PWMU.CO-Program bahasa Indonesia untuk warga Australia terhenti sejak wabah covid-19 merebak. Sebab pemerintah kedua negara melarang penerbangan ke luar negeri.
Program bahasa Indonesia dan budayanya dikelola oleh Australian Consortium for In-Country Indonesian Studies (ACICIS). Ini adalah konsorsium yang berdiri tahun 1994. Sudah menyediakan kesempatan bagi 3.000 mahasiswa Australia untuk belajar dan bekerja di Indonesia selama satu semester.
Sejak larangan bepergian ke luar negeri, ACICIS vakum kegiatan. Organisasi ini juga kehilangan 90 persen pendapatan tahunannya yang setara dengan pembayaran dari 500 mahasiswa.
Liam Prince, direktur ACICIS, mengatakan, hasil kerja keras, energi, dan kreativitas dari banyak pihak selama 25 tahun jadi hilang. ”Saya tetap memperjuangkan agar organisasi ini tidak tutup,” kata Liam seperti diberitakan ABCNews, Selasa (23/6/2020).
Liam mengatakan, program ini bermanfaat. Dia rasakan sendiri saat belajar di Indonesia melalui program ACICIS tahun 2000. Dia ikut kuliah di Universitas Gadjah Mada. Menemukan daya tarik Indonesia setelah satu tahun tinggal di Yogyakarta dan Salatiga.
”Ketika menyelesaikan program tersebut, saya benar-benar ketagihan pada gagasan dan tantangan untuk membangun hubungan yang lebih dekat antara Australia dan Indonesia,” kata Liam.
Dia dapat menjalin hubungan baik dengan teman-teman kos saat itu. Pengalaman tinggal di Indonesia memberikana pekerjaan sesuai dengan minatnya, seperti promosi pembelajaran Bahasa Indonesia di universitas, sebelum akhirnya dia menjadi Direktur ACICIS.
”Menurut saya, kalau dalam hal karier, Bahasa Indonesia dan pengetahuan yang luas tentang Indonesia menjadi kunci dalam mendapatkan pekerjaan selama 10 tahun terakhir,” kata Liam.
Bisa Meniti Karier
Dai merasa beruntung bisa meniti karier dan banyak pekerjaan yang berhubungan dengan pembelajaran Bahasa Indonesia dan ilmu umum tentang Indonesia. Menurutnya, ini adalah hal yang langka.
Kemudahan dalam meniti karier karena kemampuan berbahasa Indonesia juga dialami Kirrilly McKenzie, alumni ACICIS lainnya.
Ia merasa terpanggil menjadi guru Bahasa Indonesia setelah tinggal dan belajar di Indonesia selama satu tahun lamanya.
Kirrilly yang sebelumnya ingin bekerja di bidang diplomasi berubah pikiran setelah menyadari dengan menjadi guru Bahasa Indonesia, ia dapat menggunakan kemampuan berbahasa tersebut setiap hari.
”Saya belajar kata-kata baru, struktur tata bahasa baru, dan bagaimana agar dapat lebih jauh mengerti setiap harinya,” kata Kirrilly.
Saat mengikuti program ACICIS di tahun 2013, Kirrilly sempat mengajar Bahasa Inggris di Yogyakarta, menulis artikel yang diterbitkan di media Indonesia, hingga mewawancarai pengunjung pusat perbelanjaan di Bandung untuk melengkapi skripsinya.
Citra Negatif
Kirrilly mengatakan Indonesia memiliki citra negatif di mata warga Australia karena pemberitaannya yang miring. Akibatnya sisi positif dari Indonesia, seperti budaya dan bahasanya menjadi tersembunyikan.
”Ada sekolah di Canberra yang mengajarkan Bahasa Indonesia, namun karena orangtua bersikeras tidak mengizinkan anaknya belajar Bahasa Indonesia, programnya dibatalkan,” katanya.
Padahal menurutnya, satu-satunya cara murid untuk mengetahui hal baik soal Indonesia justru lewat kelas dan perlu dukungan sekolah.
Menurut dia, pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah adalah salah satu cara untuk meningkatkan pengertian dan mendidik orang-orang tentang hubungan antara Australia dan Indonesia.
Kirrilly yang berusia 28 tahun menjelaskan, di zaman media sosial seperti sekarang ini, pendekatan mengajar Bahasa Indonesia harus mengedepankan aspek modern ketimbang pendekatan tradisional yang pada umumnya digunakan.
”Terkadang kita terperangkap dalam aspek tradisional Indonesia, misalnya mengajarkan tentang gamelan, batik, atau angklung, yang menurut saya juga keren dari Indonesia. Namun, ini terlalu sempit,” ujarnya.
Agar belajar lebih menarik, dia memakai video beberapa figur publik seperti Barrack Obama dan Chris Hemsworth berbicara dalam Bahasa Indonesia.
Dia juga memperkenalkan tokoh kebudayaan pop Indonesia terbaru, misalnya rapper Indonesia yang sudah mulai mendunia, yaitu Brian Imanuel.
Selera Anak Muda
Profesor Studi Asia Tenggara, David Hill, mengatakan seharusnya budaya dan bahasa Indonesia lebih dikedepankan dengan budaya-budaya anak muda agar menarik minat di Australia.
”Saya pikir tidak ada gunanya kalau misalnya pemerintah Indonesia mengirim gamelan atau kadang-kadang misalnya pameran fesyen jilbab. Itu tidak menarik untuk anak muda di sini,” kata David.
”Lebih baik dicari apa yang paling disukai anak muda di Indonesia, itulah yang harus tercerminkan di sini untuk membuktikan perspektif mengenai Indonesia yang kontemporer,” tuturnya.
Program datang langsung ke Indonesia, sambung dia, adalah salah satu cara yang paling efektif untuk memperkenalkan budaya dan bahasanya.
”Di sinilah kita melihat manfaat program seperti ACICIS di mana pemuda-pemudi diberi kesempatan untuk melihat Indonesia bukan dari luar, atau dari laporan media, tapi dari dalam,” ujar David yang pendiri ACICIS.
Menurut laporan ACICIS di tahun 2019, Indonesia menduduki peringkat keempat negara terfavorit bagi pelajar Australia di tahun 2018. Jumlahnya 1.402 dari total 14.522 mahasiswa S1 Australia yang belajar di wilayah Indo-Pasifik. (*)
Editor Sugeng Purwanto