Khilafah Islam yang Ditakuti Penguasa Ternyata Begini tulisan Ainur Rafiq Sophiaan, dosen dan jurnalis tinggal di Surabaya.
PWMU.CO-Khilafah Islam menjadi istilah yang menakutkan penguasa di negeri ini. Sampai-sampai Hizbul Tahrir Indonesia (HTI) yang punya cita-cita membangun khilafah dibubarkan oleh pemerintah lewat Perppu. Alasannya berniat makar mau mengubah dasar negara Pancasila.
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto juga begitu paranoidnya sehingga mengatakan pihaknya bersedia memasukkan konsideran TAP MPRS No. XXV/1966 tentang larangan menyebarkan ajaran komunisme dalam RUU Haluan Ideologi Pancasila asalkan disetujui juga memasukkan larangan ajaran khilafahisme.
Kelompok sekuler inilah yang kemudian di mana-mana berkampanye hitam mengenalkan khilafah Islam sebagai ideologi berbahaya yang mengancam negara. Sehingga orang awam sampai mencibir wanita-wanita bercadar dan lelaki bercelana cingkrang sebagai penganut khilafah dan radikal. Tentu itu propaganda yang menyesatkan.
Padahal khilafah hanyalah sebuah sistem kepemimpinan untuk menjalankan pemerintahan. Orangnya disebut khalifah. Dalam praktik pemerintahan sekarang ini bisa disebut presiden, raja, sultan, atau perdana menteri.
Bentuk negaranya bisa republik, kerajaan, atau kekhalifahan seperti zaman khulafaur rasyidin. Hanya pemerintahan zaman Nabi Muhammad saw yang belum ada sebutannya. Sebab Nabi Muhammad menjadi penguasa karena kenabiannya. Tapi kekuasaannya itu tidak diwariskan kepada anak keturuannya. Nabi juga tidak menentukan mekanisme pergantian kepemimpinannya.
Ahlul Halli wal Aqdi
Dalam khazanah sistem politik Islam, kekhalifahan itu diatur oleh dewan yang disebut ahlu halli wal aqdi. Artinya orang-orang yang mempunyai kewenangan menangani masalah serta memutuskan suatu perkara umat.
Perkara umat itu seperti memilih pemimpin, membuat undang-undang, dan aturan negara lain. Orang-orangnya bisa ditunjuk oleh khalifah atau dipilih oleh umat.
Praktik khilafah Islam dimulai setelah Nabi Muhammad saw wafat. Ada musyawarah di Tsaqifah Bani Sa’adah antara orang anshar dan muhajirin memilih calon pengganti Nabi. Orang-orang yang hadir ini disebut ahlu halli wal aqdi.
Akhirnya sahabat Abu Bakar yang dipilih dalam musyawarah di pendapa kaum Bani Sa’adah itu. Semua orang yang memilihnya kemudian berbaiat mendukung pemerintahannya. Baiat ini kini menjadi sumpah jabatan.
Saking bersejarahnya peristiwa Tsaqifah Bani Sa’adah ini, pemerintah Arab Saudi masih memelihara tempat ini. Lokasinya sekitar 300 meter sebelah barat dari Masjid Nabawi yang sekarang berupa taman.
Pergantian Abu Bakar ke Umar bin Khaththab lewat penunjukkan. Menjelang wafat, Abu Bakar menulis surat penyerahan kekuasaannya kepada Umar. Mekanisme ini pun berjalan mulus tanpa protes. Pemimpin-pemimpin kaum langsung berbaiat kepada Umar.
Suksesi dari Umar kepada Usman bin Affan lain lagi caranya. Di saat masa kritis akibat penusukan oleh Fairuz alias Abu Lukluah, Umar membentuk Panitia Enam sebagai tim formatur memilih pengganti khalifah.
Dewan ahlul halli wal aqdi ini terdiri Usman, Ali bin Abi Thalib, Saad bin Abi Waqqas, Abdurrahman bin Auf, Thalhah bin Ubaidillah, dan Zubair bin Awwam. Dewan ini memilih Utsman bin Affan sebagai khalifah. Begitu juga ketika Utsman wafat, perwakilan umat membaiat Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah pengganti.
Sistem Pemerintahan di Indonesia
Dalam praktik pemerintahan di Indonesia seperti tertuang dalam UUD 45 yang asli menganut teori ahlul halli wal aqdi. Bentuknya ada Majelis Pemusyarawatan Rakyat (MPR). Ini adalah majelis syuro yang mewakili kedaulatan rakyat menentukan perkara negara.
Dulu MPR berwenang memilih presiden sebagai khalifah pemerintahan. Sebagai tanfidziyah atau pelaksana pemerintahan. Tapi di zaman reformasi, sistem ini diubah menjadi demokrasi liberal ala Barat. Presiden dipilih langsung oleh rakyat.
Ahlul halli wal aqdi kedua adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang berfungsi mengontrol jalannya pemerintahan dipimpin presiden.
Jadi sistem pemerintah di Indonesia yang dirumuskan oleh anggota BPUPKI adalah menggabungkan sistem khilafah Islam dengan Barat. Inilah hasil kompromi kekuatan Islam dan sekuler di tahun 1945. Sekarang ada tanda-tanda, kaum sekuler mau merusak konsensus itu. (*)
Editor Sugeng Purwanto