasa Tarwiyah, tapi statusnya dla’if atau lemah.
مَنْ صَامَ الْعَشْرَ فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ صَوْمُ شَهْرٍ ، وَلَهُ بِصَوْمِ يَوْمِ التَّرْوِيَةِ سَنَةٌ ، وَلَهُ بِصَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ سَنَتَانِ
”Siapa yang puasa 10 hari, maka untuk setiap harinya seperti puasa sebulan. Dan untuk puasa pada hari Tarwiyah seperti puasa setahun, sedangkan untuk puasa hari Arafah, seperti puasa dua tahun.”
Hadits ini berasal dari jalur Ali al-Muhairi dari at-Thibbi, dari Abu Sholeh, dari Ibnu Abbas, secara marfu’ atau sampai pada Nabi Muhammad saw. Namun, para ulama menyatakan bahwa hadits ini adalah palsu, yang tentu saja tidak bisa dijadikan hujjah atau dasar amal ibadah.
Tentang hadits puasa Tarwiyah ini, Ibnu al- Jauziy menyatakan: Hadits ini tidak shahih. Sulaiman at-Taimi mengatakan, ’at-Thibbi seorang pendusta.’ Ibnu Hibban menilai, ’at-Thibbi jelas-jelas pendusta. Sangat jelas sehingga tidak perlu dijelaskan.
Penilaian tentang kepalsuan hadits puasa Tarwiyah ini juga dikemukakan Imam asy-Syaukani, dengan menyatakan: Hadits ini tidak shahih, dalam sanadnya terdapat perawi bernama al-Kalbi, seorang pendusta.
Keterangan ini setidaknya sudah mencukupi bagi umat Islam untuk menyimpulkan bahwa hadits tentang puasa Tarwiyah bisa jadi dalil karena palsu. Karena itu, tidak ada keutamaan khusus untuk puasa Tarwiyah.
Karena ibadah itu dasarnya semata-sama nash al-Qur’an dan hadits, maka yang ada itu saja yang dikerjakan. Yaitu tanggal 9 Dzulhijjah, atau yang dikenal dengan Puasa Arafah. Wallahu a’lam bi al-Shawab. (Kholid AS)