PWMU.CO-Tafsir surat al Maun pernah disampaikan oleh KH Ahmad Dahlan kepada Mas Mansur ketika bertamu ke Kauman tahun 1916. Itu merupakan kunjungan kedua setelah dua tahun kepulangannya dari Universitas al-Azhar Kairo.
Kenangan itu ditulis Mas Mansur yang diterbitkan di Majalah Adil tahun 1938. Dia menceritakan, saya masih ingat kupasan KH Ahmad Dahlan yang sangat mengherankan. Yakni ketika menerangkan ayat al Ma’un aroaita aladzii yukadziibu biddiin… yang artinya, apakah engkau telah melihat orang-orang yang mendustakan agama.
”Untuk mengetahui sifat-sifat orang yang demikian ini marilah kita coba mengumpulkan ayat-ayat yang bersangkutan dengan itu. Apabila sudah dapat, apakah kita merasa pandai menetapkan sifat-sifat mereka,” kata Kiai Dahlan.
”Sering dalam menyelidiki hal ini kita menemui beberapa sifat yang bermacam-macam yang dapat menjadi perselisihan di antara kita. Apakah tidak lebih patut minta tahu saja kepada Tuhan tentang hal itu? Alhamdulillah sudah ada. Yaitu lanjutan ayat yang tadi fa dzalika aladzii yadu’ul yatim…itulah orang yang menyia-siakan anak yatim dan tiada memperhatikan akan makanan orang-orang miskin,” lanjutnya.
Apabila demikian saja, sambungnya, tentu banyak orang yang menyangkal atau menyatakan bahwa mereka tidak masuk golongan orang-orang yang mendustkan agama itu dengan alasan mereka sudah sembahyang setiap waktu. Akan tetapi Allah sudah tahu bahwa ini akan dijadikan alasan.
”Dari itu disambung ayat tadi fa wailul lilmusholiin aladziinahum an sholatihim sahuun aladziinahum yuroo’uun wa yamna’unal maa’uun. Maka neraka wail bagi orang yang sembahyang yang lupa akan sembahyangnya, mereka riya’, dan tiada mau menolong,” ujarnya meneruskan ayat al Ma’un.
Mas Mansur menulis, demikian itulah sedikit contoh dari cara-cara beliau menerangkan tafsir surat al Maun dan Quran. Tentang ketuhanan, Kiai Dahlan kembali kepada pendapat salaf dan beliau tiada suka mendalam-dalamkan hal itu. Rupanya beliau mengerti bahwa soal ketuhanan itu luas tiada bertepi. Panjang tiada berujung. Apalagi Nabi sudah melarang memikirkannya dalam-dalam.
Tafsir Muhammad Abduh
Beliau sangat peramah dan pengasih serta suka menghormati orang. Dalam menegakkan agama pernah beliau menghabiskan semua uangnya, hingga sampai kepada perkakas-perkakas rumah. Sebab beliau yakin bahwa nanti akan diganti jua oleh Tuhan yang Pengasih dan Penyayang.
Waktu itu, kata Mas Mansur, beliau unjukkan kepada saya tafsir juz Amma karangan Syeikh Muhammad Abdu. Kemudian beliau bertanya,”Apakah engkau setuju karangan Muhammad Abduh ini? Saya tanyakan hal ini sebab saya tahu bahwa kebanyakan penuntut-penuntut (mahasiswa, maksudnya) Azhar tak suka padanya.”
Jawab saya, meskipun saya penuntut dari Azhar, saya terlepas dari paham yang terikat mengungkung. Akan tetapi ada juga keterangan Muhammad Abduh yang tidak sesuai dengan saya.
Kiai heran dan meminta contoh tafsir ayat yang tak sesuai. Lalu saya beri contoh yakni ayat wa ammassaa’ila fala tanhar. Saya kurang sesuai dengan sa’il diartinya orang yang menanya. Saya sesuai dengan keterangan ulama lain bahwa sa’il itu ialah orang yang meminta. Meminta boleh diartikan meminta barang atau meminta tahu (bertanya).
Rupanya Kiai Dahlan senang sekali mengupas keterangan-keterangan tafsir. Sesudah sering bertemu dan bergaul barulah saya ketahui pendiriannya. Yaitu setiap hal yang berkaitan dengan ibadah dikembalikan kepada nash agama. Tidak boleh dikurangi dan tidak boleh dilebihi.
Ada pun selain dari soal ibadah berpedoman kepada maslahat dan mudharatnya. Orang yang begini ini hendaklah tahu benar akan keadaan tempat dan masa. (*)
Editor Sugeng Purwanto