Tujuh yang Dinaungi Allah saat Kiamat ditulis oleh Ustadz Muhammad Hidayatulloh, Pengasuh Kajian Tafsir al-Quran Yayasan Ma’had Islami (Yamais), Masjid al-Huda Berbek, Waru, Sidoarjo.
PWMU.CO – Kajian tentang Tujuh yang Dinaungi Allah saat Kiamat ini kita mulai dari hadits riwayat Muttafaqun alaih.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ـ رضى الله عنه ـ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ “ سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ تَعَالَى فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ إِمَامٌ عَدْلٌ، وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ اللَّهِ، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ، وَرَجُلاَنِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ، وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ، وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لاَ تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ، وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ ” متفق عليه.
Dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW bersabda: “Tujuh golongan yang dinaungi Allah di hari (kiamat) yang tiada naungan kecuali naungan-Nya, (yaitu) pemimpin yang adil; pemuda yang tumbuh dengan beribadah pada Tuhannya; orang yang hatinya tergantung di masjid; dua orang yang saling menyayangi karena Allah—bersatu karena Allah dan berpisah karena Allah.
Dan orang yang diajak berbuat hina oleh wanita cantik dan kaya namun ia berkata, ‘Aku takut kepada Allah; pria yang sedekah dengan sembunyi-sembunyi sehingga tangan kanannya memberi sedang tangan kirinya tidak tahu; dan orang yang ketika mengingat Allah dalam kesendirian berlinanglah air matanya.”
Pembahasan Hadits
Sab’ah bermakna tujuh. Tujuh yang dinaungi Allah saat kiamat—yang pada saat itu tiada naungan kecuali naungan dari-Nya. Naungan yang sangat diharapkan oleh semua manusia.
Maka berusaha untuk mencapai salah satu saja dari tujuh kriteria tersebut merupakan hal yang sangat penting bagi kita.
Pemimpin Adil
Pemimpin adil menempati posisi tertinggi di antara kriteria lainnya. Pemimpin adil baik secara perilaku maupun dalam hal perhatian dan pemberian yang tidak harus sama rata.
Adil berarti tidak berat sebelah. Atau bertindak tanpa pandang bulu. Dalam menegakkan keadilan, tidak berlaku lagi persaudaraan atau pertemanan.
Siapa pun jika bersalah, keadilan akan ditegakkan secara proporsional. Bahkan termasuk jika diri sendiri bersalah, keadilan juga ditegakkan.
Maka sungguh tidak mudah menjadi pemimpin yang adil. Tetapi juga tidak terlalu sulit jika memang kita dapat selalu objektif menilai, termasuk pada diri sendiri.
Perilaku adil inilah yang menjadi penyebab kehidupan harmonis di tengah masyarakat, dan selanjutnya akan berdampak pada tingkat kesejehteraan dan kebahagiaan bagi masyarakat.
Itulah tujuan utama konsepsi kehidupan umat manusia sebagai makhluk yang bermartabat tinggi. Maka hukum dan etika kehidupan ini haruslah memenuhi rasa keadilan bagi semua tanpa kecuali.
Tidak boleh ada orang yang memiliki kekebalan hukum. Hukum harus ditegakkan bagi semua. Hukum tidak tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Ditegakannya keadilan ini demi kebaikan bersama. Sebab jika pemimpin bertindak adil, masyarakat akan merasa terayomi oleh kepemimpinannya.
Pemuda Taat Beribadah
Golongan kedua adalah pemuda—juga pemudi tentunya—yang tumbuh dengan selalu beribadah kepada Allah SWT. Mereka selalu menghiasi waktu-waktunya dengan sibuk beribadah. Sedangkan puncak atau komandan seluruh ibadah adalah shalat.
Maka menjaga shalat menjadi hal paling utama dalam hal ini. Di samping itu tidak kalah pentingnya adalah senantiasa berada dalam majelis ilmu, terutama ilmu agama.
Pemuda yang demikian pasti akan tumbuh menjadi manusia yang senantiasa bertakwa kepada Allah SWT. Yang memiliki komitmen kehidupan kepada Tuhannya, yang menjalankan kehidupan secara seimbang antara tuntutan kehidupan sosial dan keluarga.
Semua itu sebagai wujud tanggung jawab akan amanah kehidupan dari Tuhannya. Maka masa muda yang demikian ada harapan untuk dapat naungan dari Allah. Sebaliknya, pemuda yang menghabiskan wktunya untuk aktivitas yang melanggar syariah tentu tidak termasuk dalam kriteria ini.
Hati Terpaut Masjid
Golongan ketiga adalah seseorang yang hatinya tergantung pada masjid Allah. Hal ini menjadi kelanjutan dari kriteria di atas, sehingga dalam hal ini tidak lagi dibatasi oleh usia: apakah muda atau tua.
Jika senantiasa suka datang ke masjid dengan selalu mengikuti aktivitas-aktivitas kebaikan di dalamnya, maka hal ini dapat memenuhi kriteria itu. Bagi siapa saja tanpa kecuali memakmurkan masjid Allah merupakan aktivitas utama.
“Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan masjid-masjid Allah, sedang mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Itulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya, dan mereka kekal di dalam neraka.
Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (at-Taubah 17-18).
Bersahabat karena Allah
Golongan keempat adalah dua orang yang bersahabat dan saling mencintai karena Allah, sehingga jika bertemu dan berpisah juga karena Allah. Persahabatan yang demikian jelas berdasarkan ketakwaan kepada Allah.
Maka mencari sahabat yang senantiasa mengedepankan nilai kebenaran merupakan kebutuhan penting dalam sebuah pergaulan, sebagaimana perintah dalam hadits di atas.
Sebaliknya sahabat yang tidak lagi mengindahkan nilai kebenaran harus dihindari. Karena pasti berdampak kepada buruknya pula kehidupan yang berkaitan dengan kualitas spritualitas diri.
Membentuk komunitas pecinta ilmu atau komunitas taklim dalam rangka memahami ilmu-ilmu Allah juga merupakan bagian dari kriteria hadits tersebut. Sepanjang aktivitas di dalamnya dalam rangka di jalan Allah SWT.
Sahabat sejati selalu saling mencintai karena Allah. Bertemu dan berpisah karena Allah. Tidak tergantung dalam kondisi kaya atau miskin, sahabat sejati selalu setia dalam suka dan duka. Saling bahu-membahu dan menopang untuk tetap istikamah di jalan Allah. Apapun keadaan dan kondisinya.
Hal ini juga tergambar dalam Surat al-Ashr: “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian.Kkecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasehat menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.” (al-Ashr 1-3)
Dalam konteks ayat di atas, dalam sahabat sejati tidak ada perbedaan antara satu dengan lainnya. Mereka duduk sama rendah berdiri sama tinggi. Berat sama dipikul ringan sama dijinjing.
Kesedihan yang dialami salah satunya menjadi kesedihan shabatnya. Demikian pula jika terdengar kebahagiaan maka akan membahagiakan bagi lainnya. Sungguh persahabatan yang indah karena Allah. Maka pantaslah Allah memberikan naungan pada mereka.
Menahan Nafsu Syahwat
Golongan kelima adalah seorang laki-laki yang diajak seorang perempuan yang cantik dan berpunya, tetapi dia menolak. Bahkan dia mengatakan, “Aku takut kepada Allah.”
Betapa luar biasa kuatnya iman seorang laki-laki tersebut. Nilai ketakwaannya telah mendarah-daging dalam jiwanya. Dia tidak mudah tergelincir oleh bujuk rayu keindahan dan kemewahan dunia.
Dia senantiasa berpegang teguh dengan nilai-nilai ketakwaan kepada-Nya. Tidak akan mengorbankan keimanannya hanya demi tipu daya kehidupan dunia ini.
Sekalipun secara tekstual hadits di atas menyebut laki-laki, tetapi berlaku pula bagi perempuan. Yakni seorang perempuan yang diajak laki-laki yang gagah perkasa dan memiliki kekayaan melimpah tetapi, ia tetap menolaknya karena yakin telah melanggar syariat-Nya.
Ia merasa takut akan siksaan Allah akibat perbuatannya itu. Maka perempuan yang demikian insyaallah juga akan mendapatkan naungan di sisi Allah kelak.
Kecintaan lawan jenis harus lewat pernikahan yang sah, karana di baliknya ada sejuta hikmah bagi kehidupannya di kemudian hari dan juga bagi keturunannya.
Maka seorang wanita mulia tidak akan mengorbakan kehormatannya kecuali setelah dilangsungkannya akad nikah secara sah. Berzina merupakan tindakan terkutuk yang dilaknat oleh Allah. Karena dengan berzina maka kehidupan umat manusia tak ubahnya seperti binatang, dan bahkan lebih biadab lagi.
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (al-Isra’: 32).
Ikhlas Bersedekah
Golongan keenam adalah seseorang yang bersedekah secara sembunyi-sembunyi, sehingga seolah-olah ketika tangan kanannya memberi, tangan kirinya tidak mengetahui.
Sedekah dalam pengertian khusus adalah mengeluarkan sebagian harta untuk mereka yang berhak menerimanya.
Keikhlasan merupakan inti dari sedekah ini, sehingga tidak ada seorang pun yang tahu sedekahnya. Hanya Allah dan dirinya saja yang mengetahui secara persis, dan mungkin orang yang disedekahinya. Sedekah yang demikian tidak perlu diumumkan atau dicantumkan dalam sebuah lembaran yang dapat dibaca oleh orang lain.
Sebab jika demikian dapat menjadi sebab timbulnya sikap riya’ atau ujub pada diri sendiri. Dan akibat berikutnya tanpa disadarinya keikhlasannya luntur.
Sedekah dalam pengertian yang luas adalah seluruh kebaikan yang dilakukan oleh seorang hamba. Sebagaimana hadits Rasulullah SAW bersabda, “Setiap kebaikan adalah sedekah.” (HR Bukhari Fi Adabil Mufrad).
Maka semua kebaikan yang kita lakukan syarat utamanya adalah ikhas, hanya karena Allah, bukan yang lainnya. Hal ini sangat penting karena menjadi penentu diterima tidaknya amal seseorang. Bukan kuantitasnya semata suatu ibadah itu diterima.
Sedekah yang dirahasiakan itu merupakan bagian yang terintgrasi dengan ibadah-ibadah lainnya. Dan hal ini menjadi indikator bahwa amaliah lainnya juga akan dilakukan karena Allah semata.
Itulah sebabnya orang yang bersedekah dengan ikhlash akan mendapat naungan dari Allah dihari yang tiada naungan selain naungan-Nya.
Berdzikir Sendirian
Golongan ketujuh adalah seseorang yang berdzikir secara menyendiri dan berlinanglah air matanya, sebagai wujud aktivitas ber-taqarrub kepada Allah dan selalu menjaga keikhlasan.
Mereka selalu berusaha tazkiyatun nafs untuk membersihkan diri dari sifat tercela dengan menyandarkan dirinya kepada Allah. Proses di dalamnya adalah ber-mujahadah dengan berdzikir kepada Allah sembari menyadari betapa nistanya diri ini di atas kemuliaan Allah.
Bukankah telah memberikan anugerah yang begitu melimpah tetapi kita enggan untuk berbakti kepada-Nya dalam arti yang sesungguhnya.
Padahal Allah juga telah memuliakan diri kita dari pandangan orang lain. Allah memuliakan kita dengan cara Allah manutup kekurangan dan kelemahan diri dari pandangan orang lain. Hanya kasih sayang Allah-lah sehingga semua itu tidak tersingkap bagi banyak orang.
Jadi siapapun diri kita sesungguhnya wajib menyadari akan kekurangan diri ini yang kemudian wajib berusaha berbenah dan berbenah.
Dzikir Berjamaah Hanya Latihan
Sedangkan jika kita berdzikir secara berjamaah, bahkan juga kadang meneteskan air mata, belum termasuk dalam kriteria hadits di atas. Karena bisa jadi hal itu kita lakukan masih ada tendensi yang terselip di dalamnya, bukan semata-mata karena Allah.
Oleh karena itu dzikir yang demikian boleh dikatakan sebagai bentuk latihan yang mestinya ditindaklanjuti dengan berdzikir dengan keadaan sendirian di waktu yang senyap-sepi—dzikir yang benar-benar akan mengasah jiwa ini untuk senantiasa dalam ketakwaan kepada-Nya.
Termasuk di dalamnya adalah dzikir saat shalat lima waktu, yag memiliki keterkaitan dengan praktik dzikir sebagaimana maksud hadits di atas yaitu secara sendirian di saat sepi.
Dengan berdzikir secara benar insyaallah kita akan dapat berdzikir secara hakiki yakni dalam aplikasinya di kehidupan kita sehari-hari: selalu menyesuaikan dan menselaraskan dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya.
Semoga kita dapat memasuki paling tidak sebagian di antara tujuh kriteria yang akan mendapat naungan Allah SWT di Hari Kiamat—yang pada hari itu tiada yang dapat menaungi kita kecuali Dia, Dzat Yang Maha Agung, Maha Perkasa. Amin! (*)
Tujuh yang Dinaungi Allah saat Kiamat, Editor Mohammad Nurfatoni.