PWMU.CO – Fadli Zon: Anggota DPR RI yang juga Wakil Ketua Umum Partai Gerindra mengatakan, demokrasi kita disponsori para cukong dan rakyat hanya menjadi angka-angka saja.
Demikian dia sampaikan dalam Kajian Strategis Dewan Nasional Pergerakan Indonesia Maju (DN PIM) dengan tema “Menyoal RUU tentang Pemilu dan Prospek Demokrasi di Indonesia” yang dimoderatori oleh Prof Dr Din Syamsuddin, Selasa (9/6/2020)
Menyorot prospek demokrasi di Indonesia, Fadli Zon menyatakan, Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu idealnya memang dibahas di awal, namun di sisi lain ada ironi karena sistem di Indonesia selalu dibahas lima tahun sekali.
“Undang-undang pemilu ini idealnya punya jangka waktu panjang, bukan hanya untuk lima tahun dengan situasi tertentu dan kepentingan tertentu atau power block dan power struggle yang tertentu,” ujarnya.
Dia berpendapat, harusnya undang-undang itu memiliki jangka panjang bukan hanya rutinitas lima tahun sekali sehingga ada continuity, bukan sebaliknya malah terjadi discontinuity.
“Saya kira mungkin 10 tahun, 15 tahun atau sebenarnya idealnya 20 tahun. Sehingga ada satu continuity. Kita ini tidak mau membangun demokrasi yang benar-benar substantif namun lebih banyak mengakali UU untuk jangka pendek,” tandasnya.
Fadli Zon beranggapan, persoalan demokrasi di Indonesia hari ini menjadi demokrasi yang prosedural sehingga membuat demokrasi kita menjadi demokrasi yang mahal dan sangat mahal.
“Di dalam pertarungan untuk jabatan publik misalnya Presiden, DPR RI, DPRD Provinsi dan lain sebagainya, ini menjadi sebuah battle of the billionaires. Menjadi pertarungan bagi orang yang punya uang, yang kaya raya, yang punya modal atau yang punya cukong,” tandasnya.
Sehingga, ia menambahkan, jika kita mau jujur bicara, sebenarnya demokrasi kita adalah demokrasi yang dikendalikan oleh para cukong. Baik pilpres maupun yang lain dan sangat sedikit yang tidak terkait dengan itu.
“Kalau demokrasi kita disponsrori para cukong. Maka apa yang bisa diharapkan? Akhirnya terjadi sebuah oligarki. Mereka yang punya kepentingan di Indonesia cukup memegang 9 partai politik,” katanya.
Demokrasi Abal-Abal
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) periode 2014 – 2019 ini menyatakan, kalau Indonesia disebut sebagai negara demokrasi, sebenarnya sistem demokrasi kita ini adalah demokrasi abal-abal. Tidak terlalu sesuai dengan apa yang diharapkan dalam perubahan reformasi dan daulat rakyat itu tidak terlihat.
“Jadi sebetulnya tidak ada yang namanya rakyat. Rakyat itu hanya menjadi angka-angka saja. Dan menurut saya ini harus diubah total,” tegasnya.
Terkait perubahan itu, dia mengusulkan bagaimana agar partisipasi rakyat itu diterjemahkan secara substantif dan ada perwakilan. “Jadi daulat rakyat itu ada di dalam praktik demokrasi kita,” ucapnya.
Menurut Fadli Zon, persoalan-persoalan dasar pada pemilu tahun lalu pun masih terjadi beberapa kendala yang belum terselesaikan.
“Persoalan basic terkait Daftar Pemilih Tetap (DPT) saja tidak pernah beres. Sudah 75 tahun kita merdeka tapi DPT saja kita tidak pernah beres. Ini menjadi salah satu pintu kecurangan yang memang dibikin agar tidak beres. DPT akan dibikin menjadi daerah abu-abu untuk kepentingan kecurangan,” tegasnya.
Selain itu, menurutnya, netralitas penyelenggara pemilu juga menjadi masalah klasik di tataran pelaksanaan.
“Problem hitung cepat dan menimbulkan ratusan petugas yang sampai sekarang belum jelas apa yang menjadi penyebabnya,” tuturnya. (*)
Kontributor Nely Izzatul Editor Mohammad Nurfatoni