Vaksin, Nasionalisme, dan Komunisme Baru, ditulis oleh Dhimam Abror Djuraid, wartawan senior tinggal di Surabaya.
PWMU.CO – Perburuan untuk menemukan vaksin anti Covid 19 sekarang menjadi perhatian luas di seluruh dunia. Semua negara sedang berburu melawan waktu untuk menemukan vaksin itu.
Ini adalah race against time, berpacu melawan waktu. Seiring dengan belum terkendalinya penyebaran Covid 19 perhatian sekarang difokuskan bagaimana secepat mungkin menemukan vaksin penangkal.
Indonesia ikut masuk ke ‘lintasan balapan’ itu dengan bergabung bersama perusahaan farmasi China, Sinovac yang sudah mengirim sampel ke Indonesia untuk diuji coba secara klinis terhadap manusia.
Perburuan Vaksin
Di seluruh dunia perburuan tengah berlangsung. Di Amerika perusahaan biotek Moderna, yang bekerja sama lembaga pemerintah, berada di garis depan untuk menemukan vaksin. Ada juga Inovio Pharmaceutical yang juga memasuki tahap penting penelitian.
Selain itu ada raksasa farmasi Pfizer yang bekerja sama dengan perusahaan Jerman BionTech untuk proyek penemuan vaksin.
Di Inggris Universitas Oxford berada di garda depan penelitian ujicoba vaksin. Di Jepang, Univeritas Osaka mempunyai enam jenis vaksin yang kemungkinan bisa memberikan imunitas menghadapi Covid 19.
Secara klinis uji coba itu membutuhkan ketelitian tinggi dan waktu yang panjang. Beberapa vaksin terkenal yang pernah ditemukan membutuhkan waktu bertahun-tahun dan bahkan lebih sepuluh tahun untuk bisa dipastikan manjur dan aman untuk manusia. Vaksin polio, campak, dan cacar, membutuhkan waktu bertahun-tahun sebelum diproduksi massal ke publik.
Perburuan vaksin anti Covid 19 ini bukan sekadar klinis, tapi sudah menjadi proyek politik yang mempertaruhkan gengsi internasional. Banyak politisi dan kepala negara yang mengklaim vaksin akan ditemukan sebelum akhir tahun. Donald Trump termasuk di dalamnya.
Amerika Vs China
Persaingan Amerika dengan China dalam perang dingin versi baru ini memaksa dua negara itu ekstra ngebut untuk menjadi yang terdepan dalam menemukan vaksin. Para ilmuwan didorong untuk melakukan quantum leap, lompatan besar, untuk segera menemukan vaksin.
Trump pasti tidak mau kesalip China. Tapi Pemimpin China Xi Jinpin juga tidak akan mau begitu saja mengalah kepada Amerika. Siapa yang lebih dulu menemukan vaksin dialah yang mendapat status prestisius di geopolitik internasional.
Para politisi di manapun, termasuk Indonesia, tentu menginginkan jalan pintas. Tapi para peneliti tidak boleh menyerah kepada tekanan politik. Uji klinis tahap tiga terhadap manusia harus benar-benar teliti dan melibatkan ribuan relawan.
Moderna di Amerika melakukan uji klinis dengan sampling berbagai macam relawan mulai dari kelompok usia, kulit putih, kulit hitam, latino, dan juga Asia. Beda usia akan beda efek vaksin, beda genetika akan beda pula efeknya.
Indonesia juga tidak bisa gegabah dengan mengambil jalan pintas apa pun. Di China populasi relatif homogen dan tidak banyak variasi. Sangat kontras dengan Indonesia yang terdiri dari puluhan suku yang berbeda-beda. Karena itu uji coba klinis harus melibatkan sampling yang lebih besar.
Jangan Remehkan China
Di percaturan dunia farmasi dan biomedik internasional China tidak dikenal sebagai pemain besar. Perusahaan Sinovac dan Cansino Biological, yang menjadi andalan China, sampai sejauh ini masih kalah dibanding raksasa-raksasa farmasi dan biomedik Eropa dan Amerika.
Tetapi, China tidak bisa diremehkan begitu saja. Fakta bahwa virus Covid 19 kali pertama ditemukan di China memberi keuntungan bagi China untuk memahami virus itu dengan lebih baik. Keberhasilan China menangani pandemi itu secara cekatan menunjukkan bahwa kebijakan kesehatan di China sudah sangat kokoh.
Pejabat-pejabat China mungkin pada tertawa ketika Trump menyarankan suntik cairan deterjen untuk menangkal Covid 19. Pejabat-pejabat Beijing sekarang tertawa geli melihat Trump belajar pakai masker.
Beberapa hari yang lalu China juga baru saja meluncurkan satelit ruang angkasa Long March yang akan mengeksplorasi Planet Mars. Ini menunjukkan kemajuan teknologi China sudah bisa melampaui negara-negara besar seperti Amerika dan Rusia. Karena itu, dalam bidang farmasi pun China bisa membuat kejutan.
Rusia sendiri terlihat tenang-tenang saja. Ketika negara-negara lain pada sibuk berpacu, diam-diam agen-agen intelijen Rusia sudah mendapatkan formula anti-vaksin itu. Negara-negara Barat menuduh Rusia mencuri formula itu dari mereka, tapi tuduhan ini dibantah oleh Rusia.
Mengapa Impor Sinovac?
Kemunculan Sinovac di Indonesia memicu reaksi minor. Banyak pertanyaan muncul mengapa harus mengimpor vaksin dari China? Mengapa tidak melakukan penelitian sendiri, toh di Indonesia banyak ahli-ahli yang mumpuni.
Sekarang ini pun sejumlah ahli dari FK Unair sedang melakukan uji coba klinis obat hasil temuan sendiri terhadap sejumlah prajurit yang terpapar Covid 19 di Secapa Bandung dengan progres yang sangat menggembirakan.
Ini memang beda dengan vaksin. Tapi, apapun, temuan obat ini akan menjadi terobosan luar biasa karena selama ini obat-obatan yang dipakai hanya bersifat spekulatif, seperti hidroklorikuin yang selalu dipakai Trump, atau remdesivir yang lebih cocok untuk virus Ebola.
Indonesia pernah punya pengalaman kurang menyenangkan dalam hal pandemi. Ketika muncul kasus flu burung pada 2004, Menteri Kesehatan Siti Fadhilah ketika itu, memrotes keras organisasi kesehatan dunia WHO yang dituduhnya membajak riset vaksin flu burung Indonesia.
Ketika itu WHO meminta Indonesia menyetorkan hasil sampel vaksin, tapi, kata Fadhilah, sampel itu diserahkan ke perusahaan farmasi rekanan WHO dan diproduksi masal untuk diperjualbelikan komersial termasuk ke Indonesia.
Ihwal ketidakadilan ini memang bukan hal baru. Inilah ketimpangan yang tidak adil yang selalu menguntungkan negara maju dan menyengsarakan negara berkembang.
Obat anti-AIDS sampai sekarang tidak bisa diproduksi masal dengan harga murah, sehingga tidak bisa dijangkau oleh penderita AIDS di negara-negara miskin Afrika yang jumlahnya belasan juta. Magic Johnson bisa bertahan hidup 30 tahun dengan AIDS, tapi puluhan orang Afrika mati tiap hari karena penyakit ganas itu.
Covid 19 adalah pandemi global yang menumbuhkan nasionalisme baru yang cenderung chauvinistik. Alih-alih melakukan kerja sama internasional semua negara malah mementingkan dirinya sendiri.
Bahkan kalau vaksin ditemukan pun pasti akan diproduksi untuk pasar dalam negeri. Perdagangan bebas global tidak berlaku, dan banyak negara, termasuk Indonesia, menangkap warganya yang mengekspor masker ke luar negeri.
Komunisme Baru
Kampiun perdagangan bebas Amerika dan negara-negara Eropa sudah mengeluarkan aturan baru yang melarang pengambil-alihan perusahaan farmasi oleh orang asing. Tentu saja yang dimaksud adalah China.
Negara-negara kapitalis liberal itu sekarang bertindak seperti negara sosialis, kalau bukan komunis, untuk mencampuri urusan perusahaan swasta dan bahkan tidak segan-segan mengintervensi dan mengambil alih.
Globalisasi gagal menghasilkan kerja sama internasional untuk menghadapi pandemi ini. Ibarat kapal besar yang sedang dilanda badai hebat, para penumpang bukannya saling bekerja sama untuk menyelamatkan kapal, tapi malah sibuk masuk ke kamarnya masing dan menambali bocor-bocor di lantainya. Mereka pikir akan selamat di kamarnya ketika kapal tenggelam. Bahkan para penumpang sudah tidak percaya kepada nakhoda kapal.
Bagaimana menyelamatkan kapal ini? Filosof Slavoj Zizek mengusulkan masyarakat global kembali kepada komunisme. Bukan komunisme berwajah kapitalisme ala China atau komunisme wajah baru ala Rusia, tapi komunisme baru dalam artian tindakan komunal-global bersama-sama menghadapi pandemi. Masyarakat global harus bekerja sama menyatukan kekuatan untuk mengalahkan Covid 19.
Pandemi ini adalah musuh yang tidak kelihatan, “the invisible enemy“, yang terlalu berbahaya jika perlawanannya hanya diserahkan kepada “the invisible hand” kapitalisme. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.