PWMU.CO– Dampak Perjanjian Hudaibiyah antara Rasulullah dengan Suhail bin Amir yang mewakili orang Mekkah membuat kaum muslimin yang tertahan di Mekkah tidak boleh hijrah ke Madinah. Kalau itu terjadi, Rasulullah harus memulangkannya.
Inti isi perjanjian Hudaibiyah antara lain kesepakatan berdamai dan berhenti perang selama sepuluh tahun antara kaum muslimin dan kafir Mekkah. Orang-orang Quraisy yang datang kepada Nabi Muhammad tanpa izin harus dikembalikan. Bila pengikut Nabi Muhammad desersi kepada orang Quraisy tidak dikembalikan.
Tahun itu kaum muslim tidak diizinkan memasuki Mekkah untuk berhaji, umrah, atau urusan lain. Tahun depan kaum muslimin baru boleh memasuki Mekkah hanya dibatasi selama tiga hari dengan membawa pedang yang tersarungkan.
Beberapa sahabat ada yang kecewa dengan perjanjian ini karena batal umrah dan menarik diri kembali ke Madinah. Di antara yang kecewa itu Umar bin Khaththab yang menilai perjanjian itu merugikan umat Islam dan menguntungkan kafir Quraisy.
Tapi Rasulullah menenangkan para sahabatnya dengan berkata,”Aku hamba Allah dan Rasulnya. Aku tidak menentang perintah Allah dan Allah tidak akan menelantarkan aku.”
Beberapa waktu berlalu dampak Hudaibiyah mulai berimbas kepada kaum muslim. Salah satunya menimpa Abu Bashir Utbah bin Usaid bin Jariyah. Kafir Quraisy tetap saja menyiksa kaum muslim di Mekkah untuk melampiaskan kebenciannya.
Hari itu Abu Bashir berhasil meloloskan diri dari tawanan dan siksaan orang kafir Mekkah. Dia lantas pergi ke Madinah untuk meminta perlindungan kepada Rasulullah.
Mengetahui Abu Bashir melarikan diri ke Madinah, pemuka Quraisy, Azhar bin Abdu Auf, mengirimkan dua orang utusan dengan membawa suratnya kepada Rasulullah. Surat itu berisi permintaan memulangkan Abu Bashir sesuai perjanjian Hudaibiyah dan menyerahkan kepada dua utusan tadi.
Terjadi Pembunuhan
Rasulullah memanggil Abu Bashir dan menjelaskan situasinya setelah ada perjanjian Hudaibiyah. ”Abu Bashir, kita telah memberikan perjanjian kepada mereka seperti kamu telah ketahui. Pengkhianatan tidak pantas dalam agama kita. Allah akan memberikan jalan keluar bagimu dan orang sepertimu. Maka pulanglah kepada kaummu,” kata Rasulullah.
”Ya Rasulullah, apa tega engkau memulangkan aku kepada kaum musyrikin kemudian mereka menyiksaku karena aku Islam?” tanya Abu Bashir memelas.
”Pulanglah. Allah akan memberimu jalan keluar dan orang-orang lemah sepertimu,” kata Rasulullah meyakinkan dia.
Abu Bashir tidak membantah lagi. Dengan perasaan sedih dia kembali ke Mekkah dengan dikawal dua orang utusan tadi. Dalam perjalanan mereka singgah di suatu tempat untuk beristirahat di Dzul Hulaifah. Saat ketiganya duduk, Abu Bashir melihat pedang yang dibawa utusan dari Bani Amir.
”Apakah pedangmu ini tajam?” tanya Abu Bashir.
”Oh, tentu saja,” jawab utusan Bani Amir itu sambil membanggakan pedangnya.
”Boleh aku melihatnya?,” tanya Abu Bashir lagi.
”Boleh saja kalau kau mau,” kata utusan itu dengan polosnya sambil mengulurkan pedang kepada Abu Bashir.
Abu Bashir menerima pedang itu. Dilepaskan sarungnya dan dia amati ketajaman pedang. Tiba-tiba dia tusukkan pedang itu kepada pemiliknya hingga tewas. Setelah itu Abu Bashir lari.
Utusan yang satunya lagi terkejut dengan pembunuhan yang tidak diduganya itu. Dengan perasaan cemas dan ketakutan, dia kembali ke Madinah. Dia menemui Rasulullah yang saat itu sedang di masjid.
Dia melaporkan kejadian itu kepada Nabi. ”Temanmu telah membunuh temanku.”
Memimpin Gerombolan Perampok
Beberapa waktu kemudian Abu Bashir juga datang dengan menghunus pedang di tangan. Ketika berhadapan dengan Rasulullah sambil berdiri dia berkata,”Ya Rasulullah, kewajibanmu telah hilang dan Allah telah menariknya. Engkau telah serahkan aku kepada utusan tersebut. Tapi karena agamaku, aku tidak mau disiksa lagi.”
Rasulullah memandangi Abu Bashir dengan gusar kemudian berkata,”Sesungguhnya dia telah mengobarkan perang seandainya saja ada banyak orang mengikutinya.”
Kemudian Abu Bashir pamit pergi sebab dalam situasi demikian tidak mungkin lagi tinggal di Madinah. Dia terus berjalan hingga sampai di daerah Al Ish. Di dekat situ adalah jalur pesisir pantai tempat para kafilah berlalu lalang antara Syam dan Mekkah. Di sinilah Abu Bashir menetap dan memulai petualangannya. Pekerjaannya mencegat kafilah yang lewat dan merampas hartanya.
Kabar tentang Abu Bashir hidup sebagai perampok di jalur pesisir langsung tersebar ke mana-mana. Namanya menjadi terkenal. Orang-orang Islam yang masih tinggal di Mekkah dan tidak dapat hijrah ke Madinah mendengar kisah itu maka satu demi satu pergi menuju Al Ish bergabung dengan Abu Bashir.
Lambat laun gerombolan Abu Bashir makin kuat. Banyak orang telantar bergabung dengan kelompok ini. Pasukannya mencapai jumlah tujuh puluh orang menjadi kelompok paling ditakuti para kafilah di jalur pesisir. Gangguan di jalur itu meresahkan pemimpin Mekkah yang bertanggung jawab atas keselamatan para kafilah.
Pemimpin Quraisy kemudian berkirim surat kepada Rasulullah untuk melindungi para kafilah dan mengatasi orang-orang Islam yang menjadi perampok di jalur itu. Rasulullah menyanggupi dengan syarat Abu Bashir dan anggota kelompoknya dibolehkan ditarik ke Madinah.
Orang Quraisy tidak mau pusing lagi dengan Abu Bashir dan isi perjanjian Hudaibiyah. Bagi mereka yang penting jalur dagang itu aman. Maka Rasulullah mengirim utusan ke Abu Bashir. Dia dan anggota kelompoknya diminta segera tinggal di Madinah dan mengakhiri aksinya.
Abu Bashir dan teman-temannya dengan senang hati memenuhi ajakan itu. Mereka bersorak kegirangan akhirnya boleh hijrah ke Madinah.
Sejak itu bubarlah kisah petualangan kelompok Abu Bashir. Mereka boleh menetap di Madinah bersama Rasulullah sesuai dengan keinginan semula. Jalur perjalanan Syam-Mekkah di daerah Al Ish pun kembali aman.
Perempuan yang Hijrah
Masalah lain yang juga muncul dampak Hudaibiyah adalah perempuan yang hijrah. Ummu Kultsum binti Uqbah bin Abu Muaith hijrah ke Madinah meninggalkan suaminya. Tak lama berselang dua saudara lelakinya, Imarah bin Uqbah dan Walid bin Uqbah, menyusul dan menemui Rasulullah agar memulangkan Ummu Kultsum.
Namun Rasulullah menolak permintaan itu. Alasannya, hanya laki-laki yang nekat hijrah yang akan dipulangkan sesuai perjanjian Hudaibiyah. Rasulullah mendasarkan keputusannya itu pada wahyu yang turun yaitu surat Al Mumtahanah ayat 10 yang berbunyi
Hai orang-orang beriman, apabila datang berhijrah kepada kalian perempuan beriman maka hendaklah kalian uji mereka. Allah lebih mengetahui keimanan mereka. Maka jika kalian mengetahui keimanan mereka maka janganlah kalian kembalikan kepada orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi orang kafir dan orang kafir tidak halal bagi pula bagi mereka. Dan berikanlah mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tidak ada dosa bagi kalian mengawini mereka jika kalian bayar mereka maharnya. Dan janganlah kalian tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan kafir dan hendaklah kalian meminta mahar yang telah kalian bayar dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkannya di antara kalian dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Ketika wahyu ini turun maka sahabat-sahabat menceraikan istrinya yang tetap kafir dan memilih tinggal di Mekkah. Seperti Umar bin Khaththab menceraikan istri-istrinya bernama Quraibah binti Abu Umaiyah bin Mughirah dan Ummu Kultsum binti Jarwal Al Khuza’iyah yang tetap musyrik dan memilih tinggal di Mekkah. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto