Tasawuf Sosial antara Dua Ekstrem ditulis oleh Syafiq A. Mughni, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah; Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya.
PWMU.CO – Dalam sejarah, tasawuf tidak hanya bersifat ritual (ubudiyyah), tetapi juga sosial (ijtima’iyyah). Dalam literatur abad-abad pertengahan, banyak sekali kisah para mutashawwif (pengamal tasawuf) yang sengaja hidup miskin, tidak bekerja mencari penghidupan, dan menggantungkan hidupnya pada pemberian orang.
Ada juga yang senang bepergian jauh tanpa bekal untuk menunjukkan kesungguhannya dalam bertawakkal kepada Allah.
Ada juga yang membiasakan diri dengan makanan yang paling tidak enak dan dengan pakaian yang kotor dan kumal; mereka juga membiasakan diri dengan puasa mutih (tidak makan yang berwarna) atau puasa pati geni (tanpa berbuka).
PraktIk hidup membujang juga bukan asing dalam tasawuf karena hidup berumah tangga akan mengganggu perhatiannya kepada Allah.
Godaan Iblis
Seorang ulama bernama Ibn al-Jawzi dalam kitabnya Talbis Iblis menyebutkan bahwa perilaku-perilaku seperti itu berkat keberhasilan godaan iblis terhadap para mutashawwifin. Dalam sejarah, mereka disebut dengan kelompok malamatiyyah (menyiksa diri).
Pengamal tasawuf ini bertolak belakang dengan pengamal tasawuf yang lain. Sebagai contoh, banyak murid (pengikut) dan bahkan juga mursyid (guru) tarekat yang bergelimang dalam mencari dunia.
Mereka terlibat konflik karena urusan partai politik yang ujungnya adalah gengsi, kekuasaan dan uang; mereka berlomba-lomba untuk mendekati kekuasaan untuk mendapatkan hasil duniawi; juga tega mengeksploitasi jamaah yang sebagian besanya adalah kaum dluafa dan mustadlafin. Mereka membiarkan ummatnya dalam kebodohan dan kegelapan agar mudah dieksploitasi.
Kombinasi watak sufi-politisi bisa mewujudkan manusia yang rakus dan eksploitatif. Inilah penganut tasawuf secara institusional tetapi anti-tasawuf secara moral
Tasawuf Moderat
Tasawuf dan anti-tasawuf yang sama-sama ekstrem itu telah menimbulkan malapetaka sosial, sehingga kita patut mempertimbangkan bangunan tasawuf sosial yang moderat (mutawassith atau wasathiyyah), yang identik dengan akhlak.
Tasawuf moderat itu merupakan jalan reform terhadap konsep dan praktik zuhd. Ia diartikan sebagai konsep yang mendorong Muslim agar berkerja keras untuk meraih kemajuan dunia melalui cara yang halal, menghindari yang syubhat apalagi yang haram, dan memanfaatkannya untuk kepentingan sosial.
Dengan zuhd, seseorang tidak diperbudak oleh harta, tetapi dia menjadikan harta itu sebagai alat untuk meraih ridla Allah SWT. Ia mensyukuri nikmat duniawiyah, dan syukur itu diwujudkan dalam bentuk pertolongan kepada orang lain dan untuk kemaslahan umum (mashlahah ammah).
Zuhd diletakkan dalam kerangka hidup sederhana, tidak berfoya-foya, mengutamakan orang lain, dan kemasalahatan umum.
Pemikiran Abu al-Fawa’ al-Taftazani—wafat 1995—pemimpin tarekat-tarekat di Mesir adalah contoh dari sikap ini. Bagi al-Taftazani, zuhd itu bukanlah kependetaan atau terputusnya kehidupan duniawi. Akan tetapi merupakan hikmah pemahaman yang membuat seseorang memiliki pandangan khusus terhadap kehidupan duniawi itu.
Mereka tetap bekerja dan berusaha, akan tetapi kehidupan duniawi itu tidak menguasai kecenderungan kalbunya dan tidak membuat mereka mengingkari Tuhannya.
At-Taftazani menyatakan bahwa zuhd adalah tidak bersyaratkan kemiskinan. Bahkan terkadang seorang itu kaya, tapi di saat yang sama dia pun zahid. Utsman bin Affan dan Abd al-Rahman ibn Auf adalah para hartawan, tapi keduanya adalah para zahid dengan harta yang mereka miliki.
Tasawuf Modern Hamka
Di Indonesia, Hamka memiliki pandangan yang sama, seperti yang ia tulis dalam bukunya Tasawuf Modern.
Di buku itu Hamka menyatakan perilaku zuhd adalah menerima kemiskinan sebagaimana menerima kekayaan. Menerima tidak beruang sepeserpun, menerima menjadi hartawan, namun harta itu tidak menjadikan seseorang melupakan Allah dan melalaikan kewajiban.
Zuhd tidak diartikan sebagai eksklusif dari kehidupan duniawi, sebab hal ini dilarang dalam Islam. Islam, kata Hamka, menganjurkan semangat berjuang, semangat berkorban dan bekerja serta menjauhi bermalas-malasan.
Selanjutnya, Hamka menyatakan zuhd adalah mencukupkan apa yang ada, sebagaimana menerima walaupun berlipat ganda, sebab itu adalah nikmat Allah. Dan tidak merasa kecewa bila jumlah itu berkurang, Sebab ia datang dari sana dan juga akan kembali ke sana.
Jika, kata Hamka, kekayaan datang dengan berlimpah ruah, kita harus tetap mengingat gunanya untuk menyokong iman, amal kebaikan, dan ibadah dan sebagai sarana untuk memperteguh dalam menyembah Allah.
Sebab semua itu adalah pemberian Allah, sehingga harus bermanfaat. Kekayaan adalah majazi, menumpahkan cinta yang berlebihan kepada harta benda menyebabkan kebutaan hati, sehingga hilanglah cinta sejati kepada Allah. Dan penyakit yang menimpa orang kaya adalah sifat bakhil dan boros. Yang akhirnya menyebabkan sifat royal, sombong dan takabur.
Kuasai, Jangan Dikuasai Harta
Selanjutnya Hamka juga mengingatkan bahwa kehidupan manusia jangan sampai dikuasai harta, justru sebaliknya manusia harus menguasai harta untuk dimanfaatkan dalam kebaikan dan diinfakkan secara proporsional.
Mengumpulkan harta tidak dilarang Islam (dengan mengambil kata hukana), karena harta dapat menjaga kehormatan, untuk menunaikan kewajiban, dan menghindarkan diri dari sifat meminta.
Di sekitar kita banyak sufi sosial yang moderat dan positif. Mereka telah mewakafkan kekayaannya untuk organisasi dengan ikhlas tanpa pamrih; mereka bertaruh nyawa karena menolong orang lain yang terncam jiwanya karena bencana alam.
Mereka bersikap santun dan anti-kekerasan; mereka rela berkorban untuk sebuah organisasi yang berjuang untuk menegakkan kalimah Allah tanpa berfikir akan mendapatkan apa dari organisasi; merekalah sufi yang sejati. (*)
Atas izin penerbit Hikmah Press Surabaya, tulisan berjudul Tasawuf Sosial dalam buku Mendekati Agama: Memahami dan Mengamalkan Islam dalam Ruang dan Waktu (2014) ini dimuat ulang oleh PWMU.CO.
Editor Mohammad Nurfatoni