Benarkah Shalat Id Wajib Hukumnya? Kajian oleh Dr Zainuddin MZ Lc MA, Direktur Turats Nabawi Pusat Studi Hadits, Sidoarjo.
PWMU.CO – Salah satu referensi kajian teman salafi adalah kitab Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam Dalam al-Quran dan as-Sunah karya Abdul Adzim bin Badawi al-Khalafi. Buku edisi Indonesianya diterbitkan pustaka as-Sunah, Jakarta, edisi ke-4 tahun 2007 sebagai rujukan diskusi bersama.
Itulah sebabnya diskusi ini menggunakan buku pintar mereka, agar lebih fokus dan lebih efektif. Artikel ini difokuskan mengkritisi apakah shalat Idul Fitri dan Idul Adha hukumnya wajib?
Paparan Al-Wajiz
Dalam bab shalat hari raya, sub bab pertama tentang hukum shalat hari raya dipaparkan sebagai berikut: Shalat hari raya adalah wajib bagi kaum laki-laki dan perempuan. Karena Nabi SAW selalu mengerjakannya dan menyuruh kaum perempuan keluar untuk mengerjakannya.
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ أُمِرْنَا أَنْ نُخْرِجَ فَنُخْرِجَ وَالْعَوَاتِقَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ
Umu Athiah RA berkata: Kami diperintah (Rasulullah SAW) untuk membawa keluar anak perempuan yang sudah haid (baligh) dan anak perempuan yang masih perawan (pada hari raya Fitri dan Adha). Muttafaq alaihi. Fathul Bari: II/463, nomor: 974; Muslim: II/605, nomor: 890; Aunul Ma’bud: III/487, nomor: 1124; Tirmidzi: II/25, nomor: 537; Ibnu Majah: I/414, nomor: 1307; dan Nasai: III/180.
عَنْ حَفْصَةَ بِنْتِ سِيرِينَ قَالَتْ كُنَّا نَمْنَعُ جَوَارِيَنَا أَنْ يَخْرُجْنَ يَوْمَ الْعِيدِ فَجَاءَتْ امْرَأَةٌ فَنَزَلَتْ قَصْرَ بَنِي خَلَفٍ فَأَتَيْتُهَا فَحَدَّثَتْ أَنَّ زَوْجَ أُخْتِهَا غَزَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ غَزْوَةً فَكَانَتْ أُخْتُهَا مَعَهُ فِي سِتِّ غَزَوَاتٍ فَقَالَتْ فَكُنَّا نَقُومُ عَلَى الْمَرْضَى وَنُدَاوِي الْكَلْمَى فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَعَلَى إِحْدَانَا بَأْسٌ إِذَا لَمْ يَكُنْ لَهَا جِلْبَابٌ أَنْ لَا تَخْرُجَ فَقَالَ لِتُلْبِسْهَا صَاحِبَتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا فَلْيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُؤْمِنِينَ
Hafsah binti Sirin berkata: Kami pernah melarang anak-anak perawan keluar (ke tanah lapang) pada hari raya (Fitri dan Adha). Kemudian seorang perempuan hadir, lalu singgah di istana bani Khalaf. Kemudian aku menemuinya.
Lalu ia bercerita bahwa suami saudara perempuannya ikut perang bersama Rasulullah SAW sebanyak dua belas kali. Sedangkan saudara perempuan itu juga pernah ikut perang bersama Rasulullah SAW sebanyak enam kali. Kami (kaum wanita) mengurus pasukan yang sakit dan mengobati pasukan yang terluka.
Lalu ia berkata: Ya Rasulullah, salah seorang di antara kami tidak punya jilbab, lalu apakah seorang di antara kami tidak apa-apa jika tidak keluar karena tidak memiliki jilbab? Maka Rasulullah SAW menjawab: ‘Hendaknya rekannya sesama perempuan meminjamkan jilbabnya, kemudian hadirlah (ke tanah lapang) untuk mendengar dakwah yang ditujukan kepada orang-orang mukmin.’ (HR Muttafaq alaihi. Misykat Mashabih: 1431; Fathul Bari: II/469, nomor: 980. Sampai di sini uraian penyusun kitab al-Wajiz)
Penjelasan Dalil
Sebenarnya dua hadits yang dipaparkan di atas merupakan satu rangkaian. Sumber utamanya adalah Hafsah binti Sirin yang mengkonfirmasikan kepada Umu Athiah al-Anshari (seorang sahabat wanita yang pernah ikut enam kali perang bersama Rasulullah SAW) ketika ia singgah di istana bani Khalaf.
Jika hadits tersebut di-takhrij secara sempurna maka wujud redaksinya adalah sebagai berikut:
عَنْ حَفْصَةَ بِنْتِ سِيرِينَ قَالَتْ (كُنَّا نَمْنَعُ عَوَاتِقَنَا) (جَوَارِيَنَا أَنْ يَخْرُجْنَ) (فِي الْفِطْرِ وَ الْأَضْحَى) (فَلَمَّا قَدِمَتْ أُمُّ عَطِيَّةَ الْأَنْصَارِيَّةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا سَأَلْتُهَا أَسَمِعْتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) (فِي كَذَا وَكَذَا قَالَتْ نَعَمْ بِأَبِي) (وَكَانَتْ لَا تَذْكُرُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَّا قَالَتْ بِأَبِي سَمِعْتُهُ يَقُولُ) (لِيَخْرُجْ الْعَوَاتِقُ وَذَوَاتُ الْخُدُورِ وَالْحُيَّضُ) (فَلْيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُؤْمِنِينَ) (وَلْيَعْتَزِلِ الْحُيَّضُ الْمُصَلَّى)
Hafsah binti Sirin berkata: (Kami pernah melarang para wanita yang sudah baligh namun belum menikah, alias perawan), dan (para wanita yang belum baligh untuk ikut keluar—ke tanah lapang) (sewaktu hari raya Fitri dan Adha). Ketika kami kedatangan Umu Athiah al-Anshari RA aku bertanya kepadanya: Apakah Anda mendengar Rasulullah SAW bersabda (dalam masalah ini dan itu?)
Ia menjawab: Demi bapakku, ya. (Ia sendiri jika disebutkan Nabi SAW selalu berkata, demi bapakku. Kemudian ia berkata: Demi bapakku, aku mendengar Rasulullah SAW. bersabda:) (Agar semua para perawan, para wanita yang terpingit, dan para wanita yang sedang haid) (agar mereka dapat menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum mukmin) (namun para wanita yang sedang haid agar menyisih di tanah lapang. (HR Bukhari: 318, 937; Muslim: 890; Tirmidzi: 539; Nasai: 390, 1558.)
Tanggapan
Dari takhrij di atas diketahui, penulis al-Wajiz lupa atau tidak memahami bahwa yang dikonfirmasikan Hafsah binti Sirin kepada Umu Athiah bukan hanya dua orang (wanita baligh dan perawan), melainkan juga wanita haid dan para wanita yang terpingit. Kesempurnaan penukilan ini sangat penting untuk dapat memahami hadits secara akurat.
Pertanyaannya, apa korelasi para wanita khususnya yang sedang haid dengan shalat hari raya Fitri atau Adha. Sama sekali tidak ada hubungannya. Karena wanita haid tidak boleh menjalani shalat apapun termasuk shalat hari raya Fitri dan Adha.
Kehadiran mereka diharapkan oleh Rasulullah SAW bukan untuk mengikuti shalat, melainkan untuk merasakan kebaikan (kemenangan di hari raya Fitri dan Adha) serta mendengarkan dakwah Islam. Sebagaimana tercantum dalam teks hadits itu sendiri.
Oleh sebab itu di tanah lapang para wanita yang berhalangan untuk mengikuti shalat agar memisahkan diri sehingga tidak mengganggu shaf wanita. Dengan demikian hadits yang dijadikan argumentasi shahih namun bukan pada tempatnya (pemahaman yang tidak proporsional).
Hanya Ini Shalat Wajib
Kewajiban shalat sehari semalam hanya lima, kecuali di hari Jumat, bagi yang mampu shalat Dzuhur diganti Jumat. Haditsnya:
وَعَنْ طَلْحَةَ بْنَ عُبَيْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ (جَاءَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ نَجْدٍ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَائِرَ الرَّأْسِ يُسْمَعُ دَوِيُّ صَوْتِهِ وَلَا يُفْقَهُ مَا يَقُولُ حَتَّى دَنَا) (مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) (فَإِذَا هُوَ يَسْأَلُ عَنْ الْإِسْلَامِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَمْسُ صَلَوَاتٍ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ فَقَالَ هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا قَالَ لَا إِلَّا أَنْ تَطَوَّعَ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صِيَامَ رَمَضَانَ فَقَالَ هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهُ قَالَ لَا إِلَّا أَنْ تَطَّوَّعَ وَذَكَرَلَهُ رَسُولُ اللَّهِ الزَّكَاةَ فَقَالَ فَهَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا قَالَ لَا إِلَّا أَنْ تَطَّوَّعَ)
وفي رواية (قَالَ فَأَخْبِرْنِي بِمَا افْتَرَضَ اللَّهُ عَلَيَّ مِنْ الزَّكَاةَ فَأَخْبَرَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشَرَائِعِ الْإِسْلَامِ) (قَالَ فَأَدْبَرَ الرَّجُلُ وَهُوَ يَقُولُ وَاللَّهِ لَا أَزِيدُ عَلَى هَذَا وَلَا أَنْقُصُ) (فَلَمَّاوَلَّى قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) (أَفْلَحَ إِنْ صَدَقَ) وفي رواية (لَئِنْ صَدَقَ لَيَدْخُلَنَّ الْجَنَّةَ) وفي رواية مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَلْيَنْظُرْ إِلَى هَذَا
Thalhah bin Ubadullah RA berkata: (Seorang penduduk Najed menghadap Rasulullah SAW dalam kondisi rambut yang kusut, suaranya keras tak dapat difahami. Akhirnya ia mendekat) (kepada Nabi SAW) (Ternyata ia bertanya tentang Islam.
Maka Nabi bersabda: ‘Shalatlah lima kali sehari.’ Ia bertanya: ‘Apakah ada kewajiban lainnya?’ Nabi bersabda: ‘Tidak, kecuali Anda shalat sunah.’
Zakat Wajib
Rasulullah SAW juga menjelaskan tentang zakat. Ia bertanya: ‘Apakah ada yang lain.’ Nabi menjawab: ‘Tidak, kecuali Anda memberi yang sunah). (Dalam riwayat lain: Ia bertanya: ‘Kabarkan kepadaku tentang kewajiban Allah dalam zakat.’ Lalu Nabi saw. menjelaskan syariat-syariat Islam lainnya, seperti puasa dan lainnya).
Ketika orang itu pergi sambil bergumam: ‘Demi Allah aku tidak menambah dan menguranginya’ (Maka Rasulullah SAW bersabda): (Sungguh bahagia jika ia jujur) Dalam riwayat lain: (Jika jujur ia masuk surga). Dalam riwayat lain: Siapa yang merasa senang melihat penghuni surga, silahkan memperhatikan orang itu). (HR Bukhari: 46, 1333, 1891, 6556; Muslim: 11, 14; Abu Dawud: 392; Nasai: 459, 2090).
Dengan demikian selain shalat lima waktu adalah sunah, termasuk shalat hari raya Fitri dan Adha. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni. Artikel Benarkah Shalat Id Wajib Hukumnya? ini kali pertama dimuat di majalah Matan dengan judul Kewajiban Shalat Hari Raya?