PWMU.CO – Muhammadiyah: antara pemurnian dan pembaharuan disampaikan Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim Dr M Saad Ibrahim MA dalam Silaturahim dan Halal bi Halal Majelis Pelayanan Sosial (MPS).
Kegiatan diikuti MPS Pimpinan Daerah Muhammadiyah dan Panti Asuhan Muhammadiyah dan Aisyiyah (PAMA) se-Jatim via aplikasi Zoom, Rabu (10/6/2020).
Mengawali tausiahnya, Saad Ibrahim mengungkapkan PWM Jatim mengapresiasi acara yang melibatkan MPS Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Meski tidak bisa halal bi halal seperti biasanya, tetapi dengan Zoom Meeting ini kemudian bisa melakukan silaturahim atau halal bi halal.
“Tentu ini bagian dari paradigma Muhammadiyah. Yakni ber-Islam secara berkemajuan. Ini sudah merupakan hal yang logis karena Islam itu sesuai dengan massa dan tempat apapun,” ujarnya.
Penyesuaian itu, sambungnya, menjadi tugas kita. Salah satunya kita menyesuaikan dengan kemajuan sehingga Islam yang dipahami oleh Muhammadiyah adalah Islam yang berkemajuan.
Pemurnian dan Pembaharuan
“Di satu sisi Islam yang kita pahami itu diletakkan pada garis at-tajrid artinya pemurnian. Dengan konsep besarnya kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah,” ungkapnya.
Tetapi, lanjutnya, Muhammadiyah juga melakukan at-tajdid atau pembaharuan. Kalau pemurnian itu kita kembali ke masa lampau ketika ayat-ayat al-Quran diturunkan, ketika nabi berkiprah dalam bentuk haditsnya, dalam bentuk ucapan perbuatan dan ketetapan-ketetapannya.
“Maka at-tajdid itu kaki kiri kita melangkah ke depan yang kita proyeksikan terutama terkait perkembangan sains dan teknologi. Inilah paham keislaman yang berkemajuan di dalam Muhammadiyah,” ujarnya.
Menurutnya di satu sisi kita mengikuti ulama salaf atau kehidupan salaf. Mulai awal tentunya Nabi, sahabat, dan tabiin.
“Kita utamakan yang dari nabi itu. Inilah yang disebut salafiyun. Tetapi dalam hal beragama satu sisi kita mengikuti yang paling salaf, di sisi lain kita juga berkeyakinan Islam cocok segala zaman dan tempat,” urainya.
Untuk menjadi shaleh, sambungnya, maka kitalah yang menyesuaikan. Tentu sepanjang hal yang bersangkutan bisa dikontekskan dengan situasi waktu kehidupan sekarang atau modern.
“Prinsip tauhid tidak memerlukan kontekstualisasi. Kapanpun dan di manapun akan tetap ajaran bertauhid itu. Tetapi untuk sebagian ibadah yang tidak mahdah itu bisa disesuaikan dengan tuntutan kehidupan terutama berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi,” paparnya.
Rukyat, Teropong, dan Astronomi
Saad Ibrahim mengatakan surat al-Baqarah 185 menuntut kita kaum Muslimin untuk memulai puasa atau bulan qamariah baru dengan syahadatul hilal. Lalu syahadatul hilal diwujudkan oleh Nabi melalui rukyatul hilal bil ain fitan atau melihat hilal dengan mata secara langsung.
“Kalau tidak bisa terlihat—entah wujud tetapi tidak bisa dilihat, atau sebenarnya memang tidak ada sehingga pasti tidak terlihat—maka menyempurnakan bulan yang sedang berjalan 30 hari. Maka istilahnya mamsus,” jelasnya.
Perkembangan berikutnya, ujarnya, orang menggunakan teropong yang ini belum ada di zaman nabi. Penggunaan teropong sudah tidak berdasarkan nash secara langsung sehingga disebut tidak mamsus.
“Konsekuensinya juga berbeda. Ketika hilal dilihat mata langsung tidak terlihat, mestinya menurut hadits nabi malam itu dan besok paginya masih tanggal 30 bulan Qamariah yang sedang berjalan. Tetapi kemudian menggunakan teropong terlihat, maka malam itu sudah masuk tanggal 1 Qamariyah,” terangnya.
Muhammadiyah, menurutnya, tidak menggunakan rukyatul hilal dan seterusnya. Bukan juga menggunakan teropong tetapi menggunakan ilmu astronomi. Yang ilmunya hampir exactly benar.
“Dalam Fikih Syiam Yusuf Al Qardhawi menyatakan kalau ada kesalahan penerapan konsep astronomi baru itu, maka kesalahannya itu berkisar seper seribu ratus detik,” tegasnya.
“Coba dibayangkan. Jadi hampir exactly betul. Maka inilah Muhammadiyah yang berkemajuan itu. Kembali soal keberagamaan, maka inilah yang dipakai Muhammadiyah,” tuturnya. (*)
Penulis Sugiran. Editor Mohammad Nurfatoni.