Dakwah Muhammadiyah Model Panijo oleh Aji Damanuri, dosen IAIN Ponorogo, sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid PDM Tulungagung.
PWMU.CO-Pak Panijo, sesepuh Ranting Muhammadiyah Desa Ngunggahan Kec. Bandung Tulungagung. Dia seangkatan dengan almarhum bapak saya, H Romali.
Dulu di desa saya ketika ada orang meninggal pasti langsung menggelar pesta sekaligus. Menyembelih kambing atau sapi. Sebagian orang mengurus jenazah, lainnya memasak kambing atau sapi. Sebelum pemberangkatan jenazah semua yang hadir diberi makan nasi gule.
Hanya warga Muhammadiyah yang menolak untuk makan karena mengetahui hadits larangan makan-makan di rumah yang sedang berduka. Hadits itu justru menganjurkan para tetangga yang memasak untuk keperluan keluarga jenazah.
Warga Muhammadiyah yang menolak makan itu dirasani sombong dan tidak menghargai adat kebiasaan. Mereka beralasan, mengubur hewan saja diberi makan mosok menguburkan jenazah orang kok tidak boleh diberi makan.
Cerita Ayam Mati
Pak Panijo memikirkan cara berdakwah kepada para tetangganya ini. Tentu tidak dengan dalil-dalil. Dia menemukan caranya. Orang-orang desa ini saat takziyah jika duduk dekat warga Muhammadiyah merasa sungkan untuk makan.
Maka disepakati ketika takziyah, warga Muhammadiyah harus duduk menyebar membaur dengan warga lainnya, jangan bergerombol sendiri. Saat disodori ditolak dengan cara sopan.
Suatu ada ada takziyah. Ketika makanan datang, Pak Panijo mengajak ngobrol mereka. ”Enak Kang?”
”Ya jelas enaklah, gule kambing,” jawab warga.
Kemudian Pak Panijo bercerita. ”Saya punya ayam sekandang di belakang rumah. Suatu saat ada dahan kelapa jatuh mengenai satu ayam.” Pak Panijo berhenti sesaat sambil melihat lahap tetangganya yang makan.
”Terus gimana, Kang?” tanya warga itu penasaran.
”Yang aneh itu ketika aku kasih makanan. Ayam satu kandang kok pada tidak mau makan melihatada ayam yang mati. Kayaknya kok bersedih dan solidaritas karena ada temannya yang mati,” cerita Pak Panijo.
”Wah, nyindir aku yo, Kang,” jawab warga sambil meletakkan piringnya.
”Ya tidak, hanya aku heran saja kok ya hewan saja bisa begitu ya,” jawab Pak Panijo.
Cerita Ikan Lele
Pada kesempatan takziyah hari lain, di saat acara makan, Pak Panijo cerita tentang pelihara lele. ”Lele itu kalau ada yang mati, tetap saja lahap menyantap makanannya. Bahkan temannya yang mati dimakannya juga”
Langsung saja orang-orang yang mendengarkan langsung menaruh piringnya sambil menggerutu,”Hmm asyeemm.. Kaang, selera makanku hilang.” Lalu mereka tertawa bersama.
Begitulah, dakwah seperti itu disampaikan bertahun-tahun hingga tradisi pesta saat kematian berangsur-angsur hilang. Tanpa dalil ayat al-Quran dan hadits.
Sekarang tidak ada lagi tradisi penyembelihan hewan saat kematian.Proses pemakaman jenazah jadi lebih cepat. Tak perlu lagi menunggu makanan.
Ibu-ibu cukup membawa beras untuk keluarga yang berduka dan menghibur mereka dengan berkumpul sampai pemberangkatan jenazah. Sedang bapak-bapak membantu persiapan nisan, papan penutup jenazah, menyediakan tempat wudlu, kendaraan pengangkut, dan menshalatkannya. (*)
Editor Sugeng Purwanto