Din Syamsuddin banjir dukungan setelah diminta oleh GAR Alumni ITB agar dia dicopot dar MWA ITB.
PWMU.CO – Permintaan Gerakan Anti Radikalisme (GAR) Alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) agar Prof Dr Din Syamsuddin MA dicopot dari dari Majelis Wali Amanat (MWA) ITB berbuntut panjang.
Kini bermunculan pula dukungan untuk Din Syamsuddin yang juga datang dari alumni ITB. Seperti yang disampaikan oleh Koesmawan, alumnus Teknik Industri ITB tahun 1971.
Dia membuat surat pernyataan dukungan agar Din Syamsuddin tetap menjadi anggota MWA ITB. Surat yang diterima redaksi PWMU.CO Ahad (28/6/2020) pukul 14.30 WIB, itu sudah ditandatangani 172 alumni ITB.
Ada tiga poin pernyataan yang ditulis dalam pernyataan itu. Pertama, Din Syamsudin telah dipilih oleh Senat Akademik ITB sebagai salah satu anggota Majelis Wali Amanat ITB periode 2019-2024.
“Kami percaya Senat Akademik ITB tentu telah mempertimbangkan dengan matang pengajuan beliau berdasarkan kapasitas kenegarawanan dan intelektualitas yang beliau miliki,” punyi pernyataan.
Kedua, kami bangga bahwa sejauh ini almamater kami ITB selalu menjunjung tinggi kebebasan akademik setiap civitas akademikanya. Dan hal ini merupakan ciri penting suatu perguruan tinggi berkualitas dunia.
“Kami mendukung seluruh civitas akademik ITB termasuk anggota Majelis Wali Amanat ITB, dalam hal ini Prof Dr KH Din Syamsudin, untuk bebas menyampaikan aspirasi dan pandangannya sesuai dengan kapasitas pribadinya, sebagai kontribusi pemikiran bagi bangsa dan negara ini,” bunyi pernyataan ketiga.
Dukungan Rizal Ramli dan Syahganda
Dukungan juga datang dari Rizal Ramli. Dalam ciutannya di akun Twitter-nya @RamliRizal, Sabtu (27/6/2020), dia mengaku malu sebagai alumnis ITB.
“Sebagai ex Mahasiswa ITB, saya malu Kampus Ganesha yang hebat, biasa berfikir luas, kok cara berfikirnya jadi super-cupet, dangkal dan hanya pintar menjilat kekuasaan, bukan kritis, analitik dan innovatif. Pantesan sekarang ranking ITB hanya 370-an di dunia,” tulisnya, Sabtu (27/6/2020).
Sebelumnya viral di media sosial tulisan berjudul “ITB Butuh Din Syamsuddin” oleh Dr Syahganda Nainggolan.
Dalam surat yang juga dimuat rmol.id Sabtu (27/6/202) itu Syahganda menyoroti beredarnya pernyataan Ketua MWA ITB Yani Panigoro bahwa Din Syamsuddin akan mengundurkan diri dari anggota MWA ITB karena desakan alumni ITB.
Namun Syahganda curiga itu sebagai alasan tersebut mengada-ada. “Sebab, tuntutan Prof Din Syamsudin mundur dilakukan oleh kelompok yang mengatasnamakan Alumni ITB Anti Radikalisme atau Gerakan Anti Radikalisme Alumni ITB,” ujarnya.
Padahal lanjutnya, dalam kealumnian ITB hanya dikenal Ikatan Alumni ITB Pusat dan Ikatan Alumni ITB Daerah serta Ikatan Alumni Jurusan. Semuanya dalam satu wadah resmi yang diketuai Dr. Ridwan Jamaluddin.
“Alasan yang ditujukan terhadap penolakan Din sebagai anggota MWA bahwa Prof Din radikal sangat membingungkan,” kata alumnus Teknik Geodesi dan Geomatika, serta S2 Studi Pembangunan ITB ini.
Syahganda beralasan, pertama, Din dikaitkan radikal karena pernah menghadiri acara HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) pada tahun 2007.
Padahal pada tahun 2017, sepuluh tahun kemudian, Presiden Jokowi mengangkat Din Syamsudin sebagai Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Pembangunan Perdamaian serta Peradaban Dunia.
Pada saat ditanya wartawan alasan pengangkatan Din setingkat menteri itu, Jokowi menyebutkan dia sudah mengetahui jejak rekam dan pondasi kokoh Din Syamsuddin di bidang tersebut. Bahkan, Jokowi merayunya untuk mau menerima amanah itu demi kepentingan negara.
Kedua, lanjut Syahganda, Din disebutkan mengkritik MK (Mahkamah Konstitusi) atas hasil Pilpres 2019 yang lalu.
Alasan ini juga membingungkan. Sebab, Din Syamsuddin kala itu meminta masyarakat agar menerima legalitas hasil Pilpres yang diputuskan MK. Namun tetap perlu menyimpan rasa curiga atas keputusan MK yang terasa ganjil tersebut.
“Dalam posisi ini sebenarnya Prof Din Syamsuddin memberikan kanalisasi pada emosi puluhan juta rakyat yang merasa Pilpres diwarnai berbagai kecurangan. Sehingga, harusnya sikap Prof Din Syamsuddin ini dikatagorikan sikap negarawan, bukan radikal,” jelas Syahganda.
Ketiga, Prof Din Syamsuddin dikatakan banyak mengkritik pemerintahan Jokowi. Hal ini melanggar Statuta ITB dan MWA ITB yang mengatakan bahwa hubungan ITB dan pihak pemerintah harus baik-baik saja.
Hal ini sedikit membingungkan, karena ITB dan jajaran profesornya dari dulu tercatat sangat lumrah bersikap kritis terhadap pemerintah.
Pada masa Soeharto, bahkan rumah Rektor ITB Professor Iskandar Alisyahbana dihujani peluru oleh tentara pendukung rezim Soeharto, karena rektor tersebut mendukung gerakan mahasiwa ITB 77/78 yang meminta Soeharto lengser. Sampai akhir hayatnya, Profesor Iskandar Alisyahbana tidak menyesal mendukung gerakan mahasiswa saat itu.
Kebebasan ilmiah telah membuat kampus ITB terkenal menghargai sikap kritis. Dengan demikian, sikap Prof Din Syamsuddin yang saat ini sering kritis terhadap pemerintah Jokowi harus dimaklumi sebagai bagian demokrasi, yang sejak dulu diperjuangkan ITB.
Surat Terbuka untuk Rektor ITB
Alumnus ITB bernama Radhar Tri Baskoro
juga memberi dukungan pada Din Syamsuddin. Dalam surat terbuka yang ditujukan Rektor ITB Reini Wirahadikusumah, dia berharap agar tuntutan GAR Alumni ITB tidak dikabulkan.
Berikut isi lengkap surat terbuka yang juga menjadi bukti Din Syamsuddin banjir dukungan:
Surat Terbuka untuk Rektor ITB
Bandung, 28 Juni 2020
Kepada Yth
Ibu Prof Reini Wirahadikusumah MSCE PhD
Rektor Intstitut Teknologi Bandung
di Tempat
Perihal: Surat Terbuka tentang Penghentian Prof Dr Din Syamsuddin
Dengan hormat,
Sebelumnya kami mengucapkan selamat sehubungan dengan sebentar lagi ITB akan menyambut 100 tahun usianya. Usia yang panjang mencerminkan pengabdian yang panjang untuk kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan di Indonesia.
Saya yakin sudah menjadi harapan seluruh rakyat Indonesia bahwa ITB akan meneruskan pengabdian itu sampai seratus bahkan seribu tahun yang akan datang.
Dalam kesempatan ini kami memohon perhatian Ibu atas masalah penghentian Prof Dr Din Syamsuddin dari jabatannya sebagai anggota Majelis Wali Amanah ITB.
Isu tersebut dimunculkan oleh Gerakan Antiradikalisme yang ditandatangani oleh sejumlah alumni ITB.
Kami sebagai juga salah satu alumni terhenyak oleh tuntutan itu dan setelah membaca dengan seksama merasakan bahwa tuntutan tersebut sangat tidak layak dan tidak adil.
Kami berharap Ibu mengabaikan tuntutan Gerakan Anti-radikalisme itu demi mempertahankan harkat dan martabat ITB sebagai lembaga akademis terkemuka di Indonesia.
Beberapa hal berikut ini mohon Ibu pertimbangkan:
1. Prof Dr Din Syamsuddin menjabat sebagai anggota Majelis Wali Amanah ITB bukan atas kemauannya sendiri, melainkan karena diminta oleh ITB. Oleh karena itu menghentikan beliau dari jabatannya memberikan aib kepada beliau dan juga kepada ITB sendiri. Adalah aib bagi ITB bila penilaiannya atas reputasi seseorang berubah 180 derajat dalam waktu kurang dari setahun.
2. Prof Dr Din Syamsuddin memiliki reputasi kenegarawanan yang telah dipupuk sangat panjang. Beliau dua kali menjabat Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, pernah menjabat Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, dan sekarang masih aktif menjadi Ketua di World Peace Forum dan Presiden Kehormatan di World Conference on Religons for Peace.
Rekam jejak di atas menunjukkan bahwa beliau adalah tokoh yang sangat dihormati oleh umat Islam di Indonesia. Terlebih dari itu umat Islam di dunia menghargai beliau sebagai tokoh pembawa perdamaian.
3. Dengan reputasi seperti di atas kita harus menyimak dengan seksama tuduhan Gerakan Anti-radikalisme ITB (GAI). Tuduhan tersebut menempatkan Prof Dr Din Syamsuddin dalam reputasi yang berkebalikan, yaitu sebagai seorang radikal yang merusak kedamaian.
Setelah kami menyimak surat tuduhan tersebut nyata bagi kami bahwa:
1. Tuduhan tersebut sepihak. GAI tidak pernah meminta konfirmasi atau melakukan check and recheck kepada Prof Dr Din Syamsuddin.
2. Fakta-fakta yang dipergunakan tidak konklusif. Kehadiran beliau di suatu tempat di suatu organisasi tidak dapat dipergunakan untuk menyatakan beliau adalah pendukung suatu organisasi atau gagasan. Sebagai contoh Gus Dur pernah ke Israel, hal itu tidak mencerminkan beliau mendukung zionisme.
3. Pernyataan-pernyataan beliau sebagai tokoh Muslim adalah pernyataan kenegarawanan dalam rangka amar maruf nahi munkar, yang memiliki visi mendamaikan dan menegakkan keadilan (menempatkan sesuatu pada tempatnya).
4. Pernyataan-pernyataan beliau memang bisa dianggap bertentangan dengan penguasa. Pertentangan politik hal yang lumrah dan wajar sesuai dengan ideologi pluralisme atau kebhinekaan sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila.
Perbedaan pandangan di dunia akademis justru bersifat paradigmatik. Dari sanalah dunia ilmiah bergerak maju.
4. Dalam hemat kami menyimpulkan Prof Dr Din Syamsuddin sebagai seorang radikal adalah sebuah kesalahan epistemik yang nyata. Tuduhan tersebut akan mengganggu hubungan ITB dengan Muhammadiyah, MUI, dan organisasi-organisasi internasional.
5. Dalam sejarahnya ITB selalu bergumul dengan konflik politik di sekitarnya. Namun ITB selalu berhasil menegakkan harkat dan martabatnya sebagai lembaga akademik. Politik bukan panglima di dunia akademik. ITB tidak mempersoalkan perbedaan politik.
Ketika Soekarno kuliah di ITB (dulu THS), Prof Klopper, Rektor ITB waktu itu, tidak memecat Soekarno sekalipun ia tahu Soekarno sudah sangat terlibat dalam politik antikolonialisme.
Demikian juga ketika gerakan mahasiswa merebak tahun 1965, 1974, dan 1978. Beberapa aktivis mahasiswa dipecat menjelang 1990-an karena alasan moral.
Demikian dapat kami sampaikan pandangan kami. Semoga Ibu berkenan mempertimbangkannya.
In Harmonia Progressio
Bandung, 28 Juni 2020
Hormat kami,
Radhar Tri Baskoro
(FI79 – 210024)
Penulis dan Editor Din Syamsuddin Banjir Dukungan Mohammad Nurfatoni.