Memaknai Idul Adha ditulis oleh Ustadz Muhammad Hidayatulloh, Pengasuh Kajian Tafsir al-Quran Yayasan Ma’had Islami (Yamais), Masjid al-Huda Berbek, Waru, Sidoarjo.
PWMU.CO – Kajian kali ini berangkat dari hadist riwayat Muslim, Abu Daud, dan Tirmidzi, sebagai berikut:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ , قَالَ : ” نَحَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ الْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ “
Dari sahabat Jabir berkata, “Kami berqurban bersama Nabi SAW di Hudaibiyah, satu unta untuk tujuh orang, satu sapi untuk tujuh orang.“
Makna Idul Adha
Idul adha yaitu al ‘iidul kabiiru alladzi yahtafilu bihilmuslimuuna yaumal ‘aasyiri min dzil hijjah yakni hari raya besar yang dirayakan oleh kaum muslimin pada tanggal 10 Dzulhijjah. Al-adha sendiri bermakna mengalirkan darah atau menyembelih.
Haflah atau perayaan yang memang disyariatkan oleh Allah dan Rasulnya hanyalah Idul Fitri dan Idul Adha. Selebihnya tidak ada anjuran untuk melaksanakan perayaan-perayaan lainnya.
Dua perayaan ini dalam rangka memberikan kebahagiaan bagi kaum Muslimin, sekaligus sebagai syiar Islam yang dilaksanakan untuk seluruh umat Muslim di seluruh dunia.
Tiada amalan yang paling dicintai oleh Allah pada hari itu ialah menyembelih hewan kurban. Apa yang dikurbankan sesungguhnya merupakan sebagian dari anugerah yang Allah berikan kepada kita. Anugerah rezeki yang begitu besar maka sebagiannya saja yang harus kita keluarkan untuk kita kurbankan yang berupa kambing, sapi, atau onta.
Maka bagi mereka yang mampu menunaikan tetapi tidak melaksanakan Rasulullah menyindirnya, “Siapa yang mendapati dirinya dalam keadaan lapang, lalu ia tidak berqurban, maka janganlah ia mendekati tempat shalat Ied kami.” (HR Ahmad dan ibn Majah).
Wujud Syukur kepada Allah
Berkurban secara khusus Allah menjelaskan sebagai bentuk rasa syukur seorang hamba terhadap nikmat yang sangat banyak.
اِنَّآ اَعْطَيْنٰكَ الْكَوْثَرَ
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak.” (al Kautsar 1).
Maka dengan nikmat itu kita diperintahkan untuk menegakkan shalat, baik shalat secara struktural (kaifiyah) maupun secara fungsional. Dan di antara secara fungsional itu adalah berkurban.
Kerelaan berkurban menjadikan kita hidup bukan hanya berfikir untuk kepentingan diri kita sendiri. Tetapi juga memiliki kepekaan untuk juga bercita-cita memberikan kebahagiaan kepada orang lain.
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.” (al-Kautsar 2).
Berkurban yang secara syar’i adalah dengan menyembelih hewan kurban. Tetapi yang selalu harus diingat adalah bahwa setiap amalan itu haruslah dengan landasan jiwa dan semangat tauhid.
Yakni apa yang kita lakukan adalah ikhlas semata-mata mengharap ridla Allah tanpa ada harapan lain untuk dipuji atau lainnya.
Dan ikhlas inilah merupakan buah dari jiwa dan semangat tauhid tersebut. Lawan dari itu adalah syirik yang menyebabkan amalan tidak bernilai di sisi Allah, apalah artinya jika demikian.
Maka ikhlas mengasilkan sikap takwa kepada Allah. Ketaatan dan ketundukan kepada Allah secara utuh. Taat dengan tidak lagi berpikir tentang mengapa dan kenapa. Taat yang demikianlah merupakan bentuk takwa itu.
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (al-Hajj 37)
Semangat Takbir
Idul Adha merupakan hari raya besar karena adanya pesta penyembelihan hewan itu. Sebelumnya sebagaimana Idul Fitri; takbir, tahlil, dan tahmid juga selalu di kumandangkan.
Kalimat-kalimat tersebut merupakan lahir dari dalam diri kita, sebagai bentuk kesadaran yang dalam atas posisi diri kita di hadapan Sang Maha Pencipta.
Takbir, tahlil, dan tahmid menunjukkan kita mengagungkan Allah dengan segala dimensinya, menempatkan Allah sesuai dengan posisiNya sebagai satu-satunya yang ditaati dan diibadahi.
Tidak lagi membesarkan diri atau keluarga besarnya, juga tidak membesarkan dunia dengan segala isinya. Tetapi hanya me-Maha Besarkan Allah SWT saja.
Sangat tidak sesuai jika lisan kita bertakbir tetapi hati kita tidak menyesuaikannya. Sehingga kalimat takbir tersebut tidak merasuk dan menjiwai dalam diri.
Lisan bertakbir, di sisi lain banyak hukum-hukum Allah yang di tolaknya. Lisan bertakbir tetapi kesombongan masih melekat dalam diri. Sehingga apa makna takbir tersebut tidak berbekas dalam jiwa orang yang bertakbir.
Padahal semangat takbir merupakan semangat untuk membrangus kebohongan dan ketidakjujuran menuju keadilan.
Takbir merupakan semangat keberpihakan kepada kebenaran, semangat untuk senantiasa istikamah di tengah kehidupan yang penuh kepalsuan dan kemunafikan, semangat untuk berbakti sebagai khalifahNya untuk berbuat yang terbaik sebagaimana Allah telah berbuat terbaik kepadanya.
Jika takbir telah mampu menjadi spirit bagi kehidupan kita, maka di sinilah terdapat kesejahteraan lahir batin bagi umat manusia semuanya. Tiada lagi penindasan dan kesewenang-wenangan atas nama apapun, yang mampu menyantuni yang tidak mampu, semua bergerak dengan satu tujuan Yang Maha Agung hanyalah Allah SWT, semuanya kecil tak berdaya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.
Tulisan Memaknai Idul Adha ini adalah versi online Buletin Jumat Hanif edisi 48 Tahun ke-XXIV, 31 Juli 2020/10 Dzulhijah 1441 H. Hanif versi cetak sejak 17 April 2020 tidak terbit karena pandemi Covid-19 masih membahayakan mobilitas fisik