PWMU.CO-Pengungsi Rohingnya di Australia mendapat perhatian aktivis Hak Asasi Manusia agar dibebaskan dari penahanan di pulau terpencil dan diberi kehidupan layak.
Wartawan abc.net.au, Selasa (23/6/2020) melaporkan, ada sekitar 120 pencari suaka yang ditahan di Nauru dan Pulau Manus diterbangkan ke Brisbane untuk perawatan medis karena sakit. Mereka ditempatkan di sejumlah hotel dan apartemen dengan pengawasan.
Salah seorang pencari suaka adalah Abdul Sattar (23), pengungsi Rohingnya. Dia menceritakan perjalanan hidupnya selama sembilan tahun berpindah-pindah dari tempat penampungan di berbagai negara.
Dia menuturkan, meninggalkan kampung halamannya di Maungdaw, Myanmar ketika berumur 14 tahun. ”Saya tinggalkan Burma karena sudah tidak aman lagi,” ujarnya melalui penerjemah. ”Saya mungkin tidak akan datang ke Australia jika tahu mereka akan memperlakukanku seperti ini,” kata Sattar.
Tahun 2012 kerusuhan meledak di kampungnya. Semua pria ditangkap dan dibawa oleh tentara Myanmar. ”Kebanyakan yang dibawa tentara ini tidak pernah kembali,” katanya.
Melihat situasi berbahaya itu, ibunya yang punya sedikit uang berhasil menaikkan dia ke perahu menuju Bangladesh. ”Ternyata perahu itu berlabuh di Thailand. Lalu saya bersama pengungsi lainnya berjalan kaki melintas ke Malaysia,” tutur Sattar.
Ia menggambarkan betapa beratnya perjalanan darat yang dilalui pengungsi Rohingnya. ”Saya kehilangan harapan, tak tahu apa yang saya lakukan. Saya merasa seperti anjing liar,” tambahnya.
Ditahan di Pulau Christmas
Sesampainya di Malaysia, Sattar yang menginjak remaja itu berusaha menemukan bibinya yang lebih dulu mengungsi di sini. Bersyukur akhirnya bertemu. Namun bibinya tak bisa menampungnya sebab tinggal secara ilegal.
”Dia memberitahu saya mengenai orang-orang yang pergi ke Australia dengan perahu,” katanya. Keluarga bibinya mengatur keberangkatannya menuju benua itu yang harus melewati Indonesia.
Dia tak sadarkan diri selama berada di perahu yang diombang-ambingkan ombak. Dia juga tak tahu apakah perahu berjalan sesuai tujuan. Memasuki perairan Indonesia, rombongan perahu ini ditahan kapal patroli. Semua penumpang harus turun.
Mereka dalam status tahanan imigrasi ditempatkan di penampungan.”Saat itu saya baru menginjak usia 15 tahun,” ucapnya. Setelah berada sembilan bulan di penampungan imigrasi, Sattar tak betah lagi karena menjemukan hidup menganggur. Akhirnya melarikan diri bersama beberapa orang. Bertemu pencari suaka lainnya yang membantunya ikut naik perahu nekat menyeberang ke Australia.
Belum sampai di daratan, perahu pencari suaka itu ditangkap patrol Australia dan berakhir dengan penahanan di Pulau Christmas hingga lima bulan.
Setelah itu petugas di Pulau Christmas memberitahu, dia masuk ke negara ini secara ilegal karena itu akan dikirim ke Nauru. Sattar mengikuti takdirnya dibawa ke kepulauan Pasifik itu.
Hidup Hancur di Nauru
Empat bulan tinggal di Nauru, Abdul Sattar jatuh sakit. Akhirnya bersama orang lainnya yang sakit dikirim ke Brisbane untuk mendapat perawatan medis di rumah sakit. Dia menikmati Brisbane selama sebulan.
”Saat perawatan saya selesai, petugas imigrasi memberitahu bahwa saya harus kembali ke Nauru,” ujarnya. Dia menolak dikembalikan ke Nauru.
”Sudah saya sampaikan ke petugas imigrasi, saya tak mau kembali ke Nauru karena tak aman. Tak ada sekolah. Saya masih muda dan seharusnya bisa sekolah,” tuturnya.
Dari RS di Brisbane Sattar dipindahkan ke Wickham Point Detention Centre di Darwin, Australia Utara. Di tempat ini, sekali lagi petugas imigrasi mengatakan, dia akan dipulangkan ke Nauru.
Pemberitahuan itu ternyata benar. Dia bersama lainnya dikirim ke Nauru. Awalnya tinggal di detensi imigrasi. Kemudian dilepas ke masyarakat setempat meskipun dia berusia di bawah umur.
Tak lama berselang dia mendapatkan status sebagai pengungsi. Mendapatkan tempat tinggal bersama pengungsi di bawah umur lainnya. Tapi dia katakan, rumah yang ditempati kondisinya lebih buruk daripada tempat tahanan imigrasi.
”Kami tak bersekolah. Tak ada akses ke pendidikan. Bahkan tak ada peluang untuk belajar bahasa Inggris,” ceritanya.
Ia menghabiskan tujuh tahun hidupnya di dalam masyarakat yang ia gambarkan tak layak ditinggali. ”Tempatnya tak bisa dihuni, bukan tempat dimana kita bisa hidup aman dan tenang,” tandasnya.
Dia selalu takut dengan perilaku penduduk setempat. Dikatakan, banyak pengungsi yang sudah dilepas dari detensi imigrasi dipukuli oleh warga. ”Tujuh tahun hidupku hancur di Nauru. Hatiku membatu sehingga saya tak lagi merasa sebagai manusia,” ujarnya.
Berharap Kebebasan
Kini setelah dari RS dia berada dalam detensi imigrasi di Brisbane. Dia merasa putus asa jika harus kembali Nauru untuk ketiga kalinya. ”Jika harus kembali ke Nauru, lebih baik saya mati saja,” katanya.
Tapi Sattar belum kehilangan harapan untuk mendapatkan kebebasan di Australia. ”Saya serahkan harapan ini kepada Allah. Dia yang Maha Mengetahui,” tegasnya. ”Jika suatu saat saya bisa tinggal dalam masyarakat di Australia, saya ingin kuliah,” tambahnya.
Kementerian Dalam Negeri Australia yang membawahi keimigrasian mengatakan, pengungsi di bawah umur yang dilepas ke masyarakat Nauru mendapatkan pelajaran bahasa Inggris.
Sementara sejumlah aktivis HAM berkumpul di Kangaroo Point Hotel yang dijadikan sebagai tahanan imigrasi untuk 120 pencari suaka.
Mereka menuntut agar pemerintah tidak memindahkan mereka ke pusat penahanan imigrasi berkeamanan tinggi di bagian lain Kota Brisbane.
”Respon masyarakat Brisbane sangat menggembirakan dan sejalan berkembangnya gerakan ini, tentu akan lahir perubahan institusional,” kata seorang aktivis, Zoe Hulme-Peake.
Ia menjelaskan tujuan aksi mereka adalah menunjukkan dukungan dan solidaritas terhadap pencari suaka yang berada di dalam detensi. Zoe menuding pemerintah menutupi apa yang dialami para pengungsi di Brisbane.
Di tempat lain juru bicara Islamic Council of Queensland, Ali Kadri, menyatakan para tahanan imigrasi ini telah ’dianiaya secara mental’. ”Hal ini bertentangan dengan kemanusiaan, bertentangan dengan nilai-nilai Australia,” paparnya. (*)
Editor Sugeng Purwanto