Jatuh ke Lubang yang Sama Berkali-kali tulisan opini Ali Murtadlo, wartawan di Surabaya.
PWMU.CO-Saya salut kepada ketiga lembaga ini. Sama-sama mundur dari keikutsertaan Program Organisasi Penggerak (POP). Tapi sama-sama menyampaikannya dengan santun. Baik Muhammadiyah, NU, maupun PGRI. Menyatakan batal ikut tapi tetap akan membantu pemerintah khususnya Kemendikbud dalam pelatihan guru dan kepala sekolah, tujuan utama POP.
Salut berikutnya, ketiganya tidak terlalu tergiur dengan dana POP sebesar Rp 20 miliar untuk kategori gajah, Rp 5 M kategori macan, dan Rp 1 M kategori kijang. Melihat kiprahnya selama ini di dunia pendidikan, tentu ketiganya pantas sekali dimasukkan kelas gajah bahkan gajah super. Berarti mereka rela melepas dana sebesar Rp 20 M itu.
Uang itu mereka tinggalkan dengan enteng. Muhammadiyah belum menjawab meski sampai dikunjungi Mas Menteri di kantor pusatnya di Menteng Jakarta. NU dan PGRI juga belum merespon meski menteri yang masih 36 tahun ini, sudah minta maaf dan mengharapkan ketiga lembaga ini tetap ikut serta.
”Kemendikbud berharap bimbingan dari NU, Muhammadiyah dan PGRI. Kami siap mendengar dan belajar,” katanya setelah menyatakan minta maaf.
Harga Diri dan Martabat
Ketiganya lebih mementingkan pride (harga diri) dan dignity (martabat) ketimbang uang. Mereka merasa ada yang kurang klir pada program ini. Salah satu alasannya, mengapa dua konglomerat melalui dua yayasannya, Sampoerna Foundation dan Tanoto Foundation diperbolehkan menikmati dana APBN sebesar Rp 576 M setahun.
Lazimnya perusahaan raksasa, mestinya mereka menggunakan dana CSR perusahaannya untuk membiayai program-programnya. Mas Menteri belakangan sudah mengonfirmasi bahwa dua yayasan ini akhirnya tak menggunakan dana APBN sepeserpun.
Pertanyaannya, mengapa pada awalnya sampai diperbolehkan ikut? Apakah jika tidak ada pertanyaan kritis tentang itu, mereka tetap ikut dan menerima dananya? Benarkah alasan bahwa pogram-program mereka sangat bermanfaat untuk POP? Sudah sejauh mana track recordnya di bidang penanganan pendidikan?
Kita jatuh ke lubang yang sama berkali-kali. Ribut-ribut Kartu Prakerja yang menyebabkan stafsus Presiden Belva Devara mundur mestinya jadi pelajaran. Ada konflik kepentingan Ruangguru miliknya yang bermitra dengan pelatihan Program Kartu Prakerja yang menyedot dana negara Rp 5,6 triliun.
Terakhir dan sangat mengejutkan adalah kasus Djoko Tjandra dan Brigjen Prasetijo. Bagaimana seorang pelarian bisa diterbitkan surat jalan oleh institusi yang tugasnya justru memberantas kejahatan.
Banyak pelajaran yang bisa diambil hikmahnya. Terutama adalah program yang kesannya sembunyi-sembunyi untuk keperluan tersembunyi, akhirnya ketahuan juga dan baunya menyengat luar biasa.
Sebuah pelajaran tata kelola yang memprihatinkan di tengah digalakkannya good governance, tata kelola organisasi yang baik. Lesson learned luar biasa bagi yang mau mengambil lesson-nya, pelajarannya. Salam!
Editor Sugeng Purwanto