PWMU.CO– Khadijah binti Khuwailid bin Asad adalah wanita pedagang, terhormat, dan kaya raya. la mempekerjakan banyak orang untuk menjualkan barang dagangannya dengan upah dua ekor anak unta.
Dia makin kaya ketika dua kali menikah dengan keluarga Makhzum. Ketika dia menjanda karena kematian suaminya, beberapa pemuka Quraisy melamarnya. Tapi dia menolak.
Muhammad Husain Haekal dalam buku Sejarah Hidup Muhammad menceritakan, Abu Thalib mengetahui Khadijah menyiapkan kafilah dagang ke Syam. Segera dia memanggil kemenakannya, Muhammad, agar mau membawa dagangan itu.
Ketika Muhammad setuju maka pamannya segera menemui Khadijah untuk menawarkan kemenakannya menjualkan dagangannya tapi dia minta upahnya empat anak unta. Ternyata Khadijah sepakat sebab Muhammad yang masih kerabat dekat.
Berangkatlah Muhammad ke Syam ditemani budak laki-laki Khadijah bernama Maisara. Abu Thalib yang berpengalaman ke Syam memberi nasihat tentang jalan yang dilalui dan cara berdagang.
Rombongan dagang ini mengambil jalan Wadi al-Quran, Madyan, dan Diar Thamud dan daerah lainnya yang pernah dilalui bersama pamannya. Saat di Bushra berhenti di sebuah gereja. Bicara dengan pendeta Nestorian di situ tentang agama.
Mempercayakan Dagangan
Dalam Shirah Ibnu Hisyam dikisahkan, pendeta itu lalu mendekati Maisara, dan bertanya, ”Siapa laki-laki itu yang berteduh di bawah pohon itu?”.
Maisarah menjawab,”Itu orang Quraisy, dan penduduk tanah haram.”
Pendeta itu berkata,”Tidak akan berhenti di bawah pohon tersebut melainkan ia seorang nabi.”
Setelah sampai di Syam, Muhammad menjual barang dagangan dengan pembawaannya yang menarik dan jujur. Barang yang dibawanya habis. Keuntungannya banyak. Kemudian membeli barang yang laku dijual di Mekkah. Setelah merampungkan bisnisnya, mereka pulang menaiki untanya.
Maisara terkesan dengan cara dagangnya itu yang kemudian diceritakan kepada majikannya. Laporan bisnis yang disampaikan Muhammad juga mengesankannya.
Tertarik dengan Muhammad
Lama-lama Khadijah tertarik dengan Muhammad. Diceritakannya itu kepada saudaranya, Nufaisa binti Munya. Nufaisa kemudian menemui Muhammad. ”Kenapa kamua tidak segera kawin,” tanyanya.
”Aku tidak punya harta untuk persiapan perkawinan,” jawabnya.
”Kalau itu disediakan dan yang melamarmu itu cantik, berharta, terhormat, tidakkah akan kau terima?”
”Siapa itu?”
”Khadijah,” jawab Nufaisa. ”Jika kamu setuju serahkan semua urusan kepadaku,” tambahnya.
Muhammad setuju. Maka kedua keluarga bertemu. Keluarga Khadijah diwakili pamannya Umar bin Asad sekaligus yang menikahkan dengan mahar 20 unta muda. Saat itu ayah Khadijah, Khuwailid, sudah meninggal saat perang Fijar.
Perkawinan yang Bahagia
Menurut Sirah Ibnu Hisyam, keluarga Muhammad diwakili Hamzah bin Abdul Muththalib yang diterima oleh ayah Khadijah, Khuwailid, sekaligus yang menikahkan Nabi Muhammad dengan mahar 20 sapi muda.
Berbahagialah pasangan ini dengan karunia perdagangan yang sukses. Muhammad pindah ke rumah istrinya. Khadijah kemudian melahirkan anak-anak Nabi seperti al-Qasim, ath-Thahir, ath-Thayyib, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kaltsum, dan Fatimah.
Tiga anak lelakinya meninggal dunia waktu masih kecil. Anak-anak wanita hidup hingga zaman Islam dan ikut hijrah ke Madinah.
Tentang umur Khadijah ketika menikah dengan Nabi berumur 40 tahun, ada yang berpendapat umur Khadijah waktu itu sekitar 29-30 tahun. Itu berdasarkan perhitungan Khadijah melahirkan tujuh anak dari Nabi.
Jika jarak antar anak dua tahun maka butuh waktu 14 tahun untuk hamil dan melahir anak berikutnya. Kalau menikah dimulai umur 40 tahun, dua anak terakhir dilahirkan ketika Khadijah sudah di atas umur 50 tahun berarti sudah masuk menopause.
Dalam Sirah Ibnu Hisyam disebutkan, Khadijah pernah bercerita kepada pamannya, Waraqah bin Naufal, yang mempelajari Injil tentang komentar pendeta Nasrani di Bushra seperti diceritakan Maisara.
Waraqah berkomentar, jika ini benar, sesungguhnya Muhammad adalah nabi untuk umat ini. ”Aku tahu persis, umat ini akan mempunyai nabi yang ditunggu kedatangannya dan sekarang telah tiba masanya kemunculan nabi itu.”
Tapi Waraqah dia mengingatkan, kalau waktunya itu datang, nabi itu akan ditentang dan dibenci kaumnya. Lantas dia berkata,”Hingga kapan masa penantian ini?”
Percaya Kenabian Suaminya
Ketika kehidupan pasangan ini sudah mapan dan bahagia, Muhammad sering menyepi, bertahanuf, ke Gua Hira, di pinggiran kota Mekkah. Hingga umur 40 tahun terjadi sesuatu di gua itu yang mengubah hidupnya menjadi penuh perjuangan.
Di malam bulan Ramadhan saat sedang tidur dia dibangunkan malaikat yang menyampaikan wahyu ayat pertama al-Quran dari surat al-Alaq ayat 1-5. Peristiwa ini membuatnya ketakutan hingga buru-buru pulang menjumpai istrinya dan meminta diselimuti.
Lalu diceritakan apa yang terjadi. Khadijah mendengarnya dan teringat apa yang dikatakan pamannya Waraqah. Setelah suaminya tidur, dia segera menemui pamannya dan menceritakan kejadian itu.
Waraqah langsung berkomentar,”Subhanallah, dia telah menerima namus akbar seperti pernah diterima Musa. Sungguh dia adalah nabi umat ini. Katakan kepadanya agar tabah. Karena setiap kedatangan nabi iakan ditentang dan dibenci kaumnya.”
Khadijah pulang menemui suaminya yang masih tidur. Tapi tiba-tiba terbangun dengan menggigil karena malaikat datang lagi membangunkannya. ”Ya ayyuhal mudatstsir, qum fa andzir wa rabbaka fa kabbir …” Surat Mudattsir (74).
Suaminya berkata, harus bangun untuk menyampaikan wahyu itu kepada manusia. Khadijah langsung menyatakan beriman kepada pesan wahyu itu dan membenarkan kenabiannya seperti cerita pamannya.
Khadijah setia mendampingi suaminya dan menghadapi cacian dan kebencian kaumnya. Hartanya diserahkan untuk biaya dakwah. Hingga terjadi tahun pemboikotan orang Quraisy yang membuat hidupnya dan kabilah Bani Hasyim sengsara. Semua orang dilarang berdagang dengan kabilah ini hingga kekuarangan makan. Di masa sulit yang berjalan tiga tahun itu Khadijah meninggal dunia. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto
Discussion about this post