Doa Menyembelih Kurban ditulis oleh Ustadz Muhammad Hidayatulloh, Pengasuh Kajian Tafsir al-Quran Yayasan Ma’had Islami (Yamais), Masjid al-Huda Berbek, Waru, Sidoarjo.
PWMU.CO – Kajian kali ini berangkat dari hadist riwayat Ibnu Majah, sebagai berikut:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ ضَحَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عِيدٍ بِكَبْشَيْنِ فَقَالَ حِينَ وَجَّهَهُمَا إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنْ الْمُشْرِكِينَ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ اللَّهُمَّ مِنْكَ وَلَكَ عَنْ مُحَمَّدٍ وَأُمَّتِهِ. رواه أبن ماجه
Dari Jabir bin Abdullah dia berkata, “Rasulullah SAW menyembelih dua ekor kambing kurban pada waktu Idul Kurban.
Saat menghadapkan keduanya beliau mengucapkan: ‘Sesungguhnya Aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah. Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah). Ya Allah (ini adalah) dari-Mu dan untuk-Mu, dari Muhammad dan umatnya.’.”
Kurban Panggilan Takwa
Sebagaimana dalam hadits di atas Rasulullah ketika menyembelih hewan kurban mengucapkan ‘Inni wajjahtu sampai akhir hadits Allahumma minka wa laka ‘an Muhammadin wa ummatihi.”
Dalam hal ini menunjukkan bahwa berkurban adalah sebagai suatu kesadaran akan posisi seorang hamba pada tuhannya.
Oleh karena itu kurban itu dilandasi jiwa dan semangat tauhid. Sehingga dilarang berkurban karena faktor kesyirikan atau menganggap ada yang membutuhkan kurban selain Allah SWT.
Kurban adalah sikap ketundukan (islam) kepada Allah Tuhan Yang Maha Pencipta langit dan bumi dan semua yang ada pada keduanya. Esensi dari kurban pada saat Idul Adha adalah wujud ketakwaan kepada Allah untuk siap berbagi kebahagiaan kepada sesama.
Bukan malah berkurban untuk persembahan mitos-mitos yang berkembang di masyarakat yang cenderung mubadzir atau sia-sia.
Allah berfirman:
لَن يَنَالَ ٱللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَآؤُهَا وَلَٰكِن يَنَالُهُ ٱلتَّقْوَىٰ مِنكُمْ ۚ كَذَٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا۟ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمْ ۗ وَبَشِّرِ ٱلْمُحْسِنِينَ
Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik. (al Hajj: 37)
Tujuan Hidup
Kehidupan ini hanya memiliki satu tujuan, sedangkan tujuan lainnya merupakan penunjang bagi satu tujuan tersebut. Sehingga muara tujuannya adalah tetap yaitu menuju satu tujuan itu.
Satu-satunya tujuan itu adalah mengabdi kepada Allah. Tentu yang dinamakan mengabdi di dalamnya sudah mengandung keikhlasan dalam menjalankannya.
Sebagaimana Allah berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (adz-Dzariyat: 56).
Sehingga semua aktivitas kita ini adalah dalam rangka pengabdian kepada Allah bukan kepada lainnya. Baik di mulai dari niat kita, proses pelaksanaannya, sampai pada tujuan akhir dari semua aktifitas tersebut adalah dalam rangka pengabdian itu.
Misalnya ketika ketika hendak menuntut ilmu, maka mulai niatnya juga proses dalam rangka menuntut ilmu sampai pada jenjang puncaknya sekaligus pada saat mengimplementasikannya adalah wujud ibadah kepada Allah, sehingga tendensinya tiada lain adalah karena Allah SWT.
Hal ini menjadi penting agar mendapat perhatian, sehingga kita tidak salah alamat atau tujuan dalam menjalankan aktivitas kehidupan ini. Karena salah alamat menyebabkan kita tidak mendapat balasan dari sisi-Nya.
Doa ketika Menyembelih Kurban
Banyak riwayat yang menjelaskan apa yang seharusnya dibaca ketika menyembelih kurban, di antaranya adalah dalam teks hadits di atas.
Dalam riwayat yang lain yang bersumber dari Ibunda Aisyah RA yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:
بِاسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ
Dengan menyebut nama Allah, ya Allah terimalah dari Muhammad dan keluarga Muhammad dan dari umat Muhammad.
Dalam riwayat yang lain yang bersumber dari Jabir bin ‘Abdullah RA yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi:
بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ هَذَا عَنِّي وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِي
Dengan menyebut nama Allah, Allah Maha Besar, Ini dariku dan dari siapa yang tidak (mampu) berkurban dari umatku
Riwayat sebagaimana tersebut adalah apa yang beliau ucapkan ketikan menyembelih hewan kurban, sedangkan untuk saat ini kalimat tersebut menjadi:
بِاسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ – فلان و آل فلان –
Dengan menyebut nama Allah, Allah Maha Besar, Ya Allah terimalah dari fulan dan kelurga fulan—sesuai dengan nama yang berkurban.
Empati Rasulullah pada Umatnya
Rasulullah sangat berempati kepada umatnya yang tidak mampu berkurban dengan mengatasnamakan umatnya saat menyembelih hewan kurban.
Sehingga semua umat beliau yang tidak mampu sudah diwakili beliau untuk berkurban, hal ini agar umat beliau tidak merasa sedih ketika memang tidak diberi kemampuan untuk berkurban.
Akan tetapi sisi lain Rasulullah mengancam kepada umatnya yang mampu berkurban kemudian tidak mau berkurban, sebagaimana sabda beliau:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا”. أخرجه ابن ماجه والحاكم
Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa memiliki keluasaan (untuk berkorban) namun tidak berkorban, maka janganlah ia mendekati tempat shalat kami. (HR Ibnu Majah dan al Hakim).
Dengan hujjah hadits tersebut makadi antara para ulama berpendapat bahwa berkurban itu wajib bagi yang mampu. Wallahu a’lam. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.