Abdul Karim Amrullah dan Kiai Dahlan Saling Menginspirasi, ditulis oleh M. Anwar Djaelani, aktivis dakwah yang produktif menulis.
PWMU.CO – Abdul Karim Amrullah (1879-1945) dan Ahmad Dahlan (1868-1923) seperguruan saat belajar di Mekkah. Meski tidak di waktu yang bersamaan, keduanya berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi di Masjid al-Haram.
Kala keduanya pulang ke Indonesia, mereka sama-sama menjadi pendidik dan ulama pembaharu yang berpengaruh serta saling menginspirasi.
Beda Pendapat dengan Ayah
Abdul Karim Amrullah lahir pada 10 Januari 1879 di Maninjau, Sumatera Barat. Saat kecil, diberi nama Muhammad Rasul. Di masa awal, dia belajar bahasa Arab ke ayahnya sendiri yaitu Syaikh Muhammad Amrullah yang saat itu dikenal sebagai Syaikh dari Tarekat Naqsyabandiyah.
Setelah itu dia belajar tafsir dan fikih kepada Sutan Muhammad Yusuf, salah satu tokoh agama di Sungai Rotan, Pariaman. Pada 1894—pada usia 15 tahun—Abdul Karim Amrullah ke Mekkah, berhaji dan tinggal di sana selama 7 tahun untuk belajar.
Dia berguru ke banyak ulama, termasuk ke Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, ulama dan Imam di Masjid al-Haram.
Pada 1901 Abdul Karim Amrullah pulang dan mengajar di Sungai Batang, Maninjau. Pengaruh sang guru—Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi—membuatnya menjadi orang yang kritis terhadap adat Minangkabau dan kepada tarekat-tarekat di Sumatera Barat, khususnya Tarekat Naqsyabandiyah.
Abdul Karim Amrullah mencoba meluruskan praktik tarekat yang menurutnya tidak ada dasarnya dalam Islam. Upaya dia tidak mudah. Pertama, dia harus menghadapi ulama-ulama yang tak lain adalah pengikut ayahnya sendiri, seorang Syaikh dari Tarekat Naqsyabandiyah. Kedua, ulama yang sepaham dengan dia tidak banyak.
Pertentangan paham antara anak dan ayah, tak terhindarkan. Meski demikian, Abdul Karim Amrullah tetap berusaha menjaga hubungan baik dan tetap berbakti kepada sang ayah. Sebaliknya, timbul rasa bangga pada si ayah ketika mengetahui kegigihan pendirian anaknya. Sang ayah bangga bahwa si anak menjadi seorang pemberani.
Beberapa tahun kemudian, Abdul Karim Amrullah kembali ke Mekkah untuk menimba ilmu lagi. Niat menambah ilmu kurang disepakati oleh sang guru, Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Alasannya, dia dinilai justru sudah layak menjadi guru. Pendapat tersebut dipegang oleh Abdul Karim Amrullah. Dia pun membuka “kelas” di rumahnya di Mekkah. Murid Abdul Karim Amrullah makin lama makin banyak.
Pada 1906 dia pulang ke Indonesia. Sebagaimana kepulangannya yang pertama, kali ini dia langsung melakukan kegiatan mengajar di Sungai Batang, Sumatera Barat. Oleh karena pikiran-pikiran pembaharuan Abdul Karim Amrullah dipandang “beda”, maka tak mengherankan jika banyak pihak yang menentangnya. Hal itu malah menyebabkan nama dia menjadi lebih cepat terkenal.
Selain dengan mengajar, untuk lebih mempercepat tersosialisasikannya gagasan-gagasannya, pada 1912 Abdul Karim Amrullah lalu bergabung dengan Syaikh Abdullah Ahmad untuk mengelola Majalah al-Munir. Itu, majalah Islam pertama di Indonesia yang diterbitkan kali pertama pada 1911.
Bertemu KH Ahmad Dahlan
Pada 1917 Abdul Karim Amrullah bersilaturahmi ke Ahmad Dahlan di Yogyakarta. Kedatangannya sebagai tamu diterima dengan gembira, termasuk oleh murid-murid Pendiri Muhammadiyah itu. Tiga hari sang tamu dijamu di Kauman Yogyakarta, tempat Ahmad Dahlan tinggal.
Abdul Karim Amrullah menyaksikan langsung bagaimana Ahmad Dahlan memimpin pengajian Muhammadiyah yang kala itu baru berumur lima tahun. Dia sangat bahagia melihat semangat Ahmad Dahlan. Terlihat, peti-peti bekas disulap menjadi bangku untuk belajar. Sempat pula dia melihat bagaimana Ahmad Dahlan mengajar agama Islam di sekolah modern Kweekschool Gouvernement, yang lalu menginspirasinya untuk diadopsi.
Di kesempatan kunjungan Abdul Karim Amrullah itu, Ahmad Dahlan meminta izin menyalin tulisan-tulisan sang sahabat di majalah al-Munir ke dalam bahasa Jawa untuk kemudian disebar-ajarkan kepada murid-muridnya.
Sebelumnya, Ahmad Dahlan memang salah seorang pembaca setia Majalah al-Munir. Dalam perjumpaan itu pula, Ahmad Dahlan mendengar langsung pengalaman Abdul Karim Amrullah mengajar di Sungai Batang, Maninjau sejak 1901.
Waktu bergerak. Abdul Karim Amrullah masih merasa belum cukup bila ide-idenya hanya disebarkan melalui forum-forum pengajian, ceramah-ceramah, dan tulisan-tulisan di al-Munir. Untuk itu dia—bersama sejumlah ulama lainnya—kemudian “meresmikan” Sumatera Thawalib, pada 1918. Sumatera Thawalib adalah sekolah Islam modern pertama di Indonesia.
Ruang-ruang kelas Sumatera Thawalib dilengkapi bangku dan kursi serupa suasana kelas seperti yang dilihat Abdul Karim Amrullah ketika Ahmad Dahlan mengajar agama Islam di Kweekschool Gouvernement di Yogyakarta. Artinya, kegiatan belajar-mengajarnya tidak lagi dengan model halaqah yaitu murid duduk bersila melingkari guru.
Dirikan PGAI
Dalam perjalanannya sebagai pendidik, banyak jasa Abdul Karim Amrullah. Termasuk, di saat mendirikan Persatuan Guru-guru Agama Islam (PGAI) bersama dengan Syaikh Abdullah Ahmad.
Dengan mengingat keberhasilannya di bidang pembaharuan dan di aspek pendidikan agama khususnya, kedua tokoh—yaitu Abdul Karim Amrullah dan Abdullah Ahmad—dianugerahi gelar Dr (HC) oleh Al-Azhar Kairo, Mesir pada 1926.
Prestasi itu sangat membanggakan karena tercatat sebagai orang Indonesia terawal yang memperoleh gelar doktor kehormatan dari universitas terkemuka dan tertua di dunia itu.
Sejak 1926, di samping aktif mengajar, Abdul Karim Amrullah juga mulai dikenal sebagai penulis buku-buku agama yang produktif. Kecuali itu, dia dikenal kritis kepada penjajah yang hukumnya tak adil dan peraturannya sewenang-wenang.
Kesemua aktivitas Abdul Karim Amrullah—terutama yang suka mengritisi penjajah—oleh Pemerintah Belanda dianggap sebagai sesuatu yang berbahaya bagi kelangsungan politik kolonialismenya. Maka, pada 1941 Abdul Karim Amrullah ditahan di Bukittinggi dan pada tahun yang sama dipindahkan ke Sukabumi Jawa Barat.
Jika kepada penjajah Belanda di berbagai kesempatan dia selalu melontarkan kecaman terhadap hukum dan peraturannya yang zalim, maka kepada penjajah Jepang dia tegas menolak keharusan membungkukkan badan ke arah timur laut untuk menghormati Tenno Haika. Menurut dia, bagi pemeluk Islam, tidak ada yang harus disembah selain Allah.
Abdul Karim Amrullah, di masa-masa akhir hidupnya, memilih tinggal di Jawa. Dia seringkali mengadakan pengajian-pengajian di Jakarta dan Sukabumi yang selalu dihadiri banyak jamaah.
Pada 02 Juni 1945 Abdul Karim Amrullah wafat dalam usia 66 tahun. Tentu banyak kebaikan yang bisa dikenang dari ayah Buya Hamka tersebut. Di antaranya, hubungan silaturrahminya dengan Ahmad Dahlan sebagai sahabat seperguruan telah membuahkan hasil yang manis di bidang pendidikan. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.
Tulisan Abdul Karim Amrullah dan Kiai Dahlan, Saling Menginspirasi ini adalah versi online Buletin Jumat Hanif edisi 46 Tahun ke-XXIV, 17 Juli 2020/25 Dzulqa’dah 1441 H. Hanif versi cetak sejak 17 April 2020 tidak terbit karena pandemi Covid-19 masih membahayakan mobilitas fisik.