Tiga Ijazah Nabi untuk Umatnya ditulis oleh Ustadz Muhammad Hidayatulloh, Pengasuh Kajian Tafsir al-Quran Yayasan Ma’had Islami (Yamais), Masjid al-Huda Berbek, Waru, Sidoarjo.
PWMU.CO – Kajian kali ini berangkat dari hadist riwayat Ahmad dan Ibnu Majah, sebagai berikut:
عن أبي أيُّوب الأنصاري رضي الله عنه أنَّ رَجُلًا جَاءَ إِلَى النَّبيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: عِظْنِي وَأَوْجِزْ، وفي رواية عَلِّمْنِي وَأَوْجِزْ، فَقَالَ ـ عليه الصَّلاة والسَّلام ـ: إِذَا قُمْتَ فِي صَلَاتِكَ فَصَلِّ صَلَاةَ مُوَدِّعٍ، وَلَا تَكَلَّمْ بِكَلَامٍ تَعْتَذِرُ مِنْهُ غَدًا، وَأَجْمِعِ اليَأسَ مِمَّا فِي يَدَيِ النَّاسِ.
(رواه أحمد ، وابن ماجه)
“Dari Abu Ayyub al Anshariy bahwa ada seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW dan berkata, ‘Nasehati dan berilah ijazah kepadaku.” Dalam riwayat yang lain, ‘Ajari dan berilah ijazah padaku.’
Maka Rasulullah SAW bersabda: ‘Jika kamu menegakkan shalat maka shalatlah seperti shalat perpisahan; janganlah kamu berkata dengan perkataan yang membuat kamu menyesal di kemudian hari; dan kumpulkan keputusasaan dari apa yang ada pada manusia.’.”
Tiga Nasihat Nabi SAW
Dalam hadits di atas ada tiga hal yang dinasihatkan atau diijazahkan oleh Rasulullah SAW kepada seseorang. Dan ini merupakan nasihat luar biasa bagi kita sebagai umatnya.
Nasehat pertama, “Jika kamu menegakkan shalat maka shalatlah seperti shalat perpisahan.”
Dengan demikian diharapkan ada suasana yang tercipta dengan shalat yang ditegakkan itu, karena sebagai shalat terakhir.
Yaitu di antaranya adalah dapat mengikhlaskan niat sebab shalat ini benar-benar semata-mata karena Allah.
Kemudian akan berusaha menjadi shalat yang khusyuk dengan penuh penghayatan. Setiap apa yang dibaca menjadi suatu untaian kalimat dalam rangka menyerahkan diri secara totalitas kepada Allah SWT.
Inilah di antara suasana batin kita jika menegakkan shalat dengan perasaan menjadikannya shalat yang terakhir.
Demikian sebagaimana kalimat mutiara yang masyhur di tengah kita yaitu:
اعمل لدنياك كأنك تعيش أبداً ، واعمل لآخرتك كأنك تموت غداً
“Bekerjalah untuk kepentingan duniamu seolah-olah kamu akan hidup selamaya dan berbuatlah untuk akhiratmu seolah-olah kamu akan mati besok.
Untuk kalimat pertama bekerjalah untuk duniamu seolah-olah kamu akan hidup selamanya banyak ditentang oleh para ulama, dan itu dianggap sebagai kalimat yang batil, karena menjadikan seseorang beranggapan akan hidup terus selama-lamanya.
Sedangkan kalimat kedua bekerjalah untuk akhiratmu seolah-olah kamu mati besok, hal itu sesuai dengan hadits di atas, dan itu merupakan nasihat yang agung bagi kaum mukminin.
Menghadirkan situasi batin yang demikian memang sulit, apalagi jika merasa keadaan diri sehat-sehat saja tanpa ada keluhan apa-apa. Untuk itu diperlukan latihan agar terasah.
Berkata yang Berujung Penyesalan
Nasehat kedua, “Janganlah kamu berkata dengan perkataan yang membuat kamu menyesal di kemudian hari.”
Hal ini berkaitan dengan menjaga lisan, karena keselamatan seseorang itu tergantung pada bagaimana ia dapat menjaga lisannya.
Ibarat anak panah, ucapan itu bisa langsung menusuk pada hati seseorang. Sekalipun ia bisa memaafkannya akan tetapi akan sulit melupakannya. Kata-kata yang menyakitkan akan selalu dikenang dalam setiap hidupnya, apalagi jika berjumpa dengan orang yang telah menyakitinya.
Luka hati karena kata-kata lebih sulit disembuhkan walaupun menurut kita kata-kata itu adalah benar. Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita untuk berkata dengan perkataan yang baik. Dan tidak membiasakan diri dengan berkata seenaknya sendiri.
وَيۡلٞ لِّكُلِّ هُمَزَةٖ لُّمَزَةٍ ١ ٱلَّذِي جَمَعَ مَالٗا وَعَدَّدَهُۥ ٢ يَحۡسَبُ أَنَّ مَالَهُۥٓ أَخۡلَدَهُۥ ٣ كَلَّاۖ لَيُنۢبَذَنَّ فِي ٱلۡحُطَمَةِ
“Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung, dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengkekalkannya, sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah. (al- Humazah 1-4).
Allah memerintahkan untuk berkata dengan perkataan yang lemah lembut ketika menyampaikan dakwah kepada orang lain.
فَقُولَا لَهُۥ قَوۡلٗا لَّيِّنٗا لَّعَلَّهُۥ يَتَذَكَّرُ أَوۡ يَخۡشَىٰ
“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (Thaha 44)
Bahasa Jawa merupakan bahasa yang kaya dalam pemilihan kata, mulai dari yang kasar sampai yang halus. Akan tetapi tidak selalu hal itu menjadi kebaikan karena di dalamnya juga terkandung adanya pembagian kasta yang dilarang di dalam Islam.
Dilarang Putus Asa
Nasihat ketiga, “Kumpulkan keputusasaan dari apa yang ada pada manusia.” Maksudnya, tahan hatimu dari bersikap putus asa terhadap apa yang ada pada orang lain.
Dalam hal ini kita didorong untuk memiliki sikap qana’ah yakni nriman, sehingga tidak terjebak untuk selalu melihat ke atas karunia yang lebih yang diberikan kepada orang lain.
Masing-masing kita harus menerima amanat sesuai anugerah yang telah diberikan oleh Allah, akan tetapi wajib bagi kita untuk terus berikhtiar untuk mendapatkan karunia-Nya.
Dalam hal ini kita juga diperintah untuk bersikap zuhud, sehingga tidak menahan hak orang lain yang sebenarnya diberikan oleh Allah kepadanya.
Tiga nasihat ini sangat agung bagi setiap Mukmin. Dengan nasihat tersebut kita dapat mengendalikan diri untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Sesuai dengan doa ‘sapu jagat’ yang kita panjatkan setiap waktu agar bahagia di dunia dan di akhirat serta dijauhkan dari api neraka.
Semoga kita dimampukan oleh Allah untuk melaksanakan ijazah rasulullah di atas dengan sebaik-baiknya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.