Jerman dalam Sejarah Muhammadiyah Keduyung

Jerman dalam Sejarah Muhammadiyah Keduyung. Ahmad Thohir alias Jerman (kanan) di Bina Graha Jakarta. (Istimewa/PWMU.CO)

Jerman dalam Sejarah Muhammadiyah Keduyung ditulis oleh Slamet Hariadi Kepala Klinik Muhammadiyah Keduyung.

PWMU.CO – Sebelum Muhammadiyah berdiri di Desa Keduyung, Kecamatan Laren, Kabupaten Lamongan, 40 persen masyarakatnya adalah bekas pengikut PKI.

Selain itu mayoritas mengidap TBC (tahayul, bid’ah, dan churafat—baca khurafat). Salah satunya dibuktikan dengan adanya kegiatan nyadran—kini dikenal dengan sedekah bumi.

Ada dua tempat yang biasa digunakan warga untuk melakukan nyadran. Yaitu Mbogo— sebuah tempat yang disakralkan dengan beberapa tanaman (grumbul)—dan kuburan. Dua tempat itu dipercaya dapat menolak berbagai balak. Nyadran biasanya digelar masyarakat sehabis panen.

H. Ali Mahfud Kenalkan Muhammadiyah

Pada tahun 1965 seorang tokoh Muhammadiyah dari Desa Laren, Kecamatan Laren, Kabupaten Lamongan, bernama H. Ali Mahfud (almarhum) datang ke Desa Keduyung.

Dia berkenalan dan di kemudian hari bersahabat dengan beberapa tokoh Desa Keduyung, seperti H. Sapuan (almarhum) Kiai Abdul Hamid (almarhum) dan Ahmad Thohir (almarhum). Kepada ketiga orang tokoh tersebut H. Ali Mahfud mengenalkan tentang Muhammadiyah.

Setelah itu, Abdul Hamid dan Ahmad Thohir memperkenalkan Muhammadiyah pada pemuda desa setempat. Tetapi hanya sedikit pemuda tertarik. Hanya mereka yang berpedidikan yang bisa menerima ajaran Muhammadiyah.

Tetapi kedua tokoh desa tersebut tetap berjuang. Beberapa pemuda yang tertarik itu diajak mendirikan Muhammadiyah. Maka sebelum Muhammadiyah didirikan, pada bulan Agustus tahun 1965 didirikan lebih dulu Pimpinan Ranting Pemuda Muhammadiyah (PRPM) Keduyung.

Saat itu Kecamatan Laren belum menjadi Cabang Muhammadiyah sehingga PRPM Keduyung menginduk ke Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Pangkatrejo yang berlokasi di Kecamatan Sekaran, Kabupaten Lamongan.

Adapun susunan kepengurusan PRPM Keduyung adalah: Penasihat Abdul Hamid, Ketua Ahmad Thohir, Sekretaris Munawar Cholil, dan Bendahara Churmat Efendi.

Mengapa waktu itu Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) tidak langsung didirikan? Ternyata karena dari kalangan orangtua tidak siap memimpin PRM. Mereka mengaku tidak ada kemampuan memimpin.

“Muhammadiyah itu bukan sembarang golongan. Sehingga perlu seorang yang benar-benar mampu memimpin, baik tingkat pemahaman agama maupun kepribadian dan akhlaknya,” ujar Munawar Cholil menirukan alasan mereka.

Empat tahun kemudian, tahun 1969, setelah para pemuda yang tergabung dalam PRPM berpengalaman, ilmu agamanya bertambah, dan kepribadian terasah, barulah didirikan PRM Keduyung, yang dipimpin oleh mantan-mantan PRPM Keduyung.

Setelah berdiri PRM diikuti berdirinya organisasi otonom yaitu Aisyiyah, Nasyiatul Aisyiyah, dan Ikatan Pelajar Muhammadiyah.

Ahmad Thohir Bernama Lain Jerman

Berdirinya PRM Keduyung tidak lepas dari peran Ahmad Thohir. Dia adalah salah satu tokoh yang sangat berjasa.

Dia lahir di Desa Mojoasem, Kecamatan Laren, Kabupaten Lamongan, pada 20 Maret 1937. Ayahnya bernama Khasan Radji dan ibunya Siti Fatimah, keluarga yang cukup berada. Belum ada yang punya kuda, keluarga ini sudah memilikinya.

Ahmad Thohir juga dikenal dengan panggilan Jerman. Menurut cerita yang didengar Nurfadlilah—anak pertama Ahmad Thohir— panggilan itu diberikan orang-orang di Desa Mojoasem karena dia saat kecil terlihat putih dan ganteng seperti anak orang Jerman.

“Panggilan itu dipakai orang Keduyung juga sampai Bapak meninggal. Terutama orang-orang tua memanggil Kak Jerman” kata Nurfadlilah pada PWMU.CO, Ahad (28/6/2020).

Ahmad Thohir juga memiliki keistimewaan dibanding lima saudaranya. Di samping cerdas juga mempunyai keberanian dalam menghadapi tantangan.

Dia ramah dan mudah bergaul dengan berbagai kalangan. Karena itu meskipun hanya lulusan Sekolah Rakyat (SR) dan pernah mondok di Langitan, tapi sahabatnya dari berbagai kalangan. Mulai tokoh agama, dokter, sampai pejabat pemerintah.

Ahmad Thohir menikah dengan Siti Fatimah (kebetulan namanya sama dengan ibu Ahmad Thohir), anak pengusaha Desa Keduyung bernama H. Sapuan yang beristrikan Hj. Siti Maimunah. Mertua Ahmad Thohir ini adalah pengusaha setempat yang ikut berjuang membesarkan Muhammadiyah Keduyung terutama mendukung keperluan finansial.

Dari pernikahan dengan Siti Fatimah itulah Ahmad Thohir dikaruniai 10 anak. Mereka adalah 1. Nurfadlilah (Gresik), 5. M Yazit Nurkhafidzi (Gresik), 6. Mohammad Nurfatoni (Gresik), 7. Mohammad Kholili (Cilegon), 8. Slamet Hariadi (Lamongan), 9. Nihayatun Nikmarokhah (Sidoarjo), dan 10. Muhammad Khumaini (Serang).

Tiga anaknya: nomor 2 (Ummu Farokha), 3 (Dewi Masrukha), dan 4 (Istiqamah) meninggal saat masih bayi. Ada lagi satu putrinya bernama Mutamimah (Lamongan) dari istri Munasih.

Ahmad Thohir wafat pada 10 Maret 2004 setelah dirawat di Rumah Sakit Ibnu Sina Gresik karena sakit jantung. Dia dimakamkan di Pemakaman Islam Desa Keduyung.

Jerman dalam Sejarah Muhammadiyah Keduyung. Foto Copy Surat Pengesahan PCM Laren. Ahmad Thohir nomor lima. (Dokumentasi H. Sumarlan/PWMU.CO)

Ulet dan Piawai dalam Perjuangan

Jerman menjabat sebagai PRM Keduyung cukup lama, yaitu tahun 1969-1995. Selain itu menjadi Wakil Ketua PCM Laren dua periode tahun 1995-2000.

Menurut Masroin Assafani MAg—Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Lamongan—Ahmad Thohir adalah tokoh yang ulet.

Ia menceritakan sewaktu masih bersama almarhum menjabat di Wakil PCM Laren tahun 2000. “Di saat-saat itu Mbah Thohir ulet dalam memperjuangkan organisasi. Kalau dikatakan fanatik ya fanatik (dalam fikih),” ujarnya.

Tapi, sambungnya, untuk muamalah beliau bekerja sama dengan lintas organisasi. Sangat piawai dan juga sangat tegas dalam memutuskan sesuatu, sesuai yang sudah diputuskan oleh Muhammadiyah, baik dari pimpinan pusat maupun pimpinan daerah.

“Itu adalah karakter seorang tokoh yang saya kenal saat itu,” ujar Ustadz Roin, sapaan pria asal Desa Sapan, Kecamatan Laren yang hijrah ke Keduyung dan menikahi gadis setempat.

Roin punya pengalaman yang berkesan dengan Ahmad Thohir. “Ketika itu saya menikah tahun 1997. Beliau yang memangggil saya Dik Roin mengharapkan saya sebagai kader pelangsung,” tuturnya.

Dia melanjutkan, “Karena di mata beliau saya dari remaja sudah aktif di Pimpinan Cabang (PC) Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM). Dan di usia 17 tahun saya sudah aktif khutbah di mana-mana,” kenang dia yang mengaku kebutuhan ekonominya ketika itu juga di-support Ahmad Thohir.

“Keteladanan Mbah Thohir perlu terus kita tindaklanjuti dan kita tularkan pada generasi-generasi berikutnya,” pesan dia.

Dia sangat bersyukur karena di antara putra- putri almarhum banyak berkiprah di dunia dakwah, khususnya di Muhammadiyah. Seperti Nurfadlilah yang menjadi Ketua Pimpinan Cabang Aisyiyah (PCA) Kebomas Gresik dan Anggota Majelis Tabligh Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Gresik.

Atau Slamet Hariadi yang kini memimpin Klinik Muhammadiyah Keduyung. Juga Mohammad Nurfatoni yang menjadi Wakil Ketua Lembaga Informasi dan Komunikasi (LIK) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur sekaligus Pemimpin Redaksi PWMU.CO.

Soal anak-anaknya itu, Ustadz Roin punya kisah menarik bagaimana perhatian Ahmad Thohir pada anak-anaknya. “Saat itu saya berdua bersama almarhum setelah shalat Subuh. Mbah Thohir berbagi pengalaman pada saya,” ujarnya.

Ternyata Ahmad Thohir rutin mendoakan anak-anaknya setiap pagi dan sore dengan membaca al-Fatihah. “Ketika pada bacaan Iyyaka na’budu waiyyaka nastain beliau menyebut anaknya satu per satu. Bukan bermaksud apa dan apa, namun dengan al-Fatihah ini almarhum berharap anak-anaknya bisa mentas kabeh (jadi orang semua),” ceritanya.

Roin mengatakan, saat itu dirinya juga diminta mengamalkan bacaan Surat al-Fatihah itu. “Di samping itu saya disuruh membaca doa-doa lain di antaranya, ‘Rabbana hablana min azwajina wadzurriyatina qurrata’ayun waj’alna lil muttaqina imama‘. Juga ‘Rabbij’alni muqimashalati wa min dzurriyati Rabbana wa taqabbaldu’.,” ungkapnya.

“Dari sini saya mengambil inspirasi pada beliau bahwa di samping gigih dalam perjuangan, juga sangat memperhatikan anak-anaknya. Jangan sampai anak-anaknya menjadi orang yang di luar perjuangan, tapi anak-anaknya menjadi pelangsung dari perjuangan beliau,” ujarnya.

Jerman dalam Sejarah Muhammadiyah Keduyung. Ahmad Thohir (keempat dari kanan), H. Abdul Mukti (kedua dari kanan). Munawar Cholil (keliam dari kanan), Churmat Efendi (kedua dari kiri). (Istimewa/PWMU.CO)

Sejarah AUM Keduyung

Menurut Roin, Ahmad Thohir juga pandai menumbuhkan jiwa ke-AUM-an “Jadi AUM (amal usaha Muhammadiyah) itu juga sangat diperhatikan,” terangnya dalam perbincangan dengan PWMU.CO Sabtu (13/6/2020).

Beberapa AUM Keduyung yang ada tak lepas dari peran Ahmad Thohir adalah Masjid at-Taqwa, Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah (MIM), Balai Pengobatan (BP) Islam PKU Muhammadiyah, dan SMP Muhammadiyah 17 Keduyung.

“BP Islam PKU Muhammadiyah Keduyung adalah atas kerja keras beliau dan teman-teman. Beliau sangat getol mengatur AUM utamanya di Keduyung,” ujarnya.

Sementara itu Munawar Cholil menceritakan BP Islam PKU Muhammadiyah berdiri diawali dari kenyataan bahwa Desa Keduyung terletak jauh dari kota yakni 30 km dari Lamongan ataua 17 km dari Babat. “Padahal hanya di dua kota itulah terdapat rumah sakit,” kenangnya, Sabtu (26/6/2020).

Untuk menempuh perjalanan di dua kota itu pun tidak mudah, dibutuhkan perjuangan yang berat. Karena saat itu akses jalan poros masih berupa tanah lumpur sehingga kalau hujan sepeda motor tidak bisa jalan. “Sebagai alternatif pengganti tranportasi yang bisa digunakan berupa angkutan perahu dengan waktu tempuh dua jam lebih untuk sampai ke Babat,” cerita dia.

https://pwmu.co/286938/03/26/sejarah-dan-perkembangan-klinik-muhammadiyah-pratama-rawat-inap-keduyung/

Akibatnya jika penduduk Desa Keduyung dan sekitarnya sakit sulit mendapat pertolongan. Karena itulah kemudian Ahmad Thohir dan H. Mashadi mendirikan Pos Balai Pengobatan Islam PKU Muhammadiyah Keduyung pada tanggal 26 Mei 1969. H. Mashadi adalah warga Desa Jabung tapi punya rumah dan toko emas di Desa Keduyung yang terkenal dengan Pasar Pon-nya.

Munawar Cholil menjelaskan, di luar dugaan animo masyarakat Desa Keduyung dan sekitarnya sangat besar. Pada pembukaannya ada 159 pasien yang berobat. “Pos Balai Pengobatan ini menumpang di rumah Muhtarom-Siti Aminah selama empat bulan dan selalu dikunjungi banyak pasien,” kisahnya. Siti Aminah adalah adik kandung Siti Fatimah.

Sehingga pada bulan April 1970 PB Islam PKU Muhammadiyah bisa membeli rumah dan tanah untuk ditempati sebagai hak milik AUM Kesehatan Ranting Keduyung.

“Dalam perjalanan waktu, tepatnya tahun 1995 gedung Balai Pengobatan dibongkar dan dibangun permanen dengan bangunan lantai dua,” kata Munawar Cholil yang menjabat Ketua PRM Keduyung tahun 2000-2005 dan 2010-2015 itu.

Nurfadlilah menceritakan, saat awal operasionalnya BP, para dokter muda dari Surabaya dan perawat yang didatangkan dari BP Muhammadiyah Lamongan, semuanya diinapkan di rumah Ahmad Thohir.

“Kami menjamunya dengan masakan khas Keduyung termasuk soto khas yang enak dan lezat. Saya yang sat itu masih SD selalu menyiapkan dan menata sprei serba putih hasil setrikaan jasa orang desa Pesanggrahan yang halus karena pakai kanji,” ceritanya.

Jerman dalam Sejarah Muhammadiyah Keduyung. Antrean pasien di Balai Pengobatan Islam PKU Muhammadiyah Keduyung. (Istimewa/PWMU.CO)

Selain BP, PRM Keduyung juga memiliki amal usaha berupa Masjid at-Taqwa. Masjid yang sangat bagus ini sebelumnya mengalami renovasi total dua kali.

Pertama masih berbentuk mushala. Kemudian direnovasi total menjadi Masjid at-Taqwa. Pada proses pembangunan ini peran Ahmad Thohir sangat penting, terutama dalam penggalian dana.

Pada tahun 80-an, bersama mertua Munawar Cholil—bernama H. Abdul Mukti yang berasal dari Desa Parengan, Kecamatan Sekaran—Ahmad Thohir pernah mencari bantuan dana pembagunan masjid sampai ke Jakarta.

Di Jakarta keduanya menemui Ketua Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) M. Natsir dan ke Kantor Bina Graha untuk mendapat bantuan dari Presiden Soeharto.

Dan Masjid at-Taqwa yang sekarang adalah hasil renovasi kedua, yang juga mengubah total struktur bangunan.

Di bidang pendidikan PRM Keduyung punya Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah (MIM). Waktu itu murid-muridnya sangat banyak karena hanya satu-satunya MIM yang ada di Kecamatan Laren barat.

Tapi seiring berjalannya waktu di mana banyak berdiri madrasah di sekitar Keduyung dan ‘keberhasilan’ program keluarga berencana (KB), sehingga tahun 2003 MIM keduyung tutup. Sebab kekurangan murid. Sebagai gantinya didirikan madrasah diniyah.

PRM keduyung juga punya SMP Muhammadiyah 17 Keduyung yang berdiri tahun 1985 dan sampai sekarang masih eksis. Namun dengan berdirinya SMPN 2 Laren di Desa Centini yang berdekatan dengan Desa Keduyung, maka murid-murid SMPM 17 semakin berkurang.

Tapi sekolah ini masih tetap diminati meskipun sekolanya setiap saat dihantui longsor karena tergerus arus air Bengawan Solo. Usaha menyelamatkan sudah beberapa kali dilakukan dengan pemasangan bronjong batu.

Klinik Muhammadiyah Keduyung saat ini (Slamet Hariadi/PWMU.CO)

Aisyiyah Dirikan Rumah Bersalin

Menurut Masroin Assafani, pendirian Rumah Bersalin (RB) Aisyiyah Keduyung itu mendapat dukungan luar biasa dari Ahmad Thohir alias Jerman.

Berdirinya RB ini berawal kajian-kajian yang diadakan ibu-ibu Aisyiyah Laren barat. Adapun yang memberikan kajian adalah Ustadz Roin. Dari kegiatan itu lahirlah gagasan mendirikan RB Aisyiyah.

Ketua Pimpinan Ranting Aisyiyah Keduyung tahun 1977-2010 Liswati menceritakan RB berdiri tahun 2001. “Diawali keinginan kuat Ibu-ibu Aisyiyah punya rumah bersalin. Dengan alasan supaya ibu-ibu yang mau melahirkan tidak jauh-jauh ke rumah sakit,” ujarnya.

Dia menceritakan, awal pendiriannya RB ini hasil sinergi dengan Asiyiyah Ranting di Laren barat. “Kami menggalang iuran masing-masing ranting di antranya Keduyung, Pesanggrahan, Jabung, Sapan, Dateng, Centini, dan Durikulon,” ceritanya.

Pembangunan RB ini menempati lahan milik BP seluas 330 M2 yang terletak di Jalan Tambangan Keduyung. Adapun gedung RB seluas 115 M2.

Di dalam perjalanan, untuk memudahkan dalam pengelolan menegemennya, pada tanggal 29 Desember 2005, manajemen RB digabungkan dengan BP dan kini namanya menjadi Klinik Muhammadiyah Keduyung.

Setelah penggabungan itu klinik bisa melanjutkan pembangunan lantai dua seluas sehingga total bangunan RB menjadi 330 M3. Kini klinik pun bisa membeli tanah di sampingnya seluas 390 M3.

Masjid at-Taqwa saat ini (Slamet Hariadi/PWMU.CO)

Selain tercatat sebagai pendiri Muhammadiyah dengan AUM-nya, Ahmad Thohir termasuk salah satu tokoh yang berhasil ‘membersihkan’ desa dari TBC.

Mbogo, tempat nyadran yang disakralkan itu akhirnya kini menjadi sawah biasa. Dan Jerman, termasuk salah satu yang ‘membumikannya’ di tahun 1978. Seperti dituturkan akan kelimanya, M Yazit Nurkhafidzi.

“Pohon di Mbogo ditebang bapak sampai habis. Saya dan adik-adik yang ngusungi (mengangkut) ke rumah. Di rumah kayunya diperkul (dipotong) jadi kecil-kecil untuk kayu bakar sampai berbulan-bulan di rumah,” cerita di Ahad (28/6/2020).

Yazit juga masih ingat jika Ahmad Thohir ikut menginisiasi pendirian PRM Pesanggrahan, Jabung, Mojoasem, dan Siser.

Kini Desa Keduyung yang terletak di tepi Bengawan Solo itu, bukan saja bersih dari tradisi yang menyimpang, juga dikenal sebagai desa dengan AUM yang lengkap. (*)

Editor Mohammad Nurfatoni.

SMP Muhammadiyah 17 Keduyung (Slamet Hariadi/PWMU.CO)
Exit mobile version