PWMU.CO-Syarat pemimpin harus punya kemampuan intelektual, skill, dan spiritual. Yang terakhir ini bersumber pada intuisi, akhlak dan hati. Tiga syarat ini menjadikan pemimpin mempunyai keahlian.
Hal itu disampaikan oleh pakar hukum tata negera dari Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Dr M Busyro Muqoddas SH MHum dalam dialog vitual Syawal yang diadakan Majelis Pendidikan Kader (MPK) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Rabu (10/6/20). Tema yang dibahas dalam diskusi zoom itu Kepemimpinan Nasional Pasca Pandemi Covid-19.
Menurut dia, apabila ada satu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya maka akan kita tunggu kehancurannya. ”Kullukum roin wa kullukum mas’ulun,” katanya.
”Kepemimpinan sekarang ini minimal kita mengambil dua poin. Poin pertama menghadapi masyarakat yang terlatih dalam empat bulan ini karena musibah yang hakikatnya datang dari Allah. Itulah cara Allah mencintai makhluknya. Kedua, saya melihat menguatnya hegemoni oligarki bisnis dan oligarki politik di Indonesia,” ujar Busyro yang juga ketua PP Muhammadiyah.
Dengan situasi demikian, ujar dia, kepemimpinan harus mampu melihat dengan mata hati, akal warasnya. Mestinya kepemimpinan nasional itu segera mengakhiri praktik oligarki ini.
Contoh oligarki, sambungnya, dipaksakannya UU Minerba oleh pemerintah dan DPR yang sudah didominasi eksekutif. Dominannya dua kekuatannya ini menjadikan birokrasi kita berwatak korporatokrasi.
Model Pemikiran Kader
Dia menjelaskan, pemikiran kader pemimpin yang pertama itu harus berbasis pada sejumlah keunggulan moral profetik yang bersendi pada gerakan amaliyah, liberasi, humaniti, transendensi.
”Di Muhammadiyah sudah ada tradisi yang dijalani selama 108 tahun oleh orang-orang Muhammadiyah. Yang betul-betul Muhammadiyah tidak cukup hanya mikir saja, tapi dengan amaliyah yang berwatak. Bersifat memerdekakan lalu memanusiakan siapapun,” jelasnya.
Kedua, pemikiran kader berbasis pada sistem organisasi modern yang responsif, antisipatif, progresif, professional, independen dan akuntabel. Jadi gerakan harus dituntut profesional dan independen. ”Jiwa merdeka, pikiran merdeka. Tidak bisa diinterpretasi oleh siapapun juga,” tuturnya.
Ketiga, mobilisasi kekuatan elemen-elemen masyarakat dalam sistem jejaring sosial. ”Muhammadiyah tidak bisa seakan mengisolasi diri. Justru kader-kader Muhammadiyah harus menjaring hubungan luas mencontoh para pendahulu,” ujarnya.
Keempat, pola gerakan berkesinambungan dengan konsep road map menjelaskan visi-misi, sebagai upaya pencapaian hasil sesuatu. Kemudian ijabarkan kedalam strategi gerakan lima tahunan. (*)
Penulis Faiz Rijal Izzuddin Editor Sugeng Purwanto