PWMU.CO – Shalat Idul Adha di rumah! Jangan jadi kluster Covid-19. Hal itu disampaikan oleh Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Prof Dr H Syamsul Anwar MA.
Syamsul Anwar membahas itu dalam Pengajian Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dengan tema Idul Adha di Masa Pandemi Covid-19 via aplikasi Zoom, Jumat (10/7/2020)
Agama Memberi Rahmat
Menurut Syamsul Anwar agama itu diturunkan untuk memberi rahmat. Sesuai firman Allah, wama arsalnaka illa rohmatan lil alamin. Ayat ini menurut ahli syariah diturunkan menjadi suatu apa yang disebut maqashidus syariah yaitu tujuan agama itu sendiri.
“Memberi rahmat diterjemahkan menjadi tujuan syariah, yaitu mewujudkan kemaslahatan. Ada banyak kemaslahatan berupa perlindungan terhadap keberagamaan kita, perlindungan jiwa raga, perlindungan terhadap akal, perlindungan terhadap institusi keluarga, perlindungan terhadap harta kekayaan yang kita miliki,” ujarnya.
“Dan secara lebih umum perlindungan terhadap keberekonomian kita dalam sehari-hari,” imbuhnya.
Syariah juga, lanjutnya, mempunyai norma-norma. Norma dalam Tarjih dirumuskan secara hierarkis sehingga menurut Tarjih ada norma yang berwujud nilai-nilai dasar agama.
“Nilai-nilai dasar pada intinya adalah ajaran universal Islam yang meliputi nilai teologis, etis, mapun teoritis syar’i. Nilai-nilai dasar teologis paling pokok adalah tauhid, dan turunanya. Nilai-nilai dasar etis mencakup akhlak karimah, akhlak karimah wujudnya juga banyak dalam maklumat terakhir Pimpinan Pusat. Ada nilai dasar misalnya tolong-menolong,” ungkapnya.
Mendahulukan yang Lebih Penting
Ada nilai dasar solidaritas, Nabi bersabda, almu’minu lil mu’mini kalbunyani yashudu ba’duhu ba’dan. Kemudian dari nilai-nilai itu lalu diturunkan asas-asas, termasuk, asas kemudahan, asas tidak menimbulkan mudharat, dan berbagai asas yang lain.
“Termasuk disebut Pak Haedar Nashir, taqdimul aham alal muhim atau mendahulukan yang lebih penting di antara yang penting,” katanya.
Jadi, sambungnya, agama Islam itu kaya dengan prinsip ajaran, kemudian jenjang yang selanjutmya atau jenjang lebih rinci, al-ahkamul far’iyyah atau ketentuan-ketentuan hukum detail. Ketentuan hukum detail yaitu al-ahkamu at taqlifiyah dan al ahkamu wathiyyah yaitu ketentuan-ketentuan norma yang mengatur berbagai kasus, misalnya, peraturan halal, haram, makruh, mubah, ada sebab, syarat, penghalang.
Maka, sambungnya, dalam memahami agama, Majelis Tarjih prinsipnya tidak hanya mempersoalkan ketentuan detail, tetapi juga memahami agama itu secara terpadu di antara norma, ketentuan detail dikaitkan dengan asas, dan asas dikaitkan dengan nilai-nilai dasar.
Ketentuan Agama saat Darurat
Inilah prinsip manhaj Tarjih dalam memutuskan beberapa hal termasuk hal ini adalah pelaksanaan ibadah selama masa darurat pandemi Covid-19 yang eskalasi grafiknya terus naik belum ada tanda-tanda menurun.
“Oleh karena itu di masa keadaan darurat, maka pelaksanaan agama akan ditentukan oleh keadaan demikian. Dulu dalam tuntunan shalat Idul Fitri pertanyaan terbesar kita adalah bagaimana pelaksanaan shslat Idul Fitri? Karena secara syar’i pelaksanaan Idul Fitri dilakukan di Lapangan. Karena Rasulullah mengerjakan shalat Idul Fitri di lapangan dengan berkumpul melibatkan sejumlah besar jamaah. Kalau dillihat dari segi MCCC, berkumpulnya orang dalam jumlah besar, maka menjadi pusat penyebaran Virus Corona. Dan kita sangat menjaga agar jangan sampai pelaksanaan ibadah dengan melibatkan orang banyak kemudian menjadi klaster penyebaran virus. Nah, itu harus kita hindari,” tuturnya.
Rukshah dalam Agama
Maka, timbul pertanyaan bagaimana kita melaksanakan shalat? Maka kita berijtihad, adapun dasar berijtihad yuridullahu bikumul yusr, Allah menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesukaran. Kemudian hadits nabi, la dharara wala dhirar, tidak ada perbuatan yang menimbulkan mudharat bagi diri sendiri dan bagi orang lain.
Dalam prinsip agama juga ada rukshoh, dengan mempertimbangkan keadaan, maka kita berpikir, supaya terhindar dari berkumpulnya dengan orang banyak, bagaimana sholat itu dibawa ke rumah.
Dalam tuntunan shalat Idul Fitri, bahwa shalat di rumah itu dapat dilakukan, dasarnya sebuah hadits yang dikutip dan disebutkan oleh Imam Bukhari, tapi tidak diriwayatkan. Jadi hadits yang disebutkan tapi tidak diriwayatkan berbunyi hada niduna ahlal Islam, ini adalah hari raya kita pemeluk agama islam, hadits ini disebutkan tapi tidak diriwayatkan, tetapi di tempat lain, yang intinya mempunyai kesamaan.
“Lalu bagaimana shalat hari raya di rumah kok dihubungkan dengan sabda nabi. Memang al-Bukhari tidak menjelaskan tafsirnya di situ, tetapi kita dapat menduga dan dapat memahami jalan pikirnya al-Bukhari bahwa dia mengemukakan hadits tersebut adalah dengan maksud, ini adalah hari raya kita, yang berarti hari raya umat Islam itu dirayakan dengan melaksanakan shalat. Kemudian Imam al-Bukhari mengutip sebuah hadits mauquf yang diriwayatkan Anas salah seorang sahabat nabi, yang tinggal jauh di kampung, dan jauh dari kota maka dia memerintahkan keluarganya shalat di rumah,” ucap pria kelahiran Kepri ini.
Dalam manhaj tarjih bahwa qaul sahabat itu tidak menjadi hujah. Majelis Tarjih menafsirkanya tidak menjadi hujah untuk mentetapkan suatu syariat, tetapi untuk melaksanakan satu syariat yang sudah tetap, itu tidak salah dipegangi. Jadi itulah dasarnya kita melaksanakan shalat id, baik shalat Idul Fitri lalu maupun shalat Idul Adha yang akan kita lakukan 31 Juli mendatang.
Menghindari Mudharat
Dipertanyakan lagi, Nabi tidak pernah shalat di rumah? Iya, karena nabi tidak pernah menghadapi suatu keadaan darurat seperti yang kita hadapi ini. Dalam penjelasan fatwa Majelis Tarjih sudah dijelaskan. Sesuatu itu yang tidak dilaksanakan oleh Nabi adakalanya merupakan sunah dan adakalanya tidak dilaksankanan itu adalah tidak sunnah.
“Bahwa nabi tidak pernah melakukan shalat Idul Adha di rumah, jadi tidak dilaksanakan itu bukan merupakan sunnah. Oleh karena itu untuk menghidarkan mudharat yang mungkin terjadi, dan menghindarkan mudharat itu diperintahkan. Seperti yang dikutip ayatnya oleh Pak Haedar, jangan kamu menjatuhkan dirimu dalam kebinasaan dan berbuat baiklah kamu sesungguhnya Allah mencintai orang yang berbuat baik,” jelasnya.
Dalam rangka menghindari terpaparnya Virus Corona, maka kita menghindari berkumpul dalam jumlah besar. Maka shalat kita pindahkan ke rumah. Dengan memindahkan shalat ke rumah tidak berarti kita menciptakan ibadah baru, kita hanya melaksanakan ibadah yang sudah ada. Cuma pelaksaanya biasanya di lapangan sekarang kita pindahkan ke rumah. Dalam fatwa Majelis Tarjih, kalau dilakukan di lapangan pun harus dalam jumlah kecil.
“Karena Idul Adha bertepatan dengan hari Jumat, maka juga untuk shalat Jumatnya dapat diganti dengan shalat Dzuhur. Jadi, fatwa yang dulu masih berlaku dengan alasan, eskalasi penyebaran Covid-19 belum menurun,” terangnya.
Alihkan Dana Kurban
Kemudian kurban, banyak respon terhadap fatwa Majelis Tarjih, bahwa dana kurban dialihkan untuk membantu orang yang sedang kesulitan karena suatu musibah. Ini bukan pertama kali tetapi adalah ketiga kali Pertama ketika terjadi tsunami di Aceh, kedua di Yogyakarta pada saat gempa dan erupsi Merapi. Sekarang kita juga mengeluarkan fatwa yang sama untuk membantu mereka yang terdampak Covid-19.
“Apa pertimbanganya Majelis Tarjih? Pertimbanganya kita kembali ke nilai-nilai dasar agama Islam sendiri. Nilai dasar pertama adalah tolong menolong, nilai dasar kedua solidaritas. Pertanyaan muncul lagi, kita punya dana mana yang lebih baik antara kurban dengan membantu. Karena kurban disyariatkan dan hukumnya sunnah muakadah. Misalnya, dalam sebuah PRM kurban 20 sapi, harganya Rp 20 juta, ketika di jumlah maka total Rp 400 juta. Ketika Rp 400 juta itu disembelih, daging dibagikan kepada kaya, miskin memperoleh, dalam dua hari daging itu habis.” paparnya.
Kemudian, mana yang bermanfaat daripada uang Rp 400 juta kita gunakan untuk membantu mereka yang sumber ekonominya terputus akibat Covid-19. Kalau kita mengacu kepada hadits, barangsiapa yang melepaskan seorang mukmin dari kesulitan di dunia maka Allah akan melepaskan dia di akhirat dari suatu kesulitan ukhrawi.
“Atas dasar itu dengan mempertimbangkan nilai dasar syariah, maka Majelis Tarjih memberi tuntunan. Di masa darurat Covid-19 tentu akan lebih bemanfaat, kalau uang itu diwujudkan dalam bentuk infak kepada orang terpapar ekonominya,” harapnya.
Sekarang kita berfikir di mana letak irfani kita, untuk memahami kondisi sehingga kita tidak hanya berpegang memahami aspek bayani. Jadi inilah pemikiran ketarjihan, tidak hanya memperhatikan hukum disunahkan menyembelih binatang tapi kita juga memperhatikan dasar syariah.
Shalat Idul Adha di rumah! Jangan jadi kluster Covid-19. Jaga diri, jaga keluarga dan jaga lingkungan sekitar kita. (*)
Penulis Faiz Rijal Izzuddin. Co-Editor Sugiran. Editor Mohammad Nurfatoni.