Deviasi Dakwah Muhammadiyah dan Idul Adha oleh Taufiqur Rohman, aktivis Muhammadiyah Banyuwangi.
PWMU.CO– Identitas Muhammadiyah adalah gerakan dakwah amar makruf nahi munkar. Gerakan mengajak masyarakat berbuat makruf dan mencegah kemungkaran.
Mengenalkan risalah Islam sebagai rahmatan lil alamin. Ajaran Islam yang merahmati seluruh alam. Islam mengayomi semua umat manusia. Islam menghadirkan kemudahan dan kemajuan dalam kehidupan.
Karakteristik dakwah Muhammadiyah yang lebih khusus adalah peneguhan prinsip ketauhidan. Islam yang ar ruju ila quran wa sunnah. Menyampaikan ajaran Islam merujuk kepada al-Quran dan Sunah. Tidak terkontaminasi pandangan kepercayaan tahayul dan tradisi sesat.
Keberhasilan dakwah membutuhkan kesolidan semua personal organisasi. Di semua level mulai pucuk pimpinan hingga kader-kader di akar rumput punya pandangan yang sama dan gerak dalam kesatuan langkah.
Contoh ciri kesolidan ini misalnya, keputusan pimpinan pusat langsung dijalankan oleh struktur di bawahnya. Tidak ada tawar menawar. Itulah rantai komando yang berjalan efektif. Bahasa agamanya sami’na wa atho’na. Kami dengar dan kami taat. Bukan sami’na wa ashoina. Kami dengar dan kami abaikan.
Dalam masa wabah corona ini, kesolidan dakwah Muhammadiyah mendapat ujian. Rantai komando ada yang terputus berbelok arah. Keputusan pimpinan pusat tentang menyikapi pandemi tak dijalankan sepenuh hati. Bahkan ada yang menolak.
Penolakan Fatwa Tarjih
Fatwa Tarjih menyerukan agar menutup masjid dan shalat berjamaah di rumah. Termasuk shalat Jumat, Idul Fitri, dan Idul Adha. Sekolah sementara pakai online, jangan tatap muka. Fakta di lapangan tak semua pimpinan daerah, cabang, ranting, dan amal usaha menjalankan. Dengan berbagai alasan.
Kelonggaran yang dibolehkan buka untuk daerah zona hijau dari covid, tapi kader di zona merah pun menerabasnya. Dengan dalih, dakwah jangan takut dengan covid. Tak berjamaah di masjid terasa kurang afdhol.
Termasuk memasuki Idul Adha tahun 2020 ini. Masih banyak spanduk pengumuman shalat Id di lapangan. Seruan menyalurkan dana kurban ke Lazismu hanya menjadi wacana. Program Lazismu yang mengolah daging kurban jadi Kornetmu dan Rendangmu masih belum menarik hati.
Warga masih ingin menyembelih sendiri. Nyunah sesuai anjuran Nabi, dalilnya. Menikmati pengalaman spiritual berkurban inilah yang menjadi hambatan kenapa seruan Fatwa Tarjih tidak jalan sepenuhnya.
Menyerahkan kurban ke lembaga yang menyembelih di pabrik pengolahan daging terasa kurang afdhol karena tidak menyaksikan sendiri. Model kurban begini kurang memberi kepuasan kebutuhan spiritual.
Begitu juga fatwa mengalihkan uang kurban untuk menangani dampak wabah covid-19 tak banyak diikuti. Padahal yang membahas fatwa ini ahli-ahli fikih Muhammadiyah. Ternyata para kader di bawah mempunyai dalil sendiri.
Deviasi Dakwah
Kondisi ini bisa disebut deviasi dakwah di kalangan akar rumput. Deviasi bermakna penyimpangan. Sungguh ironi jika dalam gerakan dakwah persyarikatan terjadi penyimpangan di antara kadernya. Padahal menyikapi wabah corona dibutuhkan pandangan dan gerakan yang sama agar dakwah mencapai sasarannya.
Realitas di lapangan jumlah pasien covid-19 masih tinggi. Jakarta, Surabaya, dan Bandung masih jadi zona merah yang menjadi titik penularan tertinggi. Situasi ini tak menyadarkan kader untuk memahami bagaimana seharusnya menyikapi covid sesuai protokol kesehatan.
Deviasi dakwah terjadi salah satu penyebabnya budaya egaliter yang tercipta di Muhammadiyah. Tak ada tradisi patron client. Semua kader punya kebebasan berpendapat. Bahkan mendebat dan berbeda pandangan dengan pimpinan dan ustadznya. Tak ada jarak dan hirarki sosial di antara kader.
Budaya ini membawa konsekuensi semua kader boleh berpendapat. Dalam konteks fatwa, semua orang boleh berijtihad sesuai dengan pemahamannya. Bahkan demi kepentingannya. Hanya kader yang mempunyai kesadaran berorganisasi yang mau memperhatikan dan menghormati keputusan pimpinan.
Kondisi berbeda dalam organisasi yang punya budaya patron client. Kiai sebagai patron ditempatkan oleh client atau warganya pada posisi terhormat sebagai orang berilmu. Jamaahnya merasa sebagai fakir ilmu yang harus mendengar fatwa kiai.
Masyarakat patronase mempunyai adab taklim muta’allim. Bahwa tutur kata kiai pantang didebat. Santri dilarang banyak bertanya. Melanggar kiai bakal kuwalat karena melawan karomahnya. Dengan tradisi begini fatwa organisasi bisa berjalan efektif.
Tradisi Muhammadiyah tak mengenal karomah dan kuwalat. Karena Muhammadiyah mengajarkan cara berpikir rasional. Jargon terkenalnya kan membasmi TBC. Tahayul, Bid’ah, dan Churafat. Ternyata paham ini dalam praktiknya justru berbalik menghantam rantai komando organisasi. Menolak fatwa pimpinan tak bakal mendatangkan kuwalat.
Jadikan Topik Diskusi
Survei Lembaga Kajian Strategis dan Pembangunan (LKSP) telah menempatkan Muhammadiyah sebagai lembaga yang paling peduli tangani dampak covid di masyarakat. Lewat kegiatan bakti sosial dan peran RS Muhammadiyah-Aisyiyah.
Hasil survei itu merupakan penghargaan masyarakat terhadap kinerja dakwah Muhammadiyah dalam menangani wabah corona lewat kerja relawan MCCC. Namun menjadi ironi, Fatwa Tarjih tentang darurat covid yang harus didakwahkan ke masyarakat tidak dijalankan sepenuhnya oleh kader. Keadaan ini bisa mereduksi prestasi yang telah dicapai ini.
Konsolidasi organisasi harus terus dilakukan untuk memahamkan etika berorgansasi terutama menghormati keputusan pimpinan. Kebanggaan ber-Muhammadiyah harus disertai dengan penghormatan kepada para pimpinan dan keputusannya.
Berbeda pendapat itu biasa tapi ketika pimpinan sudah memutuskan maka jamaah harus konsekuen menerima dan menjalankannya meskipun tidak sependapat.
Meskipun terlibat dalam Muhammadiyah itu panggilan sosial, tanpa gaji, bukan berarti bisa menjalankan organisasi menurut kemauan sendiri. Kader harus dipahamkan lagi aturan main berorganisasi.
Masalah deviasi dakwah ini harus disampaikan terus kepada para kader dalam setiap pengajian, training pengaderan, dan diskusi untuk mencegah tak terulang lagi.
Sejak awal watak Muhammadiyah adalah melawan arus. Menembus benteng tradisi. Melawan arus kejumudan untuk menuju Islam yang berkemajuan. Masalah deviasi dakwah ini jangan sampai justru menjadi perlawanan arus kader terhadap kejumudan organisasi. (*)
Editor Sugeng Purwanto