Pertigaan Kauman menuju Masjid Agung. Selain jalan utama menuju Masjid Agung, di jalan ini juga ada jejak-jejak perjalanan Muhammadiyah. Ada TK Aisyiyah Kauman berdampingan dengan Gedung Aisyiyah Kauman. Selain TK, bangunan kompleks ini ternyata juga ditempati oleh Poliklinik Majelis Kesehatan dan Kesejahteraan Masyarakat PW Muhammadiyah Yogyakarta, serta Gugus TK Inti Kecamatan Gondomanan.
Di ujung timur jalan, Kauman menyuguhkan jejak heroismenya saat mempertahankan kemerdekaan RI. Penandanya adalah tugu Angkatan Perang Sabil (APS) yang ditandatangani oleh Letnan Kolonel Sukedi pada 20 Agustus 1995. Tugu ini dibangun untuk mengenang sekaligus menghormati 24 pejuang dari Kauman yang gugur dalam mempertahankan kemerdekaan, 1945-1949. Salah satu syahid yang tertulis adalah cucu Kyai Ahmad Dahlan yang diberi nama sama dengan kakeknya itu, yaitu Ahmad Dahlan.
(Baca: Ahmad Dahlan, Cucu KH Ahmad Dahlan yang Gugur dalam Pertempuran Pertahankan Kemerdekaan RI)
Lahan yang ditempatinya tidak luas, 22-an meter persegi. Jika tidak teliti, bisa jadi Anda akan menganggap monumen ini kurang bermakna karena posisinya ‘terjepit’. Sepintas, tampak seperti taman rukun warga (RW) yang tidak mempunyai nilai sejarah. Namun, jika dicermati secara seksama, ada 24 nama penduduk lokal yang syahid mempertahankan kemerdekaan.
Sekitar 2 meter ke timur, juga berdiri kantor Pimpinan Ranting Muhammadiyah Kauman. Setelah itu, barulah ada gapura kecil sekaligus penanda batas Kauman dengan ‘Ngindungan’ dan Masjid Agung Kraton. Terkait ‘Ngindungan’, komunitas ini memang mempunyai cerita tersendiri. Ngindungan berasal dari kata ngindung, orang yang bertempat tinggal pada tanah milik orang lain.
Awalnya mereka adalah pendatang yang ngenger di Dalem Pengulu dan buruh pabrik batik yang rumahnya jauh dari kota Yogyakarta. Kemudian mereka diizinkan bertempat tinggal di tanah kosong pengulon yang masih luas. Awalnya sedikit, tetapi lama-lama bertambah banyak, dan menetap.
“Para penghuni baru pengulon ini akhirnya menjalin hubungan dan saling pengaruh-mempengaruhi, sehingga tercipta masyarakat baru yang disebut Ngindungan,” papar penulis buku Sejarah Kauman, Ahmad Adaby Darban.
Secara administratif memang berada di Kauman, tetapi komunitas ini tetap punya minimal empat perbedaan. Komunitas ini bukan berasal dari abdi dalem Kraton, bukan masyarakat yang terbentuk dari pertalian darah layaknya Kauman, serta faktor ekonomi antara pemilik modal dan buruh sebagai pembedanya. “Tingkat penghayatan dan pengamalan agama Islam masyarakat Ngindungan rendah jika dibandingkan dengan masyarakat Kauman,” jelas Darban.
(Baca: Begini Cerita Bung Karno Masuk Muhammadiyah dan 3 Fase Keagamaan Bung Karno: dari Muslim KTP Jadi Muslim yang Yakin)
Selain jalan utama kampung, untuk menuju Masjid Agung, warga Kauman juga bisa lewat sebelah selatan masjid. Berbeda dengan jalan kampung yang indah dan lebar, jalan di sini hanyalah gang kecil yang lebarnya 1,5 meteran. Belokan gang ini tepat sebelum plang KHA Dahlan.
Jika Anda berjalan ke timur terus dari jalan utama Kauman, maka di sebelah kiri gang ada sebuah pemakaman. Di komplek inilah Siti Walidah, istri KH Ahmad Dahlan, dikuburkan. Melangkah sedikit ke timur, di situ berdiri Pawiyatan, yang dipindah dari depan rumah KH Ahmad Dahlan pada 1921. Sekarang, ia bernama Sekolah Pawiyatan Wanita SD Muhammadiyah Kauman.
(Baca: Siti Walidah, Lebih dari Seorang Kartini dan Ini Salah Satu Perbandingan Kartini dan Siti Walidah)
Meski Siti Walidah dimakamkan di Kauman, tetapi tidak begitu halnya dengan KH Ahmad Dahlan. Dia dimakamkan di Karangkajen, yang jaraknya sekitar 4 kilometer. Karangkajen adalah paduan dua kata, Karang yang berarti lahan luas, dan Kajen yang berarti Haji atau orang yang sudah menunaikan haji. “Karena saat itu kampung Muslim masih sangat terbatas, maka setiap kampung Muslim dipastikan punya hubungan famili. Sehingga KH Ahmad Dahlan dimakamkan di sana,” terang Ahmad Nafi’an.
Selanjutnya halaman 4..