Tradisi Pesantren yang Tak Tergantikan oleh Belajar Daring di Rumah ditulis oleh M. Rifqi Rosyidi, Wakil Ketua Lembaga Pengembangan Pesantren (LP2) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur.
PWMU.CO – Lembaga pendidikan yang paling merasakan dampak pandemi Covid-19 adalah pondok pesantren (ponpes). Terutama yang terkait dengan kebijakan belajar di rumah, dengan mengandalkan model pembelajaran online tanpa tatap muka.
Ini bukan tradisi pesantren karena model pembelajaran semacam ini hanya berfungsi sebagai transfer of knowledge. Sementara ponpes lebih mengembangkan pendidikan yang bertumpu kepada keteladalan (uswah) dan pembiasaan (ta`wid). Keduanya tidak pernah tercover melalui pembelajaran online di rumah saja.
Peran Sentral Kiai di Ponpes
Dengan tidak bermaksud mengkultuskan seseorang, ketokohan seorang kiai di dalam pesantren bagi santri dan warganya dapat diidentikkan dengan kedudukan nabi di dalam kehidupan para sahabat ketika itu.
Semua perilaku nabi selalu dicermati oleh para sahabat untuk diikuti karena yang demikian itu merupakan bagian dari pembelajaran ajaran Islam kepada para sahabatnya sebagai pelangsung risalah nabi.
Begitu halnya seorang kiai. Sikap dan perilakunya selalu dijadikan panutan bagi seluruh warga pesantren. Kiai merupakan figur sentral di dalam kehidupan pesanren sehingga keteladanan seorang kiai menjadi ruh pesantren
Dalam sistem kehidupan pesantren keberadaan dan keteladanan sang kyai biasanya direpresentasikan oleh asatidz/ah dan pengasuh, baik dengan nama qism riayah, musyrif, murabbi, atau mudabbir sesuai dengan istilah yang berlaku masing-masing pesantren.
Keteladanan seperti inilah yang tidak bisa diwakili oleh orangtua dan anggota keluarga ketika santri harus belajar secara online dari rumah. Dan dalam banyak kasus menunjukkan ketidakberdayaan orangtua dalam menyikapi perilaku anaknya karena tidak mampu memposisikan dirinya sebagai kiai sekaligus ustadz bagi anaknya.
Sehingga muncul sebuah pernyataan bahwa anak-anak yang mendapat tugas nyantri di rumah karena pandemi Covid-19 ini banyak yang lebih mendengarkan petuah kiai dan asatidz/ah-nya dari pada menuruti perintah orangtuanya.
Karena orangtua dirasa tidak mampu menghadirkan perilaku pendidik yang layak dicontoh sebagaimana kiai dan asatidz/ah-nya. Di sinilah letak kebenaran firman Allah: “Mengapa kamu menyuruh orang lain mengerjakan kebajikan, sedangkan kamu melupakan (kewajiban) dirimu…” (al-Baqarah 44).
Hilangnya Tradisi Pesantren
Satu lagi tradisi pesantren yang hilang dari proses belajar di rumah saja, yaitu pembiasaan (ta’wid). Di pesantren seluruh santri harus menjalani proses kehidupan yang berulang dan berkesinambungan dengan konstan dan tertib.
Mulai bangun tidur sampai tidur lagi santri menjalani rutinitas kehidupan di pesantren dengan irama yang hampir sama; asrama-masjid-ruang kelas. Dan yang paling ditekankan oleh pesantren kepada santri-santrinya adalah membiasakan mereka untuk tertib ibadah dan tertib bahasa.
Santri baru biasanya menjalani proses adaptasi dengan rutinitas kehidupan pesantren selam 3-6 bulan pertama. Khususnya terkait dengan pemberlakuakn kewajiban berbahasa Arab dan Inggris dalam percakapan sehari-hari.
Dan kalau proses belajar dari rumah ini diperpanjang, maka pembiasaan tertib ibadah baik yang fardhu maupun yang sunnah dapat dipastikan ambyar. Belum lagi tidak tercapainya target pembiasaan berkomunikasi dengan bahasa Arab dan Inggris dan juga pelatihan menjadi dai dan muballigh melalui pembiasaan ceramah dan pidato dalam kegiatan muhadlarah.
Pendidikan karakter yang berusaha dibangun oleh pesantren dengan pembiasaan tersebut adalah kedisiplinan, kepercayaan diri, dan kontinuitas dalam berkegiatan.
Pesantren tidak mengenal istirahat dalam beraktivitas. Pengertian istirahat dalam perspektif persantren adalah perpindahan dari satu aktivitas menuju aktivitas yang lain sebagaimana pesan moral yang diambil dari surat al-Insyirah ayat 7: ”Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain)”.
Sehingga seandainya sebuah pesantren tidak menyelenggarakan kegiatan pembelajaran dalam bentuk apapun, baik formal maupun non formal, maka sebenarnya rutinitas santri dalam menjalani aktivitas yang berkesinambungan setiap hari tersebut sudah dapat disebut sebagai proses pendidikan yang berbasis pada pembentukan karakter santri.
Pesantren Muhammadiyah Harus Siap
Pertimbangan-pertimbangan inilah yang membuat beberapa praktisi pendidikan pesantren Muhammadiyah tidak begitu ‘rela’ kalau santri-santrinya menjalani proses pendidikan pesantren di rumah saja secara online.
Sikap tidak rela para pelaku pendidikan pesantren menyerahkan proses pembelajaran pesantren di rumah orangtuanya bukan tanpa alasan. Karena pada kenyataanya karakter santri terkesan hilang tak berbekas ketika santri menjalani liburan semester yang hanya 15 hari maksimal. Bagaimana dengan santri yang berada di rumah selam tiga bulan?
Pemerintah sudah melakukan sosialisasi pemberlakuan kebijakan secara bertahap termasuk istilah new normal kehidupan di pesantren.
Meskipun kebijakan ini terkesan dipaksakan dan terjadi banyak penolakan dari berbagai lembaga dan organisasi keagamaan, tetapi pesantren-pesantren Muhammadiyah harus fast respons. Juga harus optimis menyambut normalisasi kehidupan pesantren dengan persiapan maksimal apabila benar-benar wacana kebijakan normal baru itu diberlakukan.
Pesantren Muhammadiyah harus yakin bahwa ponpes adalah tempat karantina dan isolasi yang paling baik. Meskipun demikian pesantren yang merupakan AUM (amal usaha Muhammadiyah) harus mengacu kepada kajian-kajian ilmiah yang dilakukan oleh Majelis Dikdasmen dan Lembaga Pengembangan Pesantren (LP2) Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Juga mengindahkan arahan dan kebijakannya, sehingga normalisasi pendidikan pesantren dan pendidikan pada umumnya jangan sampai menjadikan pesantren sebagai klaster baru penyebaran Virus Corona.
Isi Draft Menteri Agama
Pada tanggal 28 Mei 2020, beredar draft kebijakan Menteri Agama RI yang ditetapkan di Jakarta tanggal 27 Mei 2020 tentang kegiatan pesantren dan revitalisasi rumah ibadah dalam menghadapi new normal.
Meskipun dalam praktiknya banyak pesantren yang tidak bisa mengikuti protokol kesehatan sesuai dengan kebijakanitu—karena keterbatasan dana dan fasilitas— tetapi sebaiknya pesantren-pesantren Muhammadiyah menjadikan draft kebijakan tersebut sebagai acuan.
Tujuannya untuk mempersiapkan diri dengan melakukan inventarisasi kebutuhan baik sarana sarana maupun tenaga yang disesuaikan dengan kekuatan masing-masing pesantren.
Berikut ini adalah prosedur yang harus dijalani oleh pesantren dan santri sesuai dengan draft yang beredar untuk dapat dijadikan acuan bagi pesantren Muhammadiyah dalam upaya menyiapkan diri:
Persiapan dari Rumah
- Memastikan fisik dalam kondisi sehat.
- Membawa peralatan makan minum sendiri, sebaiknya sendok lebih dari satu.
- Membawa vitamin C, madu dan nutrisi untuk ketahanan tubuh sebulan. Membawa masker dan hand sanitizer.
- Membawa sajadah tipis yang ringan diangkat dan mudah dicuci.
- Memperhatikan pengaturan mengenai protokol penggunaan sarana transportasi dan diusahakan menggunakan kendaraan pribadi/khusus.
- Pengantar tidak masuk asrama.
Ketika di Pesantren
- Santri sampai di Pondok
- Menjalani test PCR/rapit test dan selama belum ada hasil negatif santri menjalani isolasi di tempat yang sudah disediakan.
- Tidak bersalaman dengan pengasuh, guru, dan teman selama masa pandemi belum dinyatakan berakhir.
- Menjaga jarak tasaat berinteraksi, shalat/beribadah, belajar dan tidur.
- Selalu menggunakan masker, sering cuci tangan pakai sabun, dan selalu menyiapkan hand sanitizer.
- Mengkonsumsi vitamin C, E, madu. dan makanan-minuman bergizi setiap hari untuk menjaga imunitaas tubuh.
- Tidak makan dan minum di satu wadah bersama-sama dan tetap mengikuti protokol kesehatan.
- Hanya menggunakan pakaian, handuk, peralatan mandi, dan kasur sendiri
- Tidak keluar lingkungan pondok kecuali untuk kepentingan khusus dengan persetujuan pengasuh.
- Wali santri/keluarga tidak diperkenankan menjenguk selama pandemi belum berakhir. Jika terpaksa harus menjenguk, agar menerapkan protokol Covid-19.
- Santri yang sakit segera diisolasi untuk dirawat di kamar khusus/klinik pesantren. Apabila perlu penanganan dokter dilakukan konsultasi dengan wali santri.
Daya Tahan Finansial Pesantren
Ada satu hal yang menarik terkait dengan daya tahan keuangan pesantren pada masa Covid-19 ini. Dalam silaturrahim online mudir pesantren Muhammadiyah yang diselenggarakan oleh LP2 PP Muhammadiyah 22 Mei 2020, diketahui bahwa pesantren Muhammadiyah rata-rata menghadapi problem keuangan yang sama ketika kebijakan belajar di rumah diberlakukan dan santri dipulangkan.
Dengan sumber keuangan yang mayoritas mengandalkan pemasukan dari SPP bulanan dan unit-unit usaha yang konsumennya juga santri, sedangkan mayoritas wali santri secara ekonomi juga terdampak sehingga pembayaran syahriahnya tertunda.
Maka praktis hanya beberapa pesantren yang mampu bertahan secara finansial sampai bulan Juli untuk keperluan operasional dan mukafaah bagi tenaga pengajar. Apalagi kalau tahun ajaran baru dimulai bulan Januari, dapat dipastikan banyak pesantren yang “lock down” kehabisan amunisi.
Sinergitas Lazismu, rumah sakit Muhammadiyah dan MCCC harusnya menjadi kekuatan tersendiri bagi pesantren-pesantren Muhammadiyah untuk membantu guru-guru sebagai aset utama pesantren. Agar tetap bertahan dan pengadaan segala kebutuhan yang terkait dengan pelaksanaan protokol kesehatan yang standar ketika harus mendatangkan santri-santriya kembali ke pesantren. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.