Refleksi Haedar Nashir: Bermula dari Amandemen. Penulis adalah Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah perode 2015-2020.
PWMU.CO – Indonesia memanas lagi! Pemicunya RUU Haluan Ideologi Pancasila yang kontroversial. Berbagai komponen bangsa menolak keras. Aksi massa di Jakarta dan sejumlah daerah marak, mendesak RUU tersebut dicabut dari legislasi.
Kita cermati dengan seksama bagaimana itikad politik para wakil rakyat di DPR. Semoga kabar positif, tidak lagi bermai-main siasat. Mengikuti suara kebenaran itu sungguh terhormat dan negarawan!
Publik memprihatinkan Indonesia saat ini makin bebas dan sarat masalah terutama kontroversi berbagai perundang-undangan. Ada yang bergagasan Indonesia tiru Singapura, membebaskan negara dari urusan agama dan pelajaran agama.
Akar Masalah
Mengapa Indonesia saat ini menjadi makin bebas dan sering bermasakah dengan isi perundang-undangan? Sebutlah RUU HIP, Omnibus Law, Minerba, Ormas, dan sebagainya. Indonesia menjadi negara serba-ada dan serba-boleh.
Tentu setiap rezim pemerintahan harus bertanggung jawab atas kebijakan yang dibuatnya. Bawalah Indonesia benar-benar di atas rel konstitusi dan diabdikan sebesar-besarnya bagi hajat hidup rakyat. Sebagaimana diletakkan fondasinya oleh para pendiri negeri 18 Agustus 1945. Jangan dibelokkan ke arah yang salah.
Bersamaan dengan itu, dalam spektrum yang besar dan struktural jika mau jujur dan objektif, negara tercinta ini menjadi liberal dan oligarki terjadi setelah reformasi 1998. Reformasi itulah yang menyebabkan Indonesia menjadi negara makin neolib. Pintu masuk utamanya melalui Amendemen UUD 1945.
Negara Liberal
Sejak reformasi itulah Indonesia benar-benar menjadi bangsa dan negara yang bebas dan terbuka di bidang politik, ekonomi, budaya, keagamaan, ideologi, dan aspek kehidupan lainnya.
Bukalah pasal-pasal UUD 1945 hasil amandemen tentang hak warga negara misalnya, sungguh sangat liberal. Baca selain pasal 27, pasal 28 A-J tentang hak asasi manusia. Jangan mencegah siapa pun jadi Presiden dan pejabat tinggi negara karena semua berhak secara konstitusi. Lebih-lebih setelah kata “Indonesia aseli” hilang. Hak berkumpul dan berserikatpun sangat terbuka.
Pasal 33 UUD 1945 yang semula murni ekonomi kerakyatan, dibuka keran demokrasi ekonomi. Hingga almarhum Prof Mubyarto yang ahli ekonomi Pancaila menarik diri dari pembahasan di MPR.
Tidaklah perlu heran dengam berbagai UU saat ini yang bersifat liberal dan pro-ekonomi kapitalisme. Hal itu konsekuensi otomatis dari amendemen mendasar UUD 1945 itu. Kenapa hanya merisaukan RUU dan UU yang di hilir?
Bagaimama kabar KKN? Korupsi, kolusi, dan nepotisme yang dulu sangat heroik disuarakan para pejuang reformasi bermetamorfosis. Secara faktual KKN saat ini beranak-pinang.
KKN baru bertumbuh bersama KKN lama. Otonomi daerah menyuburkan desentralisasi KKN. Nepotisme berubah menjadi politik dinasti. Masih adakah para reformis yang konsisten anti-KKN? Alhamdulillah kalau masih ada, serta tidak menjadi pelaku KKN baru!
Kekuasaan eksekutif praktiknya dominan. Ketika amendemen diberlakukan sebenarnya urusan utamanya ingin perubahan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden agar dibatasi dua kali periode, serta langsung dipilih rakyat dan bukan oleh MPR.
Tujuannya agar tidak executive heavy, bandul kekuasaan di eksekutif. Secara verbal yudisial berhasil. Tetapi pasca-reformasi atas dasar pilihan langsung itulah maka siapa pun presiden dan wapresnya yang terpilih, sulit dikontrol karena merasa mendapat mandat rakyat. Kekuasaan eksekutif malah menguasai parlemen melalui koalisi politik.
Bandul kekuasaan pun bergeser ekstrem. Dari oligarki MPR beralih ke oligarki politik eksekutif dan legislatif atas nama rakyat. Mahkamah Konstitusi sangat kuat, sedangkan MPR saat ini kekuasaan ad-hoc. Semuanya sulit dikontrol. Jika digugat rakyat, rakyat yang mana?
Inilah sistem dan praktik ketatanegaraan baru produk reformasi yang liberal dan oligarki. Kenapa hanya dirisaukan hilirnya? Hilir wajib diselesaikan. Tetapi bila menggugat neolib dalam segala bentuk, sekalian ke hulunya pada UUD 1945 hasil amendemen dan reformasi yang liberal itu.
Agenda Bersama
Siapa yang mampu mengendalikan kekuasan oligarki? Apa RUU HIP dan sejumlah RUU yang bermasalah akan bisa dihentikan? Siapa yang mampu menghentikan utang luar negeri yang terus bertambah?
Banyak pihak pesimistis. Mungkin suara Tuhan pun—dalam wujud gerakan moral—tidak akan begitu didengar. Praktiknya, jika kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif sudah berkehendak, siapa yang mampu menghalangi? Berlakulah hukum Lord Acton, power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely.
Bagaimana peran civil society? Normatif dapat ikut mengontrol. Ormas, LSM, dan kelompok kebangsaan lainnya dapat menjalankan fungsinya sebagai kelompok penekan (pressure groups) dan kelompok kepentingan (interest groups). Tapi seberapa kuat?
Berbagai RUU dan Perppu yang ditolak kelompok-kelompok masyarakat madani akhirnya dilegislasi parlemen. Pindah Ibu Kota yang sangat vital dan bersejarah pun dengan mudah menjadi keputusan politik.
Beban kelompok civil society sangat berat menghadapi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan saat ini. Ormas dan civil society tidak lebih dari ornamen demokrasi. Sekuat apapun masyarakat madani, secara politik berat hadapi tembok politik oligarki.
Posisi ormas lama-kelamaan akan mengalami floating-mass seperti di era Orba. Jangan pula terus berharap pada aksi dan gerakan massa, risiko dan eskalasi politiknya besar. Indonesia akan terus gaduh dan berpeluang pecah. Serta tidak produktif untuk kemajuan. Apa memang aksi massa itu yang dikehendaki?
Peran Ormas Keagamaan?
Bagaimana ormas keagamaan? Sebenarnya tugas utama ormas keagamaan mencerahkan masyarakat agar hidup beragama dan bermoral utama. Ada panggilan amar makruf nahi mungkar. Tapi bukan berarti harus mengambil alih fungsi politik dan menanggung beban setiap masalah bangsa.
Jangan ada pihak yang memanfaatkan dan memanaskan mesin ormas sebagai gerakan politik massa. Elite ormas pun perlu paham posisi ini agar tidak salah kaprah dalam memposisikan dan memerankan organisasi kemasyarakatan di negeri ini.
Semua pihak harus bertanggung jawab. Para aktor yang terlibat dalam amendemen UUD 1945 jangan lepas tangan, sebagai pemantik masalah utama. MPR, pemerintah, DPR, Mahkamah Konstituti, lembaga yudikatif, semua harus bertanggung jawab.
Segenap komponen bangsa harus ikut bertanggung jawab. Bagaimana mencari jalan keluar dari permasalahan sistem ketatanegaraan dan cara mengelola negara yang sudah telanjur berubah akibat amendemen UUD 1945 ini agar tidak bertambah rumit.
Penyelenggaraan negara jangan dibiarkan serbaboleh, serbabebas, dan serbapragmatis. Harus ada koridor yang tegas mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh pemerintahan negara!
Indonesia mau dibawa ke mana? Semua pihak di Republik ini harus berkomitmen tinggi untuk tidak saling memaksakan kehendak dalam suasana centang-perenang. Institusi negara memang dapat melakukan apa saja karena kekuasaannya.
Namun untuk apa kekuasaan itu bila menyebabkan negeri ini terus gaduh dan di ambang pecah. Indonesia tidak akan maju dan terlalu mahal harganya untuk dipertaruhkan bila keadaan negeri memanas terus.
Berhentilah angkuh diri dan belajar rendah hati. Jika negeri ini jatuh, rakyat dan seluruh komponen bangsa harus menanggung akibatnya.
Jika ingin perubahan dan perbaikan yang menyeluruh maka dengarkan suara kebenaran dan bukalah pintu dialog. Berpikirlah kolektif dengan segala kebesaran jiwa dan pandangan yang luas, mendalam, dan autentik.
Berhentilah memproduksi perundang-undangan dan kebijakan negara yang kontroversial dan dapat menyeret Indonesia ke jurang perpecahan dan kehancuran.
Bagaimana menata kembali sistem ketetanegaraan yang telanjur salah-kaprah ini ke jalur yang benar sejalan jiwa, pikiran, dan cita-cita kenegaraan pada 18 Agustus 1945.
MPR dapat menjadi mediator dialog nasional yang strategis ini. Bila perlu bangun konsensus nasional baru! (*)
Atas izin penulis, tulisan yang telah diterbitkan Republika berjudul “Bermula dari Amandemen”, Sabtu (27/6/2020) ini dimuat ulang PWMU.CO dengan judul “Refleksi Haedar Nashir: Bermula dari Amandemen”.
Editor Mohammad Nurfatoni.