Jangan Mitoskan Tuhan. Kolom ditulis oleh Mohammad Nurfatoni, Pemimpin Redaksi PWMU.CO, aktif di Forum Studi Islam.
PWMU.CO – Dalam berbagai kepercayaan atau agama di luar Islam, dikenal adanya tradisi persembahan (offerings). Di antaranya berupa penyembelihan hewan, bahkan manusia.
Upacara ini dimaksudkan sebagai bentuk persembahan material berupa darah dan daging kepada tuhan yang menjadi penguasa alam (pantai, laut, kawah, gunung, hutan, sawah).
Persembahan tidak hanya berupa hewan. Ada juga makanan hasil panen, dan sebagainya. Dengan persembahan ini diharapkan tuhan tidak marah dan sebaliknya selalu memberi berkah. Bahkan, simbol-simbol persembahan juga ada yang memakai dalam mencegah penyebaran virus Corona.
Pandangan yang keliru tentang Tuhan inilah yang hendak dirombak oleh ibadah kurban. Dengan didasari oleh firman, “Tidak sampai kepada Allah daging dan darahnya. Tetapi yang sampai kepada-Nya hanyalah ketakwaan kalian …” (al-Hajj 37).
Penyembelihan hewan kurban tidak dimaksudkan sebagai persembahan darah dan daging kepada-Nya, tetapi hanya sebagai alat uji sejauhmana tingkat ketakwaan pelaku kurban itu.
Nah, bentuk konkret dari pelurusan itu bisa dilihat dari praktik distribusi daging kurban, “ … lalu makanlah sebagian dari dagingnya dan beri makanlah (dengan bagian lainnya) orang fakir yang sengsara.” (al-Hajj 28).
Jadi, dalam ibadah kurban, tidak ada sekerat daging pun yang terbuang mubadzir, dengan dalih untuk tuhan. Tuhan tidak butuh daging. Tuhan tidak butuh makan. Sebab dia berbeda dengan makhluknya (asy-Syura 11).
Mitos Tuhan
Dengan demikian, bisa disebut jika ibadah kurban adalah sebuah penolakan atas segala bentuk mitologi Tuhan. Yaitu pemitosan Tuhan menjadi sesuatu yang berbeda sama sekali dengan ‘realitas’ asasinya.
Dalam kaitan ini praktik mitologi Tuhan yang dimaksud adalah menganggap Tuhan sama dengan manusia—yang membutuhkan (persembahan) material. Tuhan dianggap butuh makan. Tuhan dikira butuh suap!
Dengan menolak mitologi Tuhan, maka ibadah kurban sekaligus mengajarkan bentuk penyembahan Tuhan yang benar. Dengan mengatakan, “… tetapi yang sampai kepada-Nya hanyalah takwa kalian…,” Tuhan ingin menunjukkan betapa kurban itu harus merefleksikan nilai spiritual terbaik seseorang (takwa).
Dalam Islam, nilai ketakwaan dibangun lewat keikhlasan, yaitu sikap memuarakan seluruh aktivitas demi dan untuk Allah semata. “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku, hanyalah kepada Allah Tuhan semesta alam.” (al-Anam 162).
Ibadah kurban mengajarkan keikhlasan karena di samping merelakan ‘melepas’ seekor hewan, kurban adalah penelusuran jejak ikhlas yang dasar-dasarnya telah diletakkan dengan sangat kokoh oleh sejarah teologis pengurbanan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Mereka menyambut perintah terberat sekalipun dari-Nya (menyembelih dan disembelih), demi taat atas perintah Allah (ash-Shaffat: 100-107). (*)
Materi ini disampaikan dalam khutbah Idul Adha oleh Mohammad Nurfatoni di rumahnya: WSI, Sidojangkung, Menganti, Gresik. Shalat Idual Adha 10 Dzulhijah 1441 atau 31 Juli 2020 dilakukan di rumah karena ada wabah Covid-19.
Saat pandemi masih berlangsung, Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah meminta shalat dilakukan bersama keluarga di rumah untuk memutus rantai penyebaran Virus Corona.