Membungkam para Penista Agama! Kolom ditulis oleh Prima Mari Kristanto, warga Muhammadiyah pegiat medsos, tinggal di Lamongan.
PWMU.CO – Tanpa terasa penghinaan pada umat Islam dan simbol-simbol Islam seperti ormas, pesantren, tokoh-tokoh Islam, dan lain-lain semakin marak.
Dari sekian banyak provokasi pada umat Islam, sangat sedikit yang ditindaklanjuti oleh pihak berwajib. Sebaliknya perilaku sebagian aktivis atau simpatisan gerakan Islam yang dilaporkan oleh oknum tertentu demikian cepatnya diproses.
Sebagaimana diketahui khalayak masyarakat, Alfian Tanjung, Gus Nur, Ahmad Dhani, Dahnil Anzar Simanjuntak, Amien Rais dan lain-lain sempat menjalani proses hukum atas laporan “oknum” yang merasa dirugikan oleh tokoh-tokoh tersebut.
Menghadapi situasi demikian, banyak aktivis dan simpatisan gerakan Islam yang marah. Sebuah kemarahan yang wajar mengingat ketidakadilan yang demikian terasa. Sebut saja beberapa oknum penista agama antara lain AA, DS, PA, MA dan kawan-kawan seolah-olah tidak tersentuh hukum.
Terakhir pernyataan salah seorang “oknum” yang suka bikin gaduh menuduh santri cilik pesantren sebagai calon atau bibit teroris. Sebelumnya ada juga oknum yang menuduh Din Syamsuddin dan ormas Muhammadiyah mendukung gerakan makar pada pemerintah.
Tuduhan yang dianggap angin lalu saja oleh Din Syamsuddin maupun persyarikatan meskipun Kokam dari salah satu wilayah melayangkan somasi pada oknum tersebut.
Cepat Viral
Dalam situasi demikian maraknya penistaan pada Islam—baik pada simbol-simbol maupun tokohnya—yang memprihatinkan adalah demikian cepat viralnya provokasi-provokasi tersebut.
Dengan kecanggihan media sosial, provokasi-provokasi pada Islam demikian cepat disebarluaskan dengan bermacam alasan seperti mengabarkan kemarahan, solidaritas pada tokoh yang dihina, mendorong pihak berwajib segera bertindak dan sebagainya.
Namun tak dinyana, seringkali harapan agar oknum yang bersangkutan segera diproses oleh pihak yang berwajib seperti bertepuk sebelah tangan. Kekecewaan demi kekecewaan kembali disebarluaskan dengan cepat melalui media sosial—yang kadang disertai caci maki pada pihak berwajib. Naudzubillahimindzalik.
Tanpa sadar, sejumlah perilaku saudara Muslim dalam menghadapi sesuatu masalah, musibah, atau provokasi justru bisa mendegradasi nilai-nilai luhur Islam.
Kemampuan mendeteksi provokasi, hinaan atau caci maki “oknum” ditujukan pada Islam, tokoh Islam atau sekadar atribut-atribut Islam belum sepenuhnya dipahami.
Sementara cacian, hinaan, dan provokasi terlanjur menyebar. Bisa dibayangkan daya viral berita di tangan umat Islam yang mayoritas di Indonesia sekitar 80 persen dari 270 juta penduduk.
Bila yang peduli pada gerakan Islam misalnya 5 persen saja dari 80 persen umat Islam (216 juta) jumlahnya mencapai 10,8 juta. Berita, gambar, atau status media sosial yang menghina Islam menjadi gampang tersebar dengan cepat.
Semakin ditanggapi, di-share, atau dikomentari sudah pasti pembuatnya merasa senang. Belum lagi jika disertai tantangan untuk bisa menemukan “oknum” pelaku, acaranya jadi makin seru bak film action Hollywood dan Bollywood. Dengan reaksi umat yang demikian masif sudah pasti oknum dan perbuatannya semakin laris bagaikan artis antagonis.
Literasi Media
Literasi media umat perlu dibenahi dalam menghadapi provokasi melalui media sosial, audio, visual, dan media cetak. Langkah yang paling aktif yaitu memproduksi secara massif berita tandingan untuk menenggelamkan stigma buruk pada Islam.
Jika ada oknum yang menghina pesantren misalnya, yang bisa menenggelamkan adalah berita-berita yang menyajikan keunggulan-keunggulan pesantren.
Atau jika ada aksi provokasi yang mendiskreditkan tokoh Islam, aksi aktif untuk menenggelamkan berita hoax tersebut yaitu dengan membicarakan hal-hal baik fakta positif tentang tokoh Islam yang sedang diberitakan negatif baik berupa fitnah atau ghibah.
Cara kedua bersifat pasif defensif atau bertahan untuk tidak ikut menyebarkan kabar buruk tentang Islam dengan alasan apapun. Tidak perlu merasa risih, malu, atau kehilangan harga diri dan jati diri sebagai Muslim sejati misalnya jika menahan diri dari kegiatan menyebarluaskan kabar buruk tentang Islam.
Bisa dibayangkan jika umat mayoritas Islam di Indonesia tidak meneruskan berita-berita buruk tentang Islam dari “oknum-oknum” yang mencoba memprovokasi. Dengan pasif defensif, atau bertahan, maka berita-berita buruk yang bertujuan mendiskreditkan Islam atau memancing amarah umat Islam akan beredar untuk “kalangan sendiri”. Yaitu para oknum provokator tersebut.
Bumerang Sampah
Meminjam perumpamaan yang dipopulerkan Aa Gym bahwa “oknum-oknum” yang selalu memprovokasi dan menjelek-jelekkan orang atau ormas tertentu ibarat orang suka buang sampah sembarangan. Sampah itu akan jadi bumerang.
Sampah akan kembali pada dirinya sendiri jika tong sampah ditutup, pot bunga ditutup, saluran air, dan lain-lain ditutup. Dengan disiplin melakukan kegiatan bertahan secara massif dan bersama-sama, niscaya “oknum-oknum” provokator merasa dibungkam suaranya.
Jika tidak ada yang menanggapi dan memperhatikan, bisa dipastikan “oknum-oknum” provokator “tersiksa” karena tujuan hidupnya tidak lain dan tidak bukan hanya mencari perhatian dari postingan “unik” negatif yang bertujuan memancing kemarahan.
Tidak selamanya umat Islam bereaksi keras atau beraksi berlebihan menghadapi provokasi dari “oknum-oknum” yang mencoba mengail di air keruh. Untuk provokasi yang “ringan-ringan” sudah waktunya dikesampingkan atau cukup dianggap angin lalu saja.
Sebaliknya dalam menghadapi cobaan yang mengancam dasar negara dan nasib umat Islam serta nasib negara secara serius wajib dihadapi dengan sungguh-sungguh. Energi umat perlu dihemat untuk hal-hal yang lebih besar demi agama, negara dan bangsa seperti RUU HIP, Omnibus Law, skandal-skandal korupsi, dan sejenisnya.
Semoga keresahan-keresahan yang diciptakan oleh “oknum-oknum” provokator dapat segera ditanggapi serius oleh pihak berwajib. Jangan sampai masyarakat beranggapan tentang adanya “spesies langka” yang dilindungi negara. Di mana “spesies langka” seperti komodo, ular sanca dan anoa yang dilindungi negara tidak boleh ditembak atau ditangkap meskipun keberadaannya meresahkan masyarakat.
Dengan mengalihkan perhatian dari segala tingkah polah “spesies langka” tersebut semoga situasi di tengah masyarakat bisa lebih tenang, indah dan kondusif.
Mengembangkan sikap tenggang rasa membiarkan golongan spesies langka menikmati hidup dan tingkahnya sendiri selama tidak mengancam kehidupan sesama. Wallahu’alam bi ash-shawab. (*)
Membungkam para Penista Agama, Editor Mohammad Nurfatoni.