PWMU.CO– Pemikiran Buya Syafii Maarif konkret, kritis, dan jelas. Mempunyai kekhasan Islam yang bisa dimengerti kelompok lain.
Hal itu disampaikan oleh tokoh Katolik Romo Haryatmoko SJ dalam diskusi Pemikiran Syafii Maarif dengan mengangkat tema Merawat Buya, Merawat Indonesia: Buya Syafii Maarif di Mata Tokoh Bangsa. Diskusi melalui zoom, Jumat (6/6/20).
Romo Haryatmoko menyebutkan buku Buya Ahmad Syafii Maarif yang berjudul Islam dan Masalah Kenegaraan, Studi tentang Percaturan dalam Konstintuante yang dinilai penafsirannya yang historis, sistematis, tetapi juga kritis.
”Keterbukaaan pemikirannya waktu menjelaskan tiga paradigma relasi Islam dan politik dalam konteks global,” katanya. ”Tiga paradigma yang disebut integritas paradigma, simbiotik paradigma, dan sekularis paradigma. Dari situ saya melihat tidak mungkin orang yang berpikiran tidak terbuka berani menggunakan kategori seperti itu.”
Menurut dia, kategori seperti itu menjadikan penafsiran tidak tunggal. Dijelaskan, tidak bisa orang mengatakan penafsirannya sebagai satu-satunya yang benar. Buya Syafii dengan tiga cara itu membuka paradigma lain sehingga tidak satu perspektif, tidak menafikan adanya perbedaan.
Haryatmoko menyatakan, posisi politik Buya Syafii sangat konkret, kritis, dan jelas. Misalnya, kasus Ahok atau hasil Pemilu mengambil posisi politik yang menyejukkan, memberikan suatu cara berpikir yang jernih.
”Pada diri Buya Syafii mempunyai kekhasan Islam bukan hanya dialami oleh komunitas muslim tetapi bisa dimengerti dan dirasakan sumbanganya bagi umat kelompok lain,” jelasnya.
Nilai Universalitas Konkret
Agama Islam khususnya Muhammadiyah, sambung dia, berhasil menunjukkan dimensi universalitas dari nilai Islam secara konkret. ”Universalitas konkret saya analogikan ibarat karya seni, karena karya seni itu tidak mengenal agama, karya seni ketika berhasil, berkualitas, semua orang akan mengapresiasi, dan menghargai,” tambahnya.
Bagi dia, Buya Syafii adalah karya seni Islam, karya seni yang dihasilkan oleh Muhammadiyah karena dibesarkan dalam lingkungan Islam dan sumbangannya dirasakan oleh semua pemeluk agama.
Dia lebih suka mengajak, panggilan agama-agama bukan tentang proselitisme tetapi seperti Buya Syafii ini, panggilan agama adalah menciptakan karya seni pemeluk-pemeluknya supaya pemeluknya menjadi karya seni yang dihargai bagi semua orang.
”Bagi saya, Mahatma Gandhi itu karya seni, Bunda Theresa itu karya seni, Gus Dur karya seni dan Buya Syafii karya seni, diakui dan diterima serta sumbanganya dirasakan oleh orang-orang,” tuturnya.
Kalau orientasi agama-agama arahnya menciptakan karya seni, kata dia, maka ketegangan konflik dapat diredakan, karena orang akan diukur dari sejauh mana bermanfaat, sejauh mana menyumbang bagi peradaban.
Orang belajar karena ada model kehidupan, ujarnya, teladan hidup Buya Syafii itu adalah kisah yang indah yang mendorong orang untuk terlibat. Kalau kepastian itu bentuknya hukum cenderung kaku, menjebak orang masuk dalam kemunafikan. Kejelasan itu jernih dan arahnya jelas, luwes tidak harus kaku. (*)
Penulis Faiz Rijal Izzuddin Editor Sugeng Purwanto