Sujud Risma dan Teori Konspirasi, kolom ditulis oleh Dhimam Abror Djuraid, wartawan senior tinggal di Surabaya.
PWMU.CO – Ini bukan kali pertama Walikota Tri Rismaharini tiba-tiba tersungkur dalam posisi mirip bersujud di depan umum sambil menangis meraung.
Ia pernah melakukannya dalam sebuah pertemuan dengan takmir-takmir masjid seluruh Surabaya. Ia juga melakukan hal yang sama dalam pertemuan dengan sejumlah pengusaha di sebuah kesempatan.
Karakter Risma memang cenderung elusif, sukar dipahami, dan impulsif, melakukan tindakan tanpa pikir panjang. Dalam beberapa kasus juga abusive, ketika memarahi anak buahnya dengan nada tinggi di depan umum.
Beberapa waktu sebelum ini Risma juga menunjukkan perilaku elusif ketika berbicara dengan suara tinggi sambil menangis saat bertelepon dengan seseorang. Emosinya yang secara tiba-tiba meledak tak terkontrol seolah-olah sudah menjadi trade mark-nya.
Tekanan Covid-19
Ini menunjukkan beratnya pressure yang dialami Risma. Dalam beberapa waktu belakangan ini ia terlihat exhausted, kelelahan. Fisiknya terlihat lemah dan sempat pingsan saat memimpin rapat.
Badannya terlihat lebih kurus—ini bagus kalau dia diet karena selama ini berat badannya terlihat over—tapi terlihat agak lemah. Beruntung, wajahnya yang pucat terlindung di balik masker dan jilbab yang nyaris menyembunyikan wajahnya.
Tekanan fisik dan psikologis yang dialaminya memang berat. Sampai sekarang Surabaya masih menjadi penyumbang terbanyak penderita pandemi di Jawa Timur. Ini pasti menjadi tekanan yang melelahkan karena akan sangat berpengaruh terhadap reputasi politiknya.
Selama satu dasawarsa terakhir Risma menikmati spotlight di panggung politik nasional. Reputasinya yang hebat diakui secara nasional maupun internasional. Lemari kerjanya penuh dengan piagam dan tropi penghargaan dari seantero dunia.
Tapi, di pengujung kekuasaannya yang tinggal beberapa bulan, ia menghadapi kasus yang belum pernah dialaminya seumur hidup, dan kasus ini sangat berpotensi menjadi nila setitik dalam perjalanan karirnya dan sangat mungkin memengaruhi aspirasi politiknya di masa depan.
Selama ini Risma bisa menyelesaikan banyak masalah di Surabaya secara mangkus dan sangkil—efektif dan efisien—karena otoritas dan legitimasinya sangat besar, nyaris tak terbatas. Tapi, menghadapi pandemi ini otoritas Risma menjadi terbatas. Ia harus berkoordinasi dan bernegosiasi dengan pemerintah provinsi dan pemerintah pusat.
Dalam kasus inilah Risma akhirnya terekspos dan merasa mentok dalam koordinasi dan negosiasi, terutama dengan pemerintah provinsi. Komunikasi Risma yang tidak mulus dengan Gubernur Khofifah dan jajarannya jelas-jelas terekspos, dan hal itu membuatnya frustrasi.
Risma menjadi sangat sensitif terhadap hal-hal yang berbau kritik. Itulah yang membuat Risma tiba-tiba bersujud di depan para dokter yang mengungkapkan bahwa kapasitas rumah sakit di Surabaya sudah tak mampu menampung pasien korban pandemi, sementara di sisi lain disiplin masyarakat Surabaya masih sangat rendah dalam pemakaian masker dan social distancing.
Risma menganggap hal ini sebagai serangan terhadap reputasinya. Ia bahkan take it personally, menganggapnya sebagai serangan terhadap pribadinya sebagai walikota. Karena itu Risma lalu merajuk dengan mengatakan dirinya bodoh dan tak pantas menjadi walikota.
Ultimatum Presiden Jokowi
Beberapa hari sebelumnya, Presiden Jokowi dan jajaran gugus tugas nasional datang ke Surabaya dan mengultimatum pemerintah Jatim untuk segera menurunkan tingkat penularan wabah dalam tempo dua minggu. Ini tentu deadline yang berat bagi Khofifah, dan lebih berat lagi bagi Risma karena 65 persen kasus Jatim ada di Surabaya.
Ketika provinsi-provinsi lain relatif mulai bisa mengendalikan penyebaran wabah, Jawa Timur masih berkutat dengan status merah dan bahkan hitam. Hal ini memunculkan pertanyaan, ada apa dengan Jatim?
Tidak mudah menjawab pertanyaan itu. Ada banyak faktor struktural, teknikal, dan juga kultural yang berkelit berkelindan membuat penanganan pandemi terlihat tidak mangkus dan sangkil.
Faktor struktural terjadi karena tidak mulusnya koordinasi dan komunikasi Khofifah dengan Risma. Faktor teknikal, antara lain menyangkut teknis perawatan korban pandemi yang ternyata banyak yang harus tetap tinggal di rumah sakit kendati secara medis sudah bisa pulang. Inilah yang menjadikan okupansi rumah sakit over capacity dan banyak pasien yang tidak tertampung.
Teori Konspirasi
Faktor kultur menyangkut kesadaran dan disiplin masyarakat yang masih sangat rendah. Hal itu terungkap dari sinyalemen Presiden Jokowi bahwa 70 persen warga Surabaya tidak memakai masker. Sinyalemen ini dibantah oleh Risma, meskipun kenyataan di lapangan terlihat lebih sesuai dengan sinyalemen Jokowi.
Disiplin bermasker dan menjaga jarak masih sangat rendah. Itu terlihat dengan mudah di berbagai tempat. Suasana kebatinan masyarakat Surabaya merasa bahwa pandemi sudah berakhir.
Semakin banyak masyarakat yang percaya bahwa pandemi ini sebenarnya tidak ada, dan bahaya pandemi ini hanya dibesar-besarkan oleh media dengan tujuan meraup keuntungan oleh kalangan tertentu dan untuk menghancurkan umat agama tertentu.
Bukan hanya kalangan bawah saja yang percaya terhadap teori konspirasi ini. Banyak tokoh masyarakat, pemimpin agama, dan bahkan akademisi dan profesor yang memercayainya dan dengan terang-terangan menentang pemakaian masker.
Padahal jelas tidak ada satu orang atau satu pihak pun di muka bumi ini yang diuntungkan oleh pandemi ini. Alih-alih untung, semua manusia di seluruh dunia—termasuk perusahaan media—buntung oleh pandemi ini karena ekonomi dunia bangkrut.
Kalangan menuduh pandemi ini rekayasa orang kafir untuk menjauhkan Muslim dari masjid. Sementara kalangan non-Muslim menuduh pandemi ini ciptaan kelompok radikal Islam supaya perempuan di seluruh dunia memakai burkah yang menutipi wajah. Sesama umat beragama diadu domba tanpa ada satu bukti pun.
Beredar bahwa dokter di Italia melakukan otopsi terhadap jenazah korban dan tidak menemukan bukti bahwa pasien itu meninggal karena Covid 19.
Memang sejauh ini belum ada otopsi terhadap pasien pandemi di Indonesia. Tapi, otopsi yang dilakukan dokter-dokter di Italia dan China bisa menjadi rujukan bagi dokter di seluruh dunia karena sudah dipublikasikan di jurnal kedokteran internasional, dan simpulannya menunjukkan bahwa pasien-pasien itu meninggal karena Covid 19.
Ketika disodorkan fakta bahwa ratusan tenaga medis di Indonesia meninggal karena pandemi, mereka menertawakannya dan mengatakan tenaga medis itu meninggal karena kelelahan.
Teori Hyper Reality Dokter Hewan
Kalau benar demikian maka hal ini juga sama dengan kasus meninggalnya ratusan petugas KPPS pada pemilihan presiden 2019 yang lalu yang disebut penyebabnya karena kelelahan. Klir. Case closed.
Yang banyak jadi rujukan adalah teori hyper reality yang diviralkan oleh Indro Cahyono yang mengatakan bahwa pandemi ini adalah palsu. Sungguh mengherankan bagaimana seorang dokter hewan yang biasanya memeriksa kambing bisa sangat fasih bicara mengenai pandemi yang menjangkiti manusia. Dan pendapat itu ditelan mentah tanpa dikunyah.
Selama kultur masyarakat kita masih percaya pada teori konspirasi yang tidak masuk nalar, selama disiplin masyarakat untuk bermasker dan jaga jarak masih rendah, perjuangan sekeras apapun akan sia-sia menghadapi pandemi ini.
Semakin banyak yang bakal jadi korban, semakin besar risiko jabatan yang menjadi taruhan. Bukan hanya reputasi Risma dan Khofifah, reputasi dan nasib politik Jokowi pun jadi pertaruhan. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.