PWMU.CO-Perang Mu’tah terjadi pada bulan Jumada Ula tahun ke-8 Hijriyah atau 630 M. Mu’tah adalah kawasan di wilayah Syam yang dikuasai bangsa Rumawi. Lokasinya di timur sungai Yordan dan Karak. Orang-orang Arab Syam yang Nashara berpihak kepada Rumawi.
Perang Mu’tah ini dipicu pembunuhan utusan Rasulullah al-Harits bin ‘Umair untuk mengirimkan surat kepada Gubernur Syam Hanits bin Abi Syamr Al-Ghassani pada tahun ke-8 H (628 M).
Utusan dicegat dan dibunuh di sekitar Mu’tah oleh Syurahbil bin Amr al-Ghasani, pemimpin kabilah Ghasan sekutu Rumawi. Tahun yang sama utusan kepada Banu Sulayman dan Dhat al Talh juga dibunuh di daerah Palestina.
Sirah Ibnu Hisyam menceritakan, Rasulullah saw mengirim pasukan ke Perang Mu’tah dan menunjuk anak angkatnya, Zaid bin Haritsah, sebagai panglima. ”Apabila Zaid gugur, panglima pasukan digantikan oleh Ja’far bin Abu Thalib. Apabila Ja’far bin Abu Thalib gugur, maka digantikan oleh Abdullah bin Rawahah,” pesan Nabi.
Pasukan muslim terbentuk berjumlah 3.000 personal. Sebelum berangkat, Abdullah bin Rawahah menghadap Rasulullah untuk mengucapkan salam perpisahan.
Setelah pasukan perang Mu’tah siap peralatan dan logistik, mereka berbaris. Keberangkatan pasukan dilepas oleh Rasulullah bersama semua warga Madinah hingga ke gerbang kota dengan derai air mata dan ucapan perpisahan. Panglima Zaid bin Haritsah berjalan memimpin di depan pasukannya.
Air Mata Perpisahan
Saat Abdullah bin Rawahah diberi ucapan selamat jalan oleh orang-orang yang melepas kepergian pasukan, ia menangis. Para sahabat bertanya,”Ya Ibnu Rawahah mengapa kamu menangis?”
Abdullah bin Rawahah menjawab,”Demi Allah, aku menangis bukan karena kecintaanku pada dunia atau kerinduanku pada kalian, namun karena aku pernah mendengar Rasulullah membaca al-Quran tentang neraka. Aku tidak tahu seperti apa nasib diriku setelah kematian.”
Dan tidak ada seorang pun dari kalian, melainkan mendatangi neraka tersebut; hal ini bagi Tuhanmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan (Maryam: 71).
Warga menyampai doa,”Semoga Allah menyertai, melindungi serta mengembalikan kalian kepada kami dalam keadaan selamat.”
Abdullah bin Rawahah menjawab, semoga damai tercurah kepada orang yang kutinggalkan di Madinah, sebaik-baik penjaga dan sahabat.
Kekuatan Pasukan Tak Imbang
Pasukan berangkat menuju utara. Mereka singgah di sebuah daerah bernama Ma’an sudah masuk wilayah Syam. Di tempat ini, Panglima Zaid menerima laporan dari mata-mata bahwa Panglima Rumawi Heraklius telah tiba di Ma’ab, sebuah daerah di Al-Balqa’.
Rumawi membawa seratus ribu tentara dari Rumawi dan seratus ribu tentara sekutu dari Kabilah Lakhm, Judzam, al-Yaqin, Bahra’, dan Baly yang dipimpin salah seorang dari Baly kemudian dari Irasyah yang bernama Malik bin Zafilah.
Pasukan muslimin tinggal di Ma’an selama dua malam untuk menyusun strategi perang melawan 200 ribu tentara. ”Kita harus mengirim surat kepada Rasulullah saw untuk memberitahukan jumlah kekuatan pasukan musuh, agar mengirim pasukan tambahan atau memerintahkan kita kembali pulang,” kata salah seorang komandan pasukan.
Abdullah bin Rawahah memotivasi mereka agar jangan mundur. ”Wahai kaum muslimin, demi Allah, sesungguhnya hal yang kalian takuti ini pada hakikatnya inilah yang kalian cari yaitu mati syahid. Kita tidak memerangi musuh karena jumlah kita banyak. Tapi, kita memerangi mereka dengan agama ini yang menjadikan kita dimuliakan oleh Allah. Berangkatlah, kalian akan memperoleh salah satu dari dua kebaikan: kemenangan atau mati syahid.”
Pasukan muslimin berkata dengan semangat,”Demi Allah, apa yang dikatakan Abdullah bin Rawahah adalah benar.” Maka pasukan muslimin pun berangkat ke medan perang. Ketika mereka tiba di perbatasan al-Balqa’, di Desa Masyarif, bertemu dengan pasukan Rumawi dan pasukan sekutu Arab yang siap berperang.
Tiga Panglima Gugur
Barisan kedua pasukan saling merapat, namun kaum Muslimin bergerak menuju daerah Mu’tah. Di sanalah, kedua pasukan berhadapan dalam perang Mu’tah ini.
Kaum muslimin menunjuk Quthbah bin Qatadah dari Bani Udzrah sebagai pemimpin pasukan sayap kanan. Sedangkan pasukan sayap kiri dipimpin oleh Ubayah bin Malik seorang sahabat dari kaum Anshar.
Perang Mu’tah pun pecah. Pasukan saling serang. Quthbah bin Qatadah Al-Udzri dari sayap kanan menyerang. Dia mewaskan komandan tentara musuh bernama Malik bin Zafilah.
Sementara Zaid bin Haritsah bertempur dengan memegang panji perang Rasulullah memimpin di depan. Hingga dia gugur terkena tikaman tombak musuh.
Panji perang diambil alih oleh Ja’far bin Abu Thalib sebagai panglima. Saat perang berkecamuk, Ja’far bin Abu Thalib turun dari kudanya dan menyembelih kudanya karena terluka. Dia bertempur habis-habisan menebaskan pedangnya sambil membawa panji perang.
Hingga tangan kanannya tersabet pedang kemudian ia memegang panji dengan tangan kiri. Tangan itu pun ditebas pedang musuh. Maka ia dekap panji itu dengan kedua lengannya. Namun pedang musuh menembus tubuhnya hingga ia pun gugur pada usia 33 tahun.
Mengetahui Ja’far gugur, Abdullah bin Rawahah cepat berganti memimpin pasukan dengan mengambil alih panji perang. Ia maju membawa bendera perang itu dengan mengendarai kuda memberi komando menyerang musuh.
Saat jeda perang dia dihampiri saudara sepupunya yang menyodorkan sepotong tulang berdaging. ”Makanlah daging ini agar badanmu tambah kuat. Hari-hari ini melelahkan.”
Abdullah bin Rawahah mengambil daging itu. Di saat menggigitnya, tiba-tiba mendengar suara serangan musuh datang. Ia langsung membuang daging dan mengambil pedangnya lalu bertempur hingga gugur sebagai syahid.
Muncul Panglima Baru
Panji perang diambil alih oleh Tsabit bin Arqam dari Bani Al-Ajlan. Ia berkata, ”Wahai kaum Muslimin, pilihlah salah seorang dari kalian untuk menjadi panglima pasukan.”
Pasukan muslimin berkata, ”Engkaulah panglima perang kami.” Tsabit bin Arqam berkata,”Aku tidak bersedia.”
Kemudian pasukan muslimin mengangkat Khalid bin Walid menjadi panglima pasukan. Khalid mengambil panji perang dan mengomando menyerang musuh. Setelah bertempur beberapa hari Khalid menarik pasukan mundur. Melihat sisa pasukannya yang tak imbang, dia memutuskan pulang.
Saat mendengar kepulangan pasukan kaum muslimin mendekati Madinah, Rasulullah dengan naik kuda menyambut bersama kaum muslimin, dan anak-anak sambil berlarian. Kabar duka kekalahan perang disambut isak tangis.
Kaum muslimin menaburkan tanah ke arah pasukan karena marah. Pasukan yang pulang ini dianggap melarikan diri dari perang meninggalkan sahabat-sahabat yang telah syahid. ”Wahai orang-orang yang lari, kalian lari dari jalan Allah.” Rasulullah menjelaskan,”Mereka tidak melarikan diri, namun akan balik kembali, insya Allah.”
Duka untuk Keluarga Ja’far
Setelah itu Rasulullah datang bertakziah ke rumah Ja’far. Istri Ja’far, Asma binti Umais belum mendengar kabar suaminya. Saat itu dia sibuk menyamak 40 kulit dan membuat adonan roti. Memandikan anak-anaknya dan meminyaki rambutnya sehingga tak sempat keluar.
Rasulullah berkata kepada Asma’,”Bawalah kemari anak-anak Ja’far.” Rasulullah mencium mereka satu persatu dengan air mata berlinang. Asma’ bertanya,”Rasulullah, apa yang membuatmu menangis? Apakah telah mendapat berita tentang Ja’far dan para sahabat?”
Rasulullah bercerita,”Mereka gugur pada hari ini.” Asma’ berdiri sambil menangis lalu berteriak menyebut nama suaminya hingga wanita-wanita mendatangi rumahnya. Lalu Rasulullah keluar rumah itu seraya berkata, ”Memasaklah makanan untuk keluarga Ja’far, sebab mereka berduka dengan kematian Ja’far.”
Perintah Khalid bin Walid mengakhiri kekalahan perang dengan pulang ke Madinah menjadi perdebatan penduduk. Ada yang menuduh pengecut karena takut mati. Ada yang menyatakan keputusan itu benar.
Tapi orang-orang masih mengejek pasukan itu penakut karena melarikan diri. Seperti diceritakan Ummu Salamah saat ia bertanya kepada menantunya, istri Salamah bin Hisyam bin Al-Ash. ”Kenapa aku tidak melihat Salamah ikut shalat berjamaah bersama Rasulullah dan para sahabatnya?”
Istri Salamah menjawab,”Ia tidak bisa keluar, sebab setiap kali keluar, orang-orang selalu mengejeknya, Hai orang-orang yang lari, kalian lari dari jalan Allah. Ia berdiam diri di rumah dan tidak berani keluar.”
Beberapa tahun kemudian Khalid bin Walid memimpin pasukan perang kembali ke Syam untuk menaklukan wilayah itu. Kali ini Allah memberi kemenangan. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto