Tasawuf dalam Kepemimpinan Politik ditulis oleh Syafiq A. Mughni, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah; Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya.
PWMU.CO – Etika atau akhlak merupakan hal sangat fundamental bagi seorang pemimpin. Oleh karena tasawuf sesungguhnya merupakan elaborasi dari akhlak. Maka tasawuf itu sendiri kemudian memberikan basis moral dan spiritual bagi seorang pemimpin.
Dalam al-Quran maupun hadits, istilah tasawuf belum muncul. Ia diperkirakan baru muncul setelah abad pertama hijriyah. Tetapi fenomena yang kemudian disebut tasawuf telah ada pada masa Nabi dan shahabat.
Fenomena semacam itu pada abad pertama hijriyah lebih dikenal dengan akhlak. Yakni ajaran atau sikap keagamaan yang mengedepankan kesederhanaan dan kecintaan terhadap Tuhan, dan dengan ihsan. Yaitu mengedepankan kedalaman spritualitas dalam ibadah.
Ketika ditanya tentang apa ihsan itu, Nabi menjawab, “Engkau beribadah seolah-oleh melihat Tuhan.” Pada masa selanjutnya sikap seperti itu berkembang dan dimiliki oleh orang-orang Islam, yang kemudian mereka disebut dengan nussak, ubbad, bukka, atau qurra’.
Berangkat dari fenomena dalam sejarah awal keagamaan itu, maka tasawuf diartikan sebegai perilaku kegamaan yang mengedepankan moralitas dan spiritualitas dalam kehidupan sehari-hari.
Dikotomi Tasawuf
Sekalipun berawal dari fenomena sikap keagamaan seperti itu, tasawuf kemudian berkembang dan mengalami diversifikasi, sehingga tasawuf itu dibagi menurut faktor yang berbeda-beda.
Umumnya pembagian itu bersifat dikotomis. Dari sudut praktikabilitasnya, ada tasawuf amali dan tasawuf falsafi. Dari sudut normatifnya, ada tasawuf sunni dan tasawuf bid’i.
Dari sudut afiliasi partisipannya, ada tasawuf (individual) dan tarekat (organized). Dari bermacam-macam tasawuf itu, tampaknya tasawuf amali dan individual yang paling relevan dengan persoalan kepemimpinan karena berfungsi dalam membangun etika politik.
Generasi pertama yang secara jelas disebut sufi hidup setelah abad pertama hijriyah. Masa itu ditandai dengan fenomena ekspansi wilayah. Kekuasaan Islam setahun setelah hijrah telah mencapai perbatasan Transoksiana. Dan pasukan Arab telah menaklukkan Lembah Indus dan telah menyberangi selat Gibraltar.
Perluasan itu tampaknya digambarkan sebagai prestasi ideal bagi setiap Muslim yang sungguh-sungguh. Sebagai reaksi terhadap kemajuan duniawi yang terus bertambah. Sebuah gerakan zuhud telah muncul, yang tokoh-tokohnya memperingatkan orang-orang beriman untuk tidak melupakan ancaman hari akhir.
Mereka juga memperingatkan untuk mengisi siang hari mereka dengan berpuasa dan malam harinya dengan shalat. Gerakan ini sangat lekat dengan nama Hasan al-Bashri. Dia seorang alim yang terkenal dengan perasaannya yang sangat mendalam akan tanggung jawab menyelamatkan jiwa orang-orang sejamannya.
Ia tidak pernah berhenti menegaskan tugas-tugas setiap Muslim: seluruh hidup harus dipersembahkan kepada Tuhan, Pencipta dan Pemelihara dunia yang setiap orang akan menemuinya pada hari hisab.
Barangkali relevan untuk menyebutkan bahwa ajaran-ajaran tentang zuhd, qana’ah, taubah, sabar, tawakual, syukr, ikhlas, ingat mati sangat relevan dengan kepemimpinan politik. Dengan sikap-sikap itu kita bisa menghindari terjadinya perilaku haus kekuasaan dan harta sehingga kita bisa menghindari krisis yang berkepanjangan.
Benteng Terakhir
Dalam situasi di mana sistem hukum belum tertata dengan sempurna dan law enforcement yang rendah, maka tasawuf menjadi benteng terakhir untuk mempertahankan kelangsungan hidup masyarakat.
Bahkan dengan hukum yang lengkap sekalipun dan sistem yang tertata dengan baik, tasawuf masih sangat diperlukan. Kita menyaksikan masyarakat modern yang tidak pernah lepas dari krisis karena tidak memiliki tasawuf dalam pengertian akhlak dan ihsan.
Masyarakat masih bisa berjalan dengan baik sekalipun dalam situasi di mana hukum masih sangat bersahaja asal moral dan etika ditegakkan. Oleh karena itu, dalam situasi apa pun, tasawuf tetap relevan untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dalam konteks kepemimpinan politik, barangkali ada sebuah nilai yang hampir tidak disinggung dalam khazanah tasawuf kita, yakni keadilan.
Nilai itu sesungguhnya merupakan hal yang sangat esensial. Namun demikian, kurangnya perhatian para sufi dikompensasi dengan banyaknya proposisi dalam khazanah pemikiran politik Islam.
Setiap membaca literatur politik Islam, khususnya yang berkaitan dengan kepemimpinan (imamah) hampir bisa dipastikan ditemukan pembahasan tentang syarat keadilan bagi pemimpin (imam).
Sebagai penutup, saya perlu menyimpulkan bahwa tasawuf telah menawarkan sejumlah nilai kebajikan yang perlu diadopsi oleh setiap pemimpin di negara kita.
Dalam idiom tasawuf, seorang pemimpin harus memiliki sikap zuhd, wara’, qana’ah, sabar dan tawakal, yang semuanya merupakan manifestasi ketaqwaan kepada Allah.
Mungkin dalam kehidupan nyata tidak ditemukan seorang pun yang memenuhi kriteria ideal itu, tetapi kewajiban kita ialah memilih pemimpin yang lebih mendekati sifat-sifat kebajikan itu.
Dengan demikian, bukan hanya pemimpin yang akan mendapatkan al-sa’adah tetapi juga rakyatnya. (*)
Atas izin penerbit Hikmah Press Surabaya, tulisan berjudul asli Tasawuf Kepemimpinan dalam buku Mendekati Agama: Memahami dan Mengamalkan Islam dalam Ruang dan Waktu (2014) ini dimuat ulang oleh PWMU.CO.