PWMU.CO – Buya Syafi’i ubah mission impossible jadi mission possible disampaikan oleh Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta Prof Dr M Amin Abdullah.
Hal itu terungkap dalam Diskusi Pemikiran Ahmad Syafii Maarif dengan tema Humanisme Islam dalam Pemikiran Ahmad Syafii Maarif via aplikasi Zoom, Rabu (3/6/2020).
Amin Abdullah menyampaikan ucapan selamat ulang tahun ke-85 untuk Buya Syafi’i Ma’arif. “Semoga tetap menyinari umat dan bangsa serta selalu memberi inspirasi kepada yang muda-muda,” ucapnya.
Menurut Amin Abdullah pembahasan humanisme Islam selalu menarik. Topik yang tidak lapuk karena hujan dan tidak lekang oleh panas. Apalagi dikaitkan dengan Buya Syafi’i Ma’arif.
“Saya terinspirasi pernyataan Rektor Universitas Al-Azhar Ahmad Thayyib saat seminar tentang Pembaharuan Pemikiran Islam di Al-Azhar Kairo. Dia melihat bahwa bukan humanis, bukan rahmatan lil alamin. Tetapi Islam yang kontemporer saat ini dakwah yang mengarah sektarian,” ujarnya.
Bahkan, sambungnya, bau-bau membenci orang lain atau menolak keberadaan orang lain. “Nah itu kalau Islam panorama kontemporer kok seperti itu kesannya. Saya sedih sekali mendengar tentang kesan Islam kontemporer itu,” ungkapnya.
Humanisme dengan Islam Paradoks
Maka ketika ingin mengaitkan dengan humanisme atau al-insaniyah dalam perspektif Al-Azhar agak paradoks. “Mengapa terkesan paradoks? Karena humanisme itu biasanya atau umumnya budayawan, cendekiawan, atau akademisi. Mungkin yang sering dikemukakan Buya negarawan,” urainya.
“Tetapi kalau disebut Islam maka kesan publiknya jadi politisi dan targetnya pasti power atau kekuasaan,” imbuhnya.
Impossible to Possible
Sepertinya mission impossible humanisme Islam itu. “Mudah-mudahan saya salah. Tetapi Buya mengubahnya menjadi mission possible. Itu yang menarik,” ujarnya.
Bagaimana Buya bisa mengubah? Bukan lagi paradoks tapi komplementer. “Islam sebagai identitas harus kawin atau berdialog keras dengan nilai-nilai. Humanisme itu sebenarnya kan nilai-nilai. Buya mencoba merubah pandangan yang dikemukakan Rektor Al Azhar Ahmad Thayyib itu,” paparnya.
Ada lima faktor, menurutnya, yang membuat humanisme Islam jadi mission possible. Pertama pendidikan. Ketika bertemu Fazrul Rahman di Chicago lalu membaca al-Quran bersama itu berubah sama sekali pandangan Buya.
Pendidikan dan Humanisme
“Alumni Mu’allimiin yang masih muda saat itu, yang masih membara, dari gandrung Masyumi menjadi Islam moderat. Membaca al-Quran ayat-ayatnya menjadi inklusif, bukan ayat-ayat yang eksklusif,” ungkapnya.
Maka, sambungnya, pendidikan penting bagi humanisme. Cross-reference yang dibaca itu penting sekali. Kalau reference-nya terbatas juga agak susah mengantar ke humanisme.
“Perlu knowledge, good education, cross reference maka baru bisa mencermati humanisme. Humanisme religius begitulah kira-kira,” sambungnya.
Kebhinnekaan Indonesia
Kedua konteks. Konteks Buya berbeda sekali dengan pengalaman-pengalaman di negara Muslim yang lain. Buya dan kita semua ini sangat banyak modal kultural modal sosial tentang kebhinekaan Indonesia itu.
“Jadi pluralitas dari sononya itu. Kemudian mau ras suku keagamaan, bagi kita orang Indonesia built-in di situ. Tanpa membaca kitab suci kita tahu di Indonesia sudah plural,” jelasnya.
“Kan luar biasa debat antara Islam dengan state atau agama dan negara. Dan dari debat itu menjadi buku disertasi Buya di Chicago. Nah itu mewarnai semua pemikiran Buya,” imbuhnya.
Tidak Terjun Politik
Ketiga karena Buya tidak terjun ke politik. Beliau tahu politik tetapi tidak terjun politik. Kalau terjun ke politik kira-kira bedalah dengan Buya yang kita lihat sekarang ini.
“Pernah ditawari kesempatan untuk memimpin Partai Amanat Nasional (PAN) saat awal berdiri atau ditawari ketika Masyumi baru akan bangkit. Jawaban Buya singkat, tidak tertarik,” paparnya.
Coba bandingkan, lanjutnya, dengan Gus Dur, Amien Rais, dan Buya. Dulu semua tokoh ini aktivis humanisme universal juga.
“Tetapi ketika masuk ke partai politik cara berpikirnya akan beda. Pasti membawa interaksi-interaksi kepentingan-kepentingan power tadi. Memang ketika masuk PKB dan PAN masih ada humanisme itu namun sudah berbeda,” terangnya.
Amin Abdullah ingin membandingkan bahwa kebhinnekaan itu built-in Indonesia, sudah mendarah daging di Indonesia. Menurutnya ini modal kultural modal sosial yang hebat yang dimiliki Buya dan lainnya.
“Coba bandingkan dengan pemikir humanisme di Maroko dan Mauritania. Di Maroko ada Taha Abdurahman dan di Mauritania ada Abdallah bin Bayyah (Guru besar di Saudi Arabia),” urainya.
Mereka mengambil inspirasi humanisme bukan dari kultur, bukan dari modal sosial kultural. Tetapi Taha Abdurrahman mengambil dari al-Quran. Humanisme sebagai spirit agama dan itu diambil dari Asmaul Husna.
“Mungkin mereka plural juga tetapi vocal poinnya dia ambil dari Asmaul Husna. Kalau kita bisa menerapkan sifat-sifat ketuhanan dalam diri kita, Asmaul Husna itu, maka itulah humanisme,” tegasnya.
Humanisme dari Maroko dan Mauritania
Lain halnya, sambungnya, dengan Abdallah bin Bayyah dari Mauritania. Dia tokoh negara Islam Mauritania. Pendekatannya adalah fikih siasah. Dia melihat insaniatul insan, memanusiakan manusia, dan itu adalah humanisme dari perspektif akhlak dan makosid syariah.
“Buya tidak mungkin tidak mengetahui asmaul husna dan makasid syariah. Tetapi kesan saya Buya lebih tentang keindonesiaan yang plural yang menjiwai beliau, yang menjadi mission possible,” jelasnya.
“Apa humanisme Islam itu? Harus ada check list-nya ini. At-tasamuh atau toleransi. Itulah keindonesiaan. Kita from the early beginning sudah ada toleransi,” jelasnya.
Sekarang, sambungnya, konflik antarsuku hampir tidak ada. Konflik ras tidak ada, tetapi Amerika yang modern hancur saat ini gara-gara ras. Jadi toleransi itu built-in Indonesia.
Al-aman atau peacefull live. Kalau kita mengangkat humanisme tetapi di hati kita tidak ada peacefull percuma.
“Ketika Buya ditanya al-aman qabla al-iman atau al-iman qabla al-aman? Progresif muda mesti pilih al-aman qabla al-iman. Tetapi kalau puritan sebaliknya al-iman qabla al-aman,” ujarnya.
Hak asasi manusia. “Kita tahu bagaimana Buya dengan gagah berani membela Ahok. Lalu di-bully habis namanya apalagi di Sumatera Barat. Ini konsistensi betul dengan check list humanisme Islam,” kenangnya.
Terorisme dan Minoritas
Keempat tentang terorisme dan ekstrimisme. “Bagi Buya Syafi’i Ma’arif terorisme dan ekstrimisme sudah jelas tidak bisa kompromi,” tegasnya.
Kelima minoritas. “Bagaimana menghadapi aqaliyah juga jelas pandangan Buya Syafi’i Ma’arif. Bukan segregatif tetapi mengayomi dan melindungi,” terangnya.
Memang Buya mendapatkan pengaruh pendidikan, kemudian secara akademis berkenalan dengan manager team soft Quran-nya Fazrul Rahman.
“Juga pergaulan beliau memimpin Muhammadiyah. Itulah yang menjadikan humanisme Islam di alam pikiran Buya Syafi’i,” tuturnya.
Penulis Sugiran. Editor Mohammad Nurfatoni.