Jejak Siti Naisyah di Ranting Sukolilo ditulis oleh Tri Eko Sulistiowati. Berikut kisahnya.
PWMU.CO – Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) Sukolilo, Surabaya berada di kawasan pesisir Pantai Kenjeran dengan sebagian besar mata pencaharian warganya adalah nelayan. Tentunya, banyak ritual-ritual yang berhubungan dengan laut sebagai sumber mata pencaharian telah dilakukan penduduk setempat.
Salah satu contoh ritual tersebut, apabila di kampung nelayan terserang wabah penyakit tertentu, maka masyarakat akan menghanyutkan sesajen ke tengah laut. Juga ketika ada salah satu warga yang bermimpi buruk, maka warga tersebut akan membuang sesajen berupa bumbu dapur lengkap dan lain-lain ke laut.
Melihat kondisi itu, maka pada 1936 Sukarmin bersama dengan beberapa warga mendirikan Muhammadiyah di Sukolilo. Kemudian berlanjut berdiri Aisyiyah, Nasyiatul Aisyiyah, dan Pemuda Muhammadiyah.
Di tengah maraknya praktik tahayul, bid’ah, dan khurafat (TBC) yang sudah menjadi tradisi dan budaya warga pesisir pantai Kenjeran, Muhammadiyah dan Aisyiyah bergandeng tangan meluruskan secara perlahan. Hingga saat ini, sudah tidak ada lagi tradisi larung sesaji, mitoni, dan lainnya.
Kiprah Siti Naisyah
Semua itu tak lepas dari kiprah tokoh Muhammadiyah dan Aisyiyah yang istikamah berjuang. Salah satunya almarhum Siti Naisyah yang menjabat sebagai Ketua Pimpinan Ranting Aisyiyah (PRA) Sukolilo periode 1975-1985. Ia mengikuti jejak ibunya, Diaisyah Rebona yang menjadi Ketua PRA Sukolilo periode 1945-1955.
Siti Naisyah telah wafat pada 26 Mei 2020 lalu dan meninggalkan rekam jejak kebaikan serta berbagai kenangan dan suri teladan bagi generasi sesudahnya.
Kegigihan dan konsistennya dalam berjuang di Aisyiyah dibuktikan dengan pengajian dari rumah ke rumah memberantas tahayul, bid’ah, dan khurafat. Ia memasukkan ajaran-ajaran tauhid, dimulai dari menghidupkan Mushalla Aisyiyah yang merupakan wakaf dari Pak Dhaif.
Selain menggiatkan jamaah shalat lima waktu, ada juga taman pendidikan al-Quran hingga lokasi pusat pengembangan dakwah Aisyiyah. Tak hanya itu, pemberantasan buta huruf al-Quran dan wajib belajar sejak dini melalui TK Aisyiyah 19 yang didirikan tahun 1970 terus digaungkan.
Sehingga semangat untuk maju dan berprestasi tak kalah dengan ranting lainnya, walaupun Ranting Sukolilo terletak di kawasan Surabaya Utara dan pinggiran pantai.
Ketua Pimpinan Ranting Nasyiatul Aisyiyah Sukolilo periode 1965-1985 Muslimah mengenang Siti Naisyah sebagai wanita yang tegar dengan sembilan orang putra-putri. “Semangatnya menebarkan kebaikan dan mengajak perempuan nelayan ber-Aisyiyah, tanpa lelah menyerukan amar makruf nahi mungkar tanpa meninggalkan kodratnya sebagai ibu dari anak-anaknya,” terangnya.
Generasi Penerus di Muhammadiyah Sukolilo
Kesembilan putra-putrinya menjadi penerus perjuangan di Muhammadiyah. Mulai dari anak pertama Muhammad Shohe, Subiyakto, dan Ismail.
Sebagai kakak tertua, Muhammad Shohe banyak memberikan contoh pada adik-adiknya dengan aktif di organisasi otonomi Muhammadiyah. Sehingga ketika mereka berumah tangga dan hijrah ke desa lain, jejaknya masih menjadi teladan.
Saat ini, putra keempat Siti Naisyah masih aktif sebagai pengurus PRM Sukolilo. Ia adalah Ahmad Khoirul. Ia mengaku masih mengingat pesan kedua orangtuanya.
“Kalau di Muhammadiyah jadi anggota atau pimpinan, yang ikhlas lillahita’ala, cuma mengharap ridha Allah, sehingga apa pun hasilnya tidak akan kecewa dan sakit hati,” kenangnya.
Lima putra-putri lainnya yaitu Muhammad Ilham, Abdul Majid, Muhammad Mansyur, Yuni Ahadi, dan Marini juga aktif di Muhammadiyah dan Aisyiyah di sela kesibukan menjalani aktivitas keseharian. (*)
Co-Editor Ria Pusvita Sari. Editor Mohammad Nurfatoni.