Siapa Sesungguhnya yang Disembelih Ibrahim? Kolom ditulis oleh M Arfan Mu’ammar, Sekretaris Program Pascasarjana Unversitas Muhammadiyah Surabaya.
PWMU.CO – Jika kita cermati dalam Surat as-Saffat Ayat 102, Allah berfirman: “Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, ‘Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!’
Dia menjawab, ‘Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.’.”
Dalam ayat tersebut, al-Quran menyebutkan “Wahai anakku”. Pertanyaan yang muncul, adalah anak Ibrahim yang mana? Karena Ibrahim memiliki dua anak, yaitu Ismail dan Ishak.
Lantas kepada siapakah Ibrahim berkomunikasi dalam ayat tersebut? Mari kita uraikan satu per satu.
Anak yang Dinanti-nantikan
Di antara para nabi yang oleh Allah SWT tidak karunai seorang anak hingga usia senja adalah Nabi Ibrahim dan Nabi Zakaria.
Nabi Zakaria terus memanjatkan doa: “Dan sungguh, aku khawatir terhadap kerabatku sepeninggalku, padahal istriku seorang yang mandul, maka anugerahilah aku seorang anak dari sisi-Mu.” (Maryam 5)
Setelah berdoa cukup lama, Nabi Zakaria pun akhirnya diberi kabar gembira akan hadirnya seorang anak yang bernama Yahya: “Wahai Zakaria! Kami memberi kabar gembira kepadamu dengan seorang anak laki-laki namanya Yahya, yang Kami belum pernah memberikan nama seperti itu sebelumnya.” (Maryam 17).
Begitu juga dengan Nabi Ibrahim. Puluhan tahun tidak dikaruniai seorang anak. Nabi Ibrahim pada akhirnya dikaruniai seorang anak setelah menikah dengan Hajar, yang kemudian diberi nama Ismail.
Setelah Hajar hamil dan melahirkan seorang anak, tidak lama kemudian Sarah juga hamil, sebagaimana kabar gembira yang diberikan Allah SWT dalam firmannya: “Dan istrinya berdiri lalu dia tersenyum. Maka Kami sampaikan kepadanya kabar gembira tentang (kelahiran) Ishak dan setelah Ishak (akan lahir) Yakub.” (Hud 71).
Kabar kelahiran itu diragukan oleh Sarah dengan mengatakan: “Dia (istrinya) berkata, ‘Sungguh ajaib, mungkinkah aku akan melahirkan anak padahal aku sudah tua, dan suamiku ini sudah sangat tua? Ini benar-benar sesuatu yang ajaib.’.” (Hud 72).
Kemudian malaikat menjelaskan: “Mereka (para malaikat) berkata, ‘Mengapa engkau merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat dan berkah Allah, dicurahkan kepada kamu, wahai ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji, Maha Pengasih.’.” (Hud 73).
Ujian Allah atas Ibrahim
Allah lantas menguji Ibrahim untuk menyembelih anaknya yang sudah dinanti-nantikan tadi, anak yang paling disayang, yang sudah puluhan tahun ditunggu kehadirannya? Siapakah dia? Ishak atau Ismail?
Tidak butuh waktu lama setelah menikah dengan Hajar, Ibrahim dikaruniai seorang anak. Tapi tidak dengan Sarah, butuh waktu puluhan tahun Ibrahim dikaruniai anak melalui pernikahannya dengan Sarah.
Ibarat sepasang pasutri yang puluhan tahun belum memiliki keturunan, setelah usia senja, baru diberi keturunan. Tentu akan terjadi euforia, rasa senang yang amat sangat. Anak yang dinanti-nanti itupun sangat disayang dan dicintai. Apa saja yang diminta dan diinginkan oleh anak tersebut akan diberikan dan dibelikan, demi anak yang sangat dicintainya itu.
Anak dari siapakah yang paling ditunggu-tunggu dan dicintai dalam kisah Ibrahim tersebut? Sepertinya cenderung mengarah ke Ishak, karena alasan yang saya sebutkan tadi.
Tafsir Generasi Awal
Jika kita telusuri referensi tafsir generasi awal seperti Muqatil bin Sulaiman (150H/767M), disebutkan bahwa “al-dzabih huwa Ishak” yang disembelih adalah Ishak.
Bahkan, pada penafsiran generasi selanjutnya yaitu tafsir al-Tabari (wafat 310/923) Jami’ al-Bayan fi Ta’wil Ay al-Quran, al-Tabari mencatat terdapat 17 riwayat yang mengatakan bahwa adzabih huwa Ishak (yang disembeli adalah Ishak).
Sedangkan riwayat pro-Ismail, terdapat 24 pendapat. Yang menarik adalah Tabari sendiri memilih pendapat yang mengakui Ishak sebagai korban. Ia memulai pendapatnya dengan kalimat “awla al-qaulain bi al-shawab” (pendapat yang paling mendekati kebenaran di antara keduanya).
Nah, baru pada masa Ibnu Taimiyah (wafat 726/1328) dan didukung oleh muridnya, Ibnu Katsir (wafat 774/1373), yaitu pada abad ke14, pendapat Ismail sebagai korban (yang disembelih) mendapat pengakuan luas, dan diikuti kaum Muslim hingga sekarang. Sedangkan Ishak tidak banyak kita temukan di penafsiran kontemporer.
Terlepas dari perdebatan itu, pada akhirnya Ibrahim mampu melalui ujian tersebut dengan meneguhkan hati dan didukung oleh anak Ibrahim untuk tetap menyembelihnya.
Karena keteguhan hati Ibrahim, lalu Allah SWT mengganti anak Ibrahim yang akan disembelih tadi menjadi sesembelihan yang besar: “Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (as-Saffat 107).
Jadi, yang disembelih sebenarnya bukan Ismail atau Ishak. Tetapi domba! (*)
Siapa Sesungguhnya yang Disembelih Ibrahim? Editor Mohammad Nurfatoni.