PWMU.CO – Humor serius memberikan pesan mulus. Humor bukan sekadar pepesan kosong, tetapi bisa digunakan memuluskan informasi disampaikan Sugeng Winarno MA dalam Expert Sharing Session, Kamis (23/7/20).
Dosen Fisip Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dalam event diskusi daring yang diadakan oleh Prodi Ilmu Komunikasi ini menjelaskan humor adalah sesuatu hal yang sangat serius. Dalam konteks komunikasi, humor diciptakan dari sesuatu yang panjang, berdasarkan riset, dan bisa menimbulkan efek yang serius.
Dalam talkshow live Youtube streaming Laboratorium Ilmu Komunikasi dengan tema Bagaimana Humor dan Kritik Satire yang Bermunculan pada Masa Pandemi ini Sugeng menuturkan humor ternyata memiliki fungsi yang tak sederhana.
“Dalam konteks komunikasi, kehadiran humor bisa memuluskan penyampaian informasi. Pesan yang dikemas melalui humor biasanya lebih mudah diterima oleh penerima pesan dan prosesnya harus pas, tidak too much,” ujarnya.
Dalam diskusi berdurasi 90 menit ini dia menjelaskan dari dasar itulah mengapa humor ini sebenarnya adalah sesuatu yang serius karena ia memiliki fungsi yang penting dalam interaksi.
Identitas Kultural Suatu Daerah
Dosen Ilmu Komunikasi yang juga menjabat sebagai Kepala Humas UMM mengungkapkan humor juga melekat pada identitas kultural suatu daerah. Sugeng mencontohkan seorang profesor komunikasi pernah meminta mahasiswanya untuk menyajikan humor khas dari daerahnya.
Dari penugasan tersebut, lanjutnya, ternyata terkumpul 100 humor yang berbeda dari berbagai daerah. Hal ini menunjukkan bahwa lokalitas humor bisa dimanfaatkan untuk menyampaikan pesan-pesan komunikasi dengan pendekatan kearifan lokal.
“Pesan akan lebih mudah dipahami karena komunikan atau penerima pesan daerah setempat familiar akan humor tersebut,” jelasnya.
Humor yang disajikan Kartolo, pelawak Jawa Timur, paparnya, mengandung pesan, baik kritik atau imbauan. Sajian Kartolo, menurutnya, lebih mudah diterima warga Jawa Timuran dari pada provinsi lain. Hal ini disebabkan unsur lokalitas humor Kartolo yang sangat Jawa Timur.
Pandemi, Humor Satire Sering Muncul
Sugeng mengamati banyak sekali humor dan kritik satire yang muncul saat pandemi Covid-19. Misalnya saja istilah lockdown yang dipelesetkan menjadi lauk daun.
Fenomena Youtuber Ucup Klaten yang viral dengan Mbah Minto-nya, dan sosok-sosok entertainer baru lainnya menunjukkan bahwa humor sebenarnya bisa membangun optimism dalam situasi pandemi.
“Terbukti, meski kondisnya menyedihkan, namun masyarakat masih bisa tertawa dan menertawakan kondisinya,” katanya.
Dari mana asal istilah humor? Sugeng menjelaskan humor muncul dari bahasa latin umor artinya carian. Pada dasarnya manusia memiliki empat cairan yang berbeda-beda kadarnya dalam tubuhnya.
Keempat cairan itu adalah darah, lendir, empedu kuning, empedu hitam. Cairan darah mengarah ke kebahagiaan, lendir mengarah pada ketenangan, empedu kuning kemarahan, dan empedu hitam pada kedukaan.
Humor, sambungnya, diyakini muncul sejak adanya bahasa. Ia tumbuh melalui simbol-simbol dan pesan komunikasi. Humor bisa multifungsi, tak sekedar menghibur, humor juga bisa menjadi sarana untuk mengkritik. Masih ingat stand up comedy Bintang Emon yang mendapat sorotan publik.
“Humor sebenarnya adalah bagian dari demokrasi sebab humor bisa menjadi perantara dari penyampai aspirasi,” ujarnya.
Seorang komedi Amerika pernah mengatakan, “If everything goes well you have nothing funny (humor sebenarnya muncul dari sesuatu yang tidak ideal, bersumber dari kegelisahan masyarakat).”
Sugeng memberikan contoh, dulu di era Gus Dur, Bagito Grup pernah diminta untuk terus mengkritik pemerintah melalui humor-humor yang dibawakan. “Kritik tersebut adalah bagian dari demokrasi, penyeimbang kebijakan pemerintah,” tandasnya.
Seorang komunikator atau penyampai pesan, pesannya, harus memperhatikan siapa audiensnya. Humor untuk audiens yang homogen tentu berbeda dengan humor untuk audiens yang heterogen.
Misalnya menyajikan lelucon di depan anggota dewan versus di depan penonton pasar malam yang heteregon tentu berbeda. (*)
Penulis Maharina Novi. Co-Editor Ichwan Arif. Editor Mohammad Nurfatoni.