Mengenang Imam Munawwir Ustadz Gaul Multitalenta oleh Nadjib Hamid, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur.
PWMU.CO – Suatu malam, pada awal 1986, saya dan beberapa santri “Ma’had Ali lil Fiqhi wad Dakwah”, ngobrol santai di teras masjid Manarul Islam, Bangil. Tidak lama kemudian seorang ustadz keluar dari kamar, ikut nimbrung dan melontarkan masalah-masalah aktual saat itu.
Disertai gelak tawa, tak terasa cangkrukan berlangsung hingga pukul 12 malam. Paginya, sang ustadz mengajarkan ilmu kewiraswastaan. Momen serupa, terulang setiap kali ia datang di ma’had.
Itulah gambaran sepenggal tentang sosok ustadz gaul multi-talenta, Imam Munawwir. Dosen yang seniman, merangkap mubaligh sekaligus penulis yang menghasilkan puluhan buku dan artikel di media massa, itu wafat pada 6 September 2014.
Putra KH Faurunnama, kelahiran Blitar, 12 April 1947, ini sehar-hari mengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah (Unmuh) Jember, dan sebulan sekali di Ma’had yang dipimpin Ustadz Mu’ammal Hamidy.
Produktif Berdakwah Lisan-Tulisan
Di luar kegiatan sebagai dosen, Dekan Fakultas Ekonomi periode 1992-1998, itu rajin memberikan ceramah di daerah-daerah, baik dalam pengajian umum, khutbah Jumat, maupun khutbah Id.
Di antara buku yang telah terbit: Menggali Jiwa Wiraswasta dalam Islam; Asas-Asas Kepemimpinan dalam Islam; Ukhuwah Islamiyah; Salah Paham terhadap al-Quran; Sikap Islam Terhadap Kekerasan, Toleransi, Damai dan Solidaritas; Metode-Metode Penelitian Sosial.
Ada juga Motivasi Islam dalam Hidup Dinamis; Kreatif dan Berjiwa Besar; Pendekar dan Pemikir Islam; Posisi Islam di Tengah Pertentangan Antar Ideologi; Mengapa Umat Islam Dilanda Perpecahan; Kebangkitan Islam dan Tantangan-Tantangan yang Dihadapi dari Masa ke Masa; Serial Eksiklopedi Seni Dakwah Gaya Gaul; Menumbuhkan Sikap Percaya Diri.
Ceramah dan tulisan-tulisannya komunikatif, enak didengar dan dibaca. Ciri khas dari pidato dan tulisannya, selalu mengunakan kosa kata yang mirip bunyi dan maknanya, seperti memilih dan memilah, sejalin dan sejalan, seiring dan searah, sejejer dan sejajar.
Kunci Keberhasilan
Tentu, kemampuan dan keberhasilan tersebut tidak diperoleh dengan mulus, tapi diasah sejak kecil dengan jalan yang mendaki.
Semasa usia SD hingga sekolah menengah atas, ia ditempa dalam lingkungan Pesantren Miftahul Ulum Jatinom, Blitar. Saat kuliah di Fakultas Ekonomi UII Yogyakarta, ia aktif dalam berbagai kegiatan organisasi ekstra kampus.
Dia pernah menjabat Ketua LDMI (Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam) HMI Cabang Yogyakarta (1968-1969), sekretaris Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (1972-1974), dan membantu pengembangan perpustakaan DDII (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia) Pusat (1975-1976).
Ketika bergabung dengan LPES di Jakarta, ia sempat shock menghadapi pergaulan kota megapolitan. Tapi kemudian tumbuh kepercayaan diri yang luar biasa, dan berhasil menaklukkan Jakarta.
Menurut suami Yun Yanuaria SH ini, salah satu kunci sukses selain kemauan yang kuat, adalah percaya diri. “Orang Jakarta, ilmunya lima ngomong-nya sepuluh. Sebaliknya orang Yogya, ilmunya sepuluh ngomong-nya lima,” ujarnya suatu ketika.
Pengalaman yang turut meningkatkan militansinya, terjadi sewaktu nyantri di al-Ma’had al-Islami Tuban, yang diasuh Kiai Mahbub Ikhsan. Aktivis ini sempat dikejar-kejar aparat keamanan dengan tuduhan sebagai pendukung gerakan Komando Jihad (Komji), yang popular pada sekitar tahun 1976.
Pada saat yang sama, beberapa kiai di Jawa Timur, termasuk Kiai Mahbub sudah dipenjarakan dengan tuduhan serupa tanpa proses pengadilan.
Pengalaman pahit juga dialami ketika awal menulis buku. Sebagai penulis pemula, setiap datang ke penerbit, selalu ditolak dengan alasan namanya belum popular. Tapi ia tidak patah arang. Kemauan kuatnya untuk menjadi penulis, mendorongnya terus berusaha. Setelah berhasil, akhirnya si penerbit yang justru mendatangi dia.
Sukses meraih apa yang diimpikan, tidak berarti mengubah gaya hidupnya. Alumni Program Pascasarjana UMM, itu tetap sederhana dan merakyat.
Pandai Bergaul
Juga dikenal pandai bergaul dengan siapa saja, termasuk dengan orang-orang yang saling berkonflik sekalipun tanpa ada kesan memihak. “Caranya, ketika bertemu salah satu pihak, hanya membicarakan hal-hal yang sejalan, tanpa menyinggung masalah yang tidak bisa bersepakat,” kata dia memberikan kiat.
Sekalipun secara struktural tidak masuk dalam jajaran pimpinan Muhammadiyah, ayah dari Yulivia Rojaul Fikria, Pretty Himmatun Nisa, dan Anton Rijal Fikar ini rajin mengikuti pengajian Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM). Terakhir, hadir dalam acara Syawalan di Kantor PDM Jember (Ahad, 10/8/2014) yang kebetulan saya penceramahnya.
Setelah tiga pekan tidak sempat berkomunikasi, tiba-tiba sekitar pukul 9.00 WIB (6/9/2014), saya menerima pesan pendek dari Mas Djoko Purwanto, anggota PDM Jember yang juga dosen Universitas Muhammadiyah Jember: “Pak Imam Munawwir pagi ini dirawat di rumah sakit.”
Belum sempat saya membalas SMS, karena sedang mengikuti acara pemberian penghargaan kepada tokoh-tokoh Muhammadiyah di UMM Dome, tepat pukul 11.35, Mas Joko menelepon bahwa ayah dari tiga anak itu telah dipanggil Allah SWT. Kita kehilangan lagi satu tokoh panutan.
Tentu, duka mendalam sangat dirasakan istri dan anak-anaknya. Oleh keluarga, almarhum dipandang sebagai ladang ilmu bagi generasi penerus. Sampai akhir hayatnya, tanpa pernah lelah, selalu menuangkan ilmunya dalam wujud buku dan artikel di media massa tentang hal-hal aktual yang terjadi di masyarakat.
Sebelum wafat, ia sempat mengutarakan obsesinya agar apa yang tertuang dalam tulisan-tulisannya menjadi oasis dan perekat umat.
“Dia bak sumber mata air ilmu yang tak pernah kering. Sehingga apa yang ditulis setiap Jumat di Radar Jember, senantiasa ditunggu masyarakat dari semua golongan tanpa pandang ras dan agama,” kesan sang istri sembari mendoakan, semoga pemikiran almarhum menjadi bagian dari amal shaleh. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.