Kisah Dick Hoyt Berkorban untuk Anak ditulis oleh Ali Murtadlo, jurnalis, sebagai refleksi Idul Kurban.
PWMU.CO– The greatest sacrifice is when you sacrifice your own happiness for the sake of someone else.
Pengorbanan tertinggi adalah ketika kamu mengorbankan kebahagiaanmu demi kebahagiaan orang lain.
(Carrie Whetzel)
Selalu ada pahlawan keluarga di antara kita. Mungkin ibu yang luar biasa. Diberi uang gaji bapak berapa pun bisa mengelolanya. Zaman dulu belum ikut KB. Banyak anak banyak rezeki. Ternyata terbukti. Uang gaji itu bisa memutar-mutar, mencukup-cukupkan kebutuhan.
Ada saja yang dilakukan untuk menghasilkan uang tambahan agar dapur terus mengebul. Kadang membuat kue untuk rapat-rapat kantor dan Dharma Wanita, kadang menjual hasil kebun dan kelapa, dan kadang dapurnya menyuplai hajatan tetangga.
Atau bapak yang luar biasa. Pulang kantor masih berkebun. Menanam apa saja. Ya sayur ya buah. Untuk kebutuhan sendiri. Bahkan sebagian lainnya dijual. Malam harinya, masih mengetik. Menyusun soal ujian atau apa saja yang bisa menambah pendapatan.
Atau kakak sulung kita. Rela tak kuliah. Asal adiknya bisa bersekolah. Dialah yang memberikan wawasan agar adik-adiknya lebih maju. Dia bekerja keras agar adik-adiknya bisa meneruskan sekolah setinggi-tingginya. Bahkan, saat berlibur diajaknya ke kota, dikelilingkan ke perguruan tinggi ternama agar adindanya punya mimpi tinggi supaya kelak bisa memasukinya.
Atau saudara kita mengalah untuk merawat orang tua yang sudah sepuh karena menganggap lebih longgar waktunya. Mengalah agar kakak dan adik-adiknya bisa bekerja sepenuhnya. Mengalahkan kehidupannya sendiri yang kadang mengorbankan begitu banyak hal. Luar biasa.
Kisah Dick Hoyt
Untuk keluarga, kita sudah berkorban apa? Inilah satu contoh yang dahsyat luar biasa. Cobalah google superdaddy Dick Hoyt, namanya akan muncul baik berupa teks maupun video. Tak hanya satu, banyak sekali. Memang prestasinya luar biasa. Dia sudah mengikuti ribuan triatlon dan maraton.
Apa yang luar biasa? Lomba-lomba itu bukan untuk dia. Tapi, untuk sang anak, Rick Hoyt, yang different-able. Menderita cerebral palsy. Saat lahir, otaknya kekurangan oksigen.
Ayahnya begitu terketuk ketika anaknya di usia 15 tahun menulis begini di komputernya. ”Jika aku ikut lari, aku seperti merasa tidak punya kekurangan apa pun dalam tubuhku.”
Ayahnya tersentuh. Pada umur 40 tahun, usia yang sangat terlambat untuk menjadi atlet, ia giat berlatih. Demi sang anak, militaryman ini, selalu mengikuti berbagai lomba. Ribuan kali. Dia menjadi superdaddy.
Videonya sungguh touchy. Menyentuh sekali. Silakan meng-kliknya. Bagaimana seorang ayah lomba berenang tapi punggungnya menarik perahu kecil anaknya menyeberangi selat.
Lalu, menaiki sepeda yang didesain khusus untuk membonceng anaknya di depannya. Kemudian, lari sambil mendorong kereta anaknya. Penonton yang bersorak membuat The Team Hoyt semangat. Sang junior juga mengangkat-angkat tangannnya. Dalam keterbatasannya.
Di situlah superdaddy memperoleh kebahagiaan tertingginya. Ayah teladan yang benar-benar langka. Saya berkaca-kaca setiap kali melihatnya. Dick Hoyt adalah contoh kisah kurban di antara keluarga yang luar biasa.
Seperti Ibrahim as terhadap Ismail as contoh yang lebih luar biasa. Kuncinya satu: satajiduni insya Allah minas shabirin. Lakukan, insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk golongan orang yang sabar. As Shaffat: 102
Kita berkorban apa untuk keluarga? Apa pun perannya, mari kita lakukan dengan satajiduni insya Allah minas shabirin. Aku sabar melakukannya. Aku ikhlas melakukannya. Sebagaimana keikhlasan tingkat tinggi Ibrahim dan Ismail memenuhi perintah Tuhannya. Salam!
Editor Sugeng Purwanto