PWMU.CO – Ada Sarjana Tak Percaya Covid-19. Itulah salah satu hasil survei Majelis Pembina Kesehatan Umum (MPKU) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim.
Hasil survei disampaikan Ketua MPKU PWM Jatim dr Sholihul Absor MKes. dalam Rapat Koordinasi Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC) Jatim, melalui Zoom, Kamis (18/6/2020) siang.
Mengawali materinya dr Absor memaparkan kabar dari amal usaha Muhammadiyah (AUM) rumah sakit dan klinik di masa pandemi Covid-19. Beberapa bulan yang lalu ada penurunan kunjungan pasien. Menurut dia, itu menjadi masalah besar bagi rumah sakit karena mengganggu cash flow.
“Oleh karena itu MPKU merespon dengan menyebar kuesioner untuk mencari tahu apa yang menyebabkan pasien itu tidak datang ke rumah sakit. Dan apa harapannya sehingga nanti kita bisa meresponnya dan pasien bisa datang kembali. Alhamdulillah bulan Juni ini jumlah pasien sudah mulai naik,” ungkapnya.
Yang kedua alat pelindung diri (APD). “Alhamdulillah APD masih cukup laporannya. Rumah sakit menerima kiriman APD dari MCCC pusat. Dan jumlahnya menyesuaikan dengan kasus yang dilaporkan. Jadi cukup bijak juga dari MCCC pusat,” ujarnya.
Ketiga, tentang klinik. Menurut dia, tidak ada permasalahan yang serius soal klinik kecuali keterbatasan untuk mengakses APD dan masker. “Ada masker sekarang di pasaran tetapi harganya masih tetap tinggi di atas 100 ribu dari semula di bawah 50 ribu,” jelasnya.
Keempat, informasi tentang beberapa karyawan RS Muhammadiyah yang terpapar Covid-19. “Alhamdulillah semua yang terpapar sudah dalam keadaan sembuh. Hanya satu orang yang masih dalam perawatan di Bojonegoro,” ujarnya.
Ada Sarjana Tak Percaya Covid-19
Dokter Absor juga menyampakan hasil survei yang dilakukan MPKU PWM Jatim tentang kebijakan kesehatan. “Dan mendapat respon yang bagus. Ada 17 persen peserta dari Surabaya, Sidoarjo, Gresik, dan Bojonegoro. Lima besar ini mewakili kondisi wabah di Jawa Timur,” ujarnya.
Dia menerangkan, peserta survei 74,9 persen sarjana dan sebagian besar punya kepersertaan BPJS. “Ini sesuai dengan karakteristik rumah sakit kita yang sebagian besar mengandalkan pasien BPJS,” ungkapnya.
Dia melanjutkan, “Kalau diperdalam tentang persepsi masyarakat terhadap Covid-19, dari sekian responden sebagian besar sudah paham tentang penularan cepat dan membahayakan. Ini yang menjawab 856 responden. Yang SMA 250,” terang dia.
Tetapi, ungkapnya, ada penemuan menarik dari penelitian ini. “Dari responden yang sarjana itu, 16,9 persen menjawab tidak tepat. Bahkan ada yang menganggap Covid-19 itu hanya penyakit seperti flu. Dan ada yang tidak percaya bahwa Covid-19 itu ada,” paparnya.
“Dan memang dari Surabaya Sidoarjo Gresik itu kenapa kok kasusnya tinggi? Karena memang kesadaran mereka itu tidak bagus. Responden yang menganggap Covid-19 ini tidak membahayakan banyak dari Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik,” jelasnya.
“Makanya katanya Pak Tamhid ambyar ya ini. Surabaya memang berani-berani. Jadi ini karakter dari warga kita kayak begini yang menghasilkan suatu kondisi wabah yang ambyar itu,” sambungnya, mengutip Ketua MCCC Jatim Ir Tamhid Masyudi.
Tak Buka Masjid, Sekolah, dan Pondok
Absor menjelaskan, kasus Covid-19 di Jatim masih tinggi dan belum bisa dikatakan normal. Termasuk new normal pun juga belum. “Dan semua ahli epidemiologi itu menyampaikan bahwa belum ada ahli yang berani merekomendasikan untuk membuka masjid, sekolah, maupun pondok,” tegasnya.
Menurutnya, dari hasil survei menunjukkan pentingnya program preventif dan promotif tentang apa itu Covid-19 dan tiga langkah preventif yaitu pakai masker, cuci tangan, dan jaga jarak. “Sampai kapan itu? Selamanya sampai ketemu vaksin Covid-19,” tegasnya.
Dia juga menyinggung soal zoning atau zonasi. Pada prinsipnya perbedaan atau batas antara yang bersih dengan yang tercemar. Terlepas siapa yang menetapkan zoning ini baik merah, kuning atau hijau. Setingkat mana mulai negara, provinsi, apa sampai kecamatan atau desa?
“Jadi kalau di daerah itu yang disebut sebagai zona hijau tidak ada sekat yang membatasi orang keluar masuk daerah itu maka yang disebut zoning tidak ada artinya,” ungkapnya.
Hal itu, sambungnya, adalah prinsip karantina yang ada dalam undang-undang karantina. “Jadi (karantina itu) membedakan orang yang sehat dengan orang yang terpapar. Kalau isolasi memisahkan orang yang sehat dengan yang sakit dan dilakukan di rumah sakit,” ungkapnya.
Dia melanjutkan, “Oleh karena itu di wilayah Jatim ini satu kota, satu kecamatan atau satu desa mengatakan zona hijau tetapi tidak dilakukan pembatasan, sehingga orang bebas keluar-masuk termasuk barangnya seperti sepeda motor dan sebagainya itu tidak ada artinya zoning,” terangnya.
Bilik Steril Tak Efektif
Sementara itu salah satu anggota tim penanganan pasien Covid-19 RS Siti Khodijah Sepanjang Sidoarjo dr Muhammad Miftah menyampaikan penutupan masjid tidak hanya di Indonesia.
“Saudi menutup sekitar 71 masjid. Negara-negara Islam lainnya masjid juga ditutup. Artinya kebijakan menutup masjid ini tidak hanya di Indonesia. Tidak umat Muslim saja tetapi tempat ibadah agama lain juga banyak ditutup,” ujarnya.
Dia menambahkan ada beberapa kelompok tertentu yang beresiko. Seharusnya masyarakat tahu bahwa orang-orang dengan penyakit paru-paru, bronchitis, asma, jantung, kondisi imun yang lemah, termasuk kanker, ginjal dan gangguan hati itu mempunyai risiko berlebih dibandingkan orang normal.
“Yang menjadi masalah adalah proses penularan dicapai dengan kegiatan atau hal-hal yang biasa kita lakukan. Ketika kita berjumpa di masjid biasanya berjabat tangan, persentuhan, dan ada hal-hal yang tidak bisa kita cegah,” jelasnya.
Misalkan, lanjutnya, kita mencegah dengan bilik sterilisasi. Kita mempercayai tetapi bilik sterilisasi ini kan hanya melakukan desinfeksi pada daerah-daerah yang terkena oleh desinfektan seperti songkok baju muka.
“Mempercayai itu kan harus hati-hati. Kalau betul efektif tidak apa-apa tetapi kalau tidak efektif maka akan menimbulkan outbreak baru,” tegasnya.
Faktanya adalah penularan lewat cairan tubuh. Jadi kalau ada OTG masuk masjid kemudian kita sudah sterilisasi dia di bilik sterilisasi, ketika dia berbicara maka sudah tidak steril lagi dan ketika dia pegang mukanya tidak steril lagi.
“Kemudian virus ini bisa menempel pada benda. Aluminium 2 sampai 8 jam kaca 4 hari sarung tangan 8 jam plastik 5 hari kertas 4 sampai 5 hari. Jadi bangunan rumah ibadah kita itu kayu dan kaca. Handle pintu juga dari aluminium,” urainya.
“Oleh karena itu belum ada obat yang disepakati. Betul yang disampaikan dr Absor sampai vaksin ditemukan tetap menerapkan protokol. Standar penanganan Covid-19 sampai sembuh diberi apa belum ketemu,” ujarnya.
“Di sisi lain ada OTG atau silence spreader. OTG tidak menunjukkan gejala tetapi bisa menularkan. Di RS Siti Khodijah sekitar 70 persen OTG. Dia duduk diam saja tidak terlihat sesak dan tidak panas,” ujarnya.
Penulis Sugiran. Editor Mohammad Nurfatoni.