Pak Lardi, Perginya Profesor Substansial Ditulis oleh Prof Syamsul Arifin, Guru Besar Sosiologi Agama Program Studi Pendidikan Agama Islam, Fakultas Agama Islam; Wakil Rektor I Bidang Akademik dan Pengembangan AIK UMM.
PWMU.CO – Rabu (22/7/2020) saya baru ingat beberapa jam kemudian, kalau sehari sebelumnya berikirim pesan melalui WhatsApp: tidak bisa hadir. Hingga sekitar setengah jam acara berlangsung, Pak Lardi—sapaan akrab Dr Sulardi SH MSi—belum hadir. Pun demikian setelah acara selesai.
Tiga hari sebelumnya, Ahad pagi (19/7/2020), di lapangan tenis outdoor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), dari lapangan bagian timur, terlihat Pak Lardi meninggalkan lapangan bagian barat atau yang sering disebut lapangan utama, setelah bermain hanya sekali saja.
Tidak biasanya seperti itu. Biasanya bermain hingga tiga kali game. Beberapa kali bermain dengan saya, terkadang sebagai kawan, tetapi lebih banyak sebagai lawan.
Saya beberapa kali dibuat tidak berdaya dengan arah bola keras yang melewati sisi kiri saya. Pukulan forehand dia, jika berada pada sisi kanan, meluncur keras ke arah lawan.
Saya bersikap sportif. Jika gagal mengembalikan bolanya, saya menghadiahi acungan jempol. Tidak hanya forehand yang berefek bola meluncur keras, terkadang pukulan slice Pak Lardi beberapa kali mengecoh saya, kendati saya berupaya lari kencang mengejar bola yang berputar dan berbelok indah ke arah kiri jika dilihat dari arah Pak Lardi.
Bila lawan terpedaya dengan pukulannya, beliau bersorak seraya mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. Meskipun berpostur tidak begitu tinggi, pukulan smash Pak Lardi bisa menghujam keras dari atas. Di lapangan tenis, beliau adalah pemain cerdik dan jenaka.
Dugaan Saya Salah
Hanya bermain sebentar, pada Ahad itu, saya mengira Pak Lardi sedang tidak fit. Dugaan saya salah. Pak Lardi tidak sakit. Begitu juga alasan ketidakhadirannya pada acara Rabu itu. Pada waktu yang bersamaan Pak Lardi menjadi nara sumber dalam webinar, Rembug Nasional: Ancaman Kebebasan Sipil dan Sumber Daya Alam.
Pada webinar itu, Pak Lardi mengulas topik pemilu, pilkada, dan politik oligarki bersama tiga nara sumber lainnya. Dua di antara ketiganya cukup dikenal publik, yaitu Haris Azhar (penggiat HAM) dan Zainal Arifin Muchtar (akademisi UGM dan penggiat anti-korupsi).
Undangan Akreditasi Unggul dan Internasional Program Studi dengan Peringkat Akreditasi A, yang dikirim via WhatsApp kepada Pak Lardi pada Selasa, dijawab begini:
“Terima kasih Prof.” Lalu Pak Lardi mengirim flyer webinar itu, disertai kalimat begini, “Bersama waktunya Prof,” pertanda Pak Lardi yang diundang dalam kapasitasnya sebagai Asisten Khusus Rektor Bidang Pengembangan Akademik UMM, tidak bisa hadir. Sayangnya saya lupa dengan WhatsApp Pak Lardi itu sehingga sempat berharap bisa hadir pada acara Rabu itu.
Ketidakhadiran Pak Lardi pada acara itu saya ceritakan kepada Dokter Tommy—sapaan akrab dr Thontowi Djauhari NS MKes, dosen Fakultas Kedokteran dan salah satu Wakil Direktur di Rumah Sakit UMM.
Karena tidak pernah mendengar ihwal histori penyakit Pak Lardi, saya terkejut mendapat kabar penurunan kesehatan Pak Lardi yang terjadi begitu mendadak dan cepat.
Cerita tentang Pak Lardi mulai dari paragraf pertama itu dalam Catatan Harian kali ini, sengaja saya ceritakan secara runtut kepada Dokter Tommy, sekadar memastikan kesaksian saya terhadap kesehatan Pak Lardi, namun cepat menurun sejak di ruang Unit Gawat Darurat (UGD), Rabu sore, hingga kabar duka pada hari Sabtu (25/7/2020), sekitar pukul 10.00 pagi, yang juga dikabarkan Dokter Tommy.
Prolifik: Profesor Substansial
Saya dan beberapa kawan di kantor mengalami keterkejutan (shock) secara mendadak. Air mata tidak tertahan.
Hampir semua orang yang bekerja di UMM mengenal Pak Lardi, bukan semata-mata karena tergolong senior di UMM jika dihitung sejak 1 Februari 1990 sebagai awal menjadi dosen tetap di Fakultas Hukum. Hingga kemudian dipercaya sebagai Asisten Khusus Rektor Bidang Pengembangan Akademik, posisi terakhir di UMM setelah sebelumnya menjadi dekan di Fakultas Hukum tahun 2013-2017. Tetapi karena jejak kebajikannya, di samping karena tampilannya yang unik secara ‘apa adanya.
Saya lebih mengenal Pak Lardi dan belajar darinya, di samping karena sebagai dosen, juga karena produktivitasnya dalam menulis. Jika mengirim artikel yang baru dimuat di koran tertentu, saya meresponsnya dengan ungkapan pendek, tetapi memiliki kedalaman makna, ‘Prolifik!’ tulis saya via WhatsApp, jawaban kepada Pak Lardi.
Tidak semua orang bisa diberi atribut prolifik sebab artinya adalah produktif. Pak Lardi adalah penulis prolifik. Artikelnya beberapa kali termuat di Kompas, sering pula di Jawa Pos. Yang paling sering di Koran Tempo.
Tulisannya di Kompas, 16 Agustus 2017, Profesor Substansial, mendapat apresiasi sejumlah kalangan, termasuk dari Pak Malik Fadjar. Bahkan artikelnya di harian Duta, 16 Agustus 2019, Aku Malu Menjadi Dosen di Indonesia, viral di berbagai media sosial, termasuk ada di daftar trending topic Google.
Tidak hanya menulis dengan genre populer yang bisa dikunyah bahkan oleh kalangan awam, belia juga menulis di beberapa jurnal ilmiah terindeks Scopus, yang selalu diteruskan ke saya via WhatsApp.
Mendapat unggahan artikelnya itu, saya menjawab begini, “Great! Modal utama menuju Profesor.” Beberapa kali Pak Lardi bercerita tentang rencananya ingin merengkuh jabatan fungsional paling puncak sebagai akademisi di UMM, yakni profesor. Profesor ‘yang sesungguhnya’, bukan sekadar ‘profesor substansial’ seperti ditulisnya di Kompas.
“Berkasku sudah di Mbak Atik, Prof,” ceritanya suatu hari di lapangan tenis. Berkas yang dimaksud adalah semua dokumen persyaratan sebagai profesor. Sedang Mbak Atik yang dimaksud adalah staf di Biro Hukum dan Kepegawaian UMM. Rupanya hanya tinggal beberapa tahapan lagi, Pak Lardi bisa merengkuh profesor atau guru besar.
Akademisi Bereputasi
Tulisan Pak Lardi di koran-koran nasional ternama, juga artikelnya di jurnal bereputasi adalah penanda, Pak Lardi akademisi bereputasi.
Wajar kalau beliau terlibat dalam berbagai aktivitas seperti menjadi Wakil Ketua Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Juga diundang di berbagai forum seminar nasional, termasuk beberapa webinar selama pandemi.
Dengan capaiannya itu, Pak Lardi bisa memenuhi metafora yang pernah saya buat dan dituangkan di Catatan Harian saya pada 2016.
Dalam tulisan bertajuk Memindahkan Aquarium, saya bercerita tentang permintaan saya kepada staf agar memindahkan aquarium di ruang kerja saya. Staf terheran-heran karena aquarium sudah berada di ruangan itu dalam waktu yang lama, bertahun-tahun.
“Saya tidak menyukai filosofinya,” jelas saya kepada staf.
“Ikan di aquarium itu seperti kita di UMM yang hanya berenang di UMM, bukan di laut lepas, bahkan samudera,” saya menambahkan.
“Kita ingin terutama dosen-dosen UMM, berenang di laut, bahkan samudera,” saya menambahkan.
Pak Lardi adalah ikan yang tidak hanya pandai berenang di aquarium, tetapi di laut lepas.
Melintas Batas
Ibarat ikan yang berenang bebas, dia sepertinya tidak puas dengan penguasaannya di bidang hukum tata negara yang telah lama ditekuni.
Belakangan, Pak Lardi terlihat mengalami transformasi religiusitas yang melintasi batas. “Nanti kalau setelah pandemi, kalau ke Yogya, kita Subuhan di Masjid Jogokariyan,” ajaknya suatu saat.
Beberapa kali Pak Lardi mengenakan peci batik khas Masjid Jogokariyan, Yogya, sebagai salah satu penanda transformasi religiusitasnya itu.
Pernah pula terlontar selorohannya, “Aku iki muridnya Gus Baha lho.” KH Ahmad Bahauddin Nursalim, sapaan akrab Gus Baha, mungkin sudah lama diikuti pengajiannya oleh Pak Lardi sehingga secara berseloroh menyebut dirinya sebagai santri Gus Baha, setidaknya santri virtual.
Karena itu, Pak Larti terlihat begitu bergairah (excited) mendapatkan kesempatan bertemu dengan Gus Baha secara fisik di Rembang beberapa hari yang lalu. Tidak cukup sekali. Perjumpaan pertama adalah ketika menyampaikan rencana UMM menggelar Ngaji Bareng dengan Gus Baha, yang kemudian disusul dengan pelaksanaan acara yang fenomenal karena ditonton ribuan orang secara virtual, 14 Juli yang lalu, dan Pak Lardi menjadi bagian penting di dalamnya.
Sebenarnya bukan karena telah menjadi ‘santri’ Gus Baha itu kalau kawan-kawan berseloroh kepada Pak Lardi ketika pada suatu pagi membawa makanan ke lapangan tenis, “Santri Gus Baha memang harus banyak memberi, bukan menerima.”
“Ha ha ha, termasuk memberi kemenangan kepada lawan,” jawab Pak Lardi jenaka.
Di lapangan tenis, Pak Lardi dirindu karena antara lain masakan yang sering dibawa ke lapangan tenis. Kalau bukan kacang rebus yang dibawa, terkadang pula pisang rebus dan singkong goreng, yang direbus dan digoreng sendiri. Kebiasan itulah yang menjadi seloroh kawan-kawan itu.
Sosok Jenaka
Pak Lardi dikenang bukan hanya karena kebiasan memberinya itu, tetapi juga kejenakaannya. Tidak hanya di panggung amatir stand up comedy yang terkadang menjadi unjuk kejenakaannya yang mengundang tawa seperti bisa dinikmati pada tautan ini: https://youtu.be/WZcA1MXC4w8, tetapi juga pada beberapa forum di kampus, termasuk di lapangan tenis.
Di lapangan tenis, Pak Lardi terkadang menang dan kalah dengan cara jenaka. Karena salah satu keunikannya inilah, Pak Lardi betul-betul menikmati lapangan tenis sebagai ‘ruang ketiga’ atau the third place, konsep ciptaan sosiolog perkotaan, Ray Oldenburg.
Kantor adalah ‘ruang kedua’ (the second place). Di ruang ini antara lain terdapat hirarki: antara ‘atasan’ dan ‘bawahan’ terlihat perbedaannya. Tetapi di ruang komunitas, seperti area olah raga, sebagai ruang ketiga, hirarki terdekonstruksi.
Di lapangan tenis, sekadar contoh, posisi rektor atau wakil rektor, misalnya, terdekonstruksi secara temporer. Pak Lardi secara jenaka sering mengalahkan Pak Rektor, apalagi saya yang masih baru memulai, atau the beginner. Kalau toh terkadang Pak Lardi bisa saya kalahkan, berikutnya selorohnya, “Sama pimpinan tidak boleh menang, harus ngalah.”
Jejak Kebajikan
Di Masjid AR Fachruddin, selepas shalat Dhuhur (Sabtu, 25/7/2020), di hadapan jamaah yang sebagian dosen dan karyawan UMM, saya antara lain mengatakan, “Saya menjadi salah satu saksi bukan saja terhadap kebaikan, tetapi juga kebajikan yang telah diperbuat oleh almarhum.”
“Pak Lardi meninggalkan kita dalam usia yang relatif muda. Kita perlu meneladani kebajikan yang telah ditinggalkan, setidaknya selama mendedikasikan dirinya sebagai akademisi di UMM,” tambah saya.
“Prof, Pak Lardi orang baik. Empat pasang sepatu tenis yang saya miliki, diberi Pak Lardi,” cerita seorang staf yang sudah pensiun, jelang shalat Dhuhur di Masjid AR Fachruddin, pada Sabtu itu.
“Saya juga beberapa kali diajak makan bersama kalau Pak Lardi dapat insentif penulisan artikel dari kampus,” masih cerita staf yang sama.
Kita semua menjadi saksi atas kebajikan yang diperbuat Pak Lardi. Seturut namanya, Sulardi, begitulah kesehariannya.
Pada salah satu sumber populer yang tersedia di internet, terdapat penjelasan tentang arti nama Sulardi. “Menurut studi numerologi, nama Sulardi mempunyai kepribadian ekspresif, mudah berbicara, bersosialisasi, seni dan menikmati hidup,” jelas sumber yang saya dapatkan di internet.
Begitulah! Seturut namamya, Pak Lardi memang ekspresif, pandai berkawan, dan yang terpenting dapat menikmati hidup sehingga selalu terlihat ceria dan bahagia.
Beliau telah pergi dengan bahagia. Selamat jalan Pak Lardi, profesor substansial. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.