PWMU.CO-Ketua PWA Jatim periode 1990-2000 Hajah Musyrifah (87) meninggal dunia saat dirawat di RS Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Selasa (9/6/2020) pagi.
”Beliau selama hidup istiqamah berkhidmat di Muhammadiyah dan wafat di Rumah Sakit Muhammadiyah. Semoga ini menjadi tanda husnul khotimah,” kata Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim Saad Ibrahim seusai memimpin shalat jenazah di Masjid KH M. Bedjo Dermoleksono di kompleks RS UMM.
Musyrifah adalah ibu dari Dokter Esty Martiana Rachmi. Putrinya ini juga pernah menjabat ketua PWA Jatim selama dua periode tahun 2005-2015.
Dokter Esty, mantan kepala Dinas Kesehatan Kota Surabaya, kini melanjutkan pengabdian di Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah duduk di Majelis Pembina Kesehatan Umum. Sedangkan di PP Aisyiyah sebagai ketua Majelis Kesejahteraan Sosial.
Jenazah Musyrifah dishalatkan jamaah terdiri 4 pria dan 11 perempuan dari Aisyiyah. Jamaah menerapkan jarak fisik dengan merenggangkan shaf. Sebelum wafat, Musyrifah dirawat beberapa hari di RS Muhammadiyah dan sempat diperbolehkan pulang di rumahnya di Malang. Dia memilih dirawat di kota ini karena hawanya sejuk.
Di rumah, Musyrifah mengeluh sesak nafas sehingga dibawa kembali ke RS UMM. Selasa Subuh, sosok berusia 87 tahun itu wafat. ”Mohon dimaafkan apabila ada kesalahan ibu saya,” pinta Dokter Esty kepada para pentakziah.
Pengurusan jenazah dipercepat karena suasana pandemi Covid-19, menghindarkan terjadinya kerumunan. Seusai dishalatkan, jenazah dibawa ke pemakaman Kebraon, Surabaya, daerah tempat tinggalnya bersama sang putri. Dokter Esty turut mendampingi jenazah ibunya di dalam ambulans.
Satu-satunya Anggota Dewan Perempuan
Selama berkhidmat di Aisyiyah, Musyrifah dikenal luas karena sering mengisi pengajian di ranting dan cabang. Dikisahkan, setiap pengajian, jamaahnya selalu meriah. Kepiawaiannya bertabligh ini ditempa di Muallimat Surakarta. Sejak usia 15 tahun sudah menjadi guru.
Musyrifah juga menjadi wakil rakyat dari Masyumi. Dia satu-satunya perempuan di DPRD Lamongan, tempat kelahirannya. Musyrifah muda, 24 tahun, lolos dalam persaingan yang ketat dalam Pemilu DPRD Juni 1957, sebagai rangkaian ketiga Pemilu 1955.
Waktu kampanye ke pelosok-pelosok naik cikar dan jalan kaki. Pernah saat menyeberang kali hampir hanyut. ”Pernah juga saat kampanye, tempat menginapnya harus pindah mendadak, karena rumahnya dilempari,” tutur dr Esty menuturkan kisah perjuangan ibunya. Waktu itu saingan ideologis tersengit Masyumi adalah PKI.
Perjuangan Musyrifah itu didukung sang suami, A. Maksoem. Mantan pejuang laskar Hizbullah di Solo yang semasa perjuangan kemerdekaan bergiat di Muhammadiyah Lamongan di tengah kesibukannya sebagai guru. Kemudian keluarga ini hijrah ke Surabaya.
Prinsip Perjuangan Dakwah
Dokter Esty yang putri sulung itu selalu terngiang dengan wejangan ibunya terkait perjuangan dakwah. ”Kalau ber-Asyiyah itu harus selalu berpikir apa yang bisa saya berikan, bukan apa yang bisa saya dapatkan. Dan jangan gampang putus asa,” kata mantan direktur RS Khodijah Sepanjang, Sidoarjo yang kini sebagai surveyor di Kementerian kesehatan ini.
Keteladanan orangtua itu juga menyemangati dua adik Esty yakni, Erly Azhar, alumnus ITS, serta si bungsu Nasrullah Hidayat, alumnus UB Malang, yang juga bergiat di lingkungannya.
Teladan lain dari Musyrifah adalah telaten membina kader sejak mereka kanak-kanak. Dwi Endah mengenang ketika usiaTK, sekitar seperempat abad lalu, sering mendapat jajan dan permen ketika ikut pengajian di ranting Kertajaya.
Kadang pengajian itu diisi Musyrifah. ”Tiga generasi keluarga saya, mulai nenek, ibu, dan saya mengenal beliau,” kata Dwi Endah yang kini menjadi ketua Majelis Penelitian dan Pengembangan Aisyiyah ( LPPA) PWA Jatim.
Pertanyaan ”Sudah maem (makan)?” dari Musyrifah juga diingat Dewi Maryam. Saat dia ikut ibunya mengunjungi daerah, Musyrifah terlihat sangat perhatian. ”Beliau sangat baik,” kenang Dewi Maryam dari Majelis Kesehatan PWA yang bekerja di RSUD dr Soetomo yang kini studi S2 di Taiwan.
Selamat jalan, Ibu Musyrifah. Semoga Allah menjadikan amal kebajikannya menjadi maghfirah dan penerang di alam barzah. (*)
Penulis Arini Jauharoh Editor Sugeng Purwanto