H Fatich Marzuki, Pengusaha Walet Donatur Dakwah. Ditulis oleh Nadjib Hamid, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM), Jawa Timur.
PWMU.CO – Sukses dakwah Muhammadiyah di berbagai tempat, tidak terlepas dari peran para pengusaha. Umumnya mereka tidak banyak bicara, tapi nyata aksinya. Peran itu pula yang dilakukan H Fatich Marzuki semasa hidupnya.
Pria kelahiran Peneleh, Surabaya, 15 Februari 1943 ini dikenal sebagai pengusaha budidaya burung walet, yang harga liurnya waktu itu sangat berjaya. Kami para aktivis angkatan muda Muhammadiyah (AMM) era 90-an sempat ikut menikmati kejayaannya. Beberapa kali dibantu biaya kegiatan melalui istrinya. Pada zaman itu, tidak banyak donatur seperti dia.
Misalnya, ketika akhir tahun 1996, AMM Jawa Timur dimotori Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah hendak menggelar tabligh akbar di gelora Tambaksari, Surabaya, kesulitan biaya transportasi rombongan panitia ke Yogyakarta untuk menemui pembicara utama, dapat sumbangan dari keluarga H Fatich Marzuki.
Ringkasnya, jika AMM punya kegiatan dan ada masalah dana, selalu sambat pertamanya ke keluarga beliau. Belum lagi bantuan untuk organisasi atau yayasan keagamaan lainnya.
Jiwa Bisnis dari Orangtua
Jiwa bisnis anak pertama dari empat bersaudara, ini tertular dari kedua orangtuanya. H Marzuki Ilyas dan Hj Amenah, yang sama-sama berasal dari kampung Peneleh Surabaya, adalah pedagang mebel.
“Usaha Mbah Marzuki, toko mebel yang berada di samping pertokoan Siola Surabaya,” kata Indah Fajar, anak nomer dua yang kini studi S3 di Malaysia.
Jiwa kedermawanan Fatich tak lepas dari didikan SD Muhammadiyah 2 Peneleh, Surabaya. Kemudian terus terpupuk melalui pergaulan dan aktivitas kesehariannya yang rata-rata tidak jauh dari organisasi keagamaan. Plus didukung penuh oleh isterinya yang aktivis NA dan Aisyiyah Wilayah Jawa Timur.
Lulusan SMPN 3, dan SMAN 4 Surabaya yang sempat kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga (Unair) hingga memperoleh gelar sarjana muda dengan titel BSc, ini mengakhiri masa lajang pada 5 Juli tahun 1967 dengan menikahi Masnunah Hanim, gadis asal Sidayu Gresik.
Masnunah adalah anak ke-3 dari 11 bersaudara. Ayahnya, Haji Mansur, salah seorang pengusaha walet yang cukup terkenal di Sidayu. Sedangkan ibunya, Hajah Khadijah masih ada hubungan darah dengan Hj Amenah (sepupu).
Kisah Pernikahan
Saat kali pertama melihat Masnunah kecil yang cantik, Bu Amenah langsung kesengsem, dan meminta besanan dengan Khadijah. Namun, Khadijah tidak langsung menjawab, mengingat Masnunah masih terlalu kecil untuk dinikahkan.
Setelah Masnunah lulus dari Pesantren Persis Puteri Bangil, yang diasuh ustad Abdul Kadir Hasan, kemudian melanjutkan kuliah di Fakultas Syariah, IAIN Sunan Ampel. Di perguruan tinggi agama negeri, yang kini berubah menjadi Universitas Islam Negeri Sunan Ampel ini, Masnunah aktif di HMI (Himpunan Mahasiswa Islam).
Sebagai sesama aktivis HMI yang sering kegiatan bersama, Fatich dan Masnunah pun mulai saling mengenal lebih lanjut. Mengetahui anak-anaknya sudah runtang-runtung bersama, orang tuadari kedua pihak tak mau lagi menunggu lama.
Masnunah mendadak diminta untuk menikah oleh kedua orangtuanya, saat kuliah baru dijalani dua tahun. Dengan perjanjian, setelah menikah Masnunah masih tinggal di asrama IAIN. Sementara Fatich juga tetap tinggal dengan kedua orangtuanya, di Peneleh.
“Namun seiring berjalannya waktu, merasa punya hak sebagai suami, Fatich selalu menjemput Masnunah saat liburan akhir pekan,” kata Indah Fajar menirukan pengakuan bapaknya suatu ketika.
Dua tahun setelah menikah, sebelum sempat menyelesaikan studinya, lahirlah anak pertama, Iwan Qomaruddin (19 Juli 1969). Lulusan Untag Surabaya inilah yang mengikuti jejak bisnis ayahnya, yaitu jual beli dan mencuci sarang burung walet.
Pada 11 September 1970, lahir anak kedua, Indah Fajar Wahyuni. Lulusan S1 UMSurabaya tahun 1996 dan S2 UNS 2003, itu menekuni dunia pendidikan, sebagai dosen di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.
Sedangkan anak ketiga, Intan Rahma Fitri, lahir pada 5 November 1973. Lulusan MIPA Biologi Unair ini sempat mengajar di SMP Muhammadiyah 18 Rungkut selama kurang lebih 3 tahun. “Namun saat Bapak mulai sakit-sakitan, beliau meminta saya berhenti mengajar dan mulai mengelola bisnis budidaya walet sampai sekarang,” kata Intan.
Pada 6 Januari 19976, lahir anak keempat Irfin (Piping). Lulusan FH Ubaya, dan Notariat Unair, kini membuka Kantor Notaris & PPAT di Driyorejo, dan menjadi anggota Majelis Waqaf Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Gresik. Dia dianggap mewarisi bakat Bapaknya, yang pandai menulis puisi.
Puisi untuk Bapak
Salah satu karyanya berikut ini:
Bapak di mataku
Teringat ketika kecil dahulu
Bercerita apa saja agar terlelap tidurku
Sang kancil dan musuhnya yang tertipu
Atau parikanya yang diulangnya selalu
Ditembak lakak lakak…
Disuduk mantuk-mantuk…
Dikei bantal klesetan…
Bapak di mataku
Menyenangkan dan lucu
Mainan model terbaru, jajanan dan uang saku
Selalu terpenuhi keinginanku
Bapak di mataku…
Pulang kerja berebut kami membuka pintu
Dengan minuman dan mengganti sepatu
Bahkan langsung mengajak jalan-2 beliau tak jemu…
Sayangnya kami kemudian bertumbuh
Khususnya aku…
Kentalnya darah mengalir di jiwaku
Sehingga keras dan kaku menurun padaku
Dan lima menit bersama kami pasti berjibaku…
Selain anak kandung, keluarga ini juga mengangkat seorang ponakan, yaitu Najich Nasrullah (Inung). “Dia anak dari almarhum pakde Yunus yang sudah kami asuh sejak usia seminggu dari kelahirannya tanggal 4 Februari 1980,” tutur Indah Fajar seraya menambahkan bahkan Lulusan FH Universitas Putra Bangsa Surabaya, itu menikah dengan anak Bandung, ikut membantu memasarkan produk walet dan punya usaha frozen food.
Jarang Tampil di Panggung
Sebagai pengusaha, H Fatich Marzuki pernah menjadi anggota Majelis Ekonomi PWM Jatim periode 2000-2005. Juga di KAHMI (Korp Alumni HMI), ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), dan DDII (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia) Jawa Timur. Bahkan di Yayasan Perjalanan Haji Indonesia (YPJHI) Al Falah Surabaya masuk pengurus sejak 1986 hingga wafat pada 19 Juli 2017.
Meski terlibat dalam banyak organisasi, Fatich seperti umumnya para pengusaha, jarang tampil di atas panggung. Sehingga namanya kurang dikenal publik secara luas. Tapi kontribusinya pada dakwah nyata adanya.
Pada 1985-1990 menjadi Ketua KPSA (Kelompok Pelestari Sumber Daya Alam) Jatim. Dalam kapasitas sebagai Ketua KPSA itulah, beliau keliling Indonesia untuk kampanye melestarikan burung walet. Sampai akhirnya membuat laboratorium mandiri: Pusat Rehabilitasi Sarangburung (Walet), yang membolehkan siapa saja belajar ilmu Walet dan boleh mengunjungi rumah walet.
“Padahal waktu itu tak ada seorang pun pemilik rumah walet yang mengizinkan orang lain masuk rumah waletnya,” ungkap Iwan.
Hobi Nyanyi Keroncong
Serasi dengan pembawaannya yang kalem, Fatich punya hobi menyanyi keroncong dan membuat kidungan. Bahkan pernah menyusun buku kidungan, dan dijual di salah satu toko buku besar di Surabaya. Dengan teman-teman SMA-nya, beliau sering berkumpul untuk berkeroncong ria.
“Kami anak-anaknya sering protes. Karena jika beliau menyetir ke luar kota, hanya lagu keroncong yang boleh diputar,” kata Indah (sesekali kata anaknya yang lain).
“Suatu saat beliau pernah saya ajak makan di Pujasera Darmahusada, yang ada live musik keroncong. Dengan sangat pede beliau menyanyi beberapa lagu. Lantas menyumbangkan speaker pada kelompok tersebut,” Indah menambahkan.
Gigih Perjuangan Idealisme
Meski pembawaannya kalem, Fatich sangat gigih dalam memperjuangkan idealisme dan ide-idenya. Misalnya, ketika menyaksikan di tembok-tembok Masjid al-Haram banyak sarang burung liar, dia terketuk untuk membantu membersihkannya.
“Pernah beberapa kali kirim surat ke Raja Arab Saudi untuk menawarkan pembersihan sarang burung liar yang banyak menempel di Masjid al-Haram,” ungkap Masnunah Hanim memberikan contoh.
Demikian pula ketika dia melihat daerah Gresik dijejali polusi setiap hari, dia beberapa kali mendatangi kantor Pemda Gresik untuk membicarakan cara mengurangi polusi di Gersik. Hal itu dilakukan, karena menurutnya polusi akan merusak ekosistem Walet yang berbasis di Sidayu, Gresik.
“Namun usaha tersebut tidak pernah ditanggapi. Akhirnya desa walet di Sidayu ditinggalkan oleh burung walet. Sehingga sembilan puluh persen walet migrasi keluar dari Sidayu,” kenang aktivis Aisyiyah Jatim tersebut dengan wajah menyesal.
Dalam pandangan anak-anaknya, almarhum adalah orangtua yang sabar. “Sejak saya kecil beliau selalu berusaha memenuhi keinginan anaknya,” kesan Indah. Namun menurutnya, beliau kalau punya keinginan juga tak boleh dicegah. “Apa pun akan beliau lakukan sampai keinginannya terpenuhi.”
Bahkan mantan anggota BPK Universitas Muhammadiyah Surabaya itu seringkali punya ide nyleneh. Misalnya, pada 2014-2015, ketika bisnis walet mulai surut, beliau membuat kapal (perahu) dari paralon bulat dan tong plastik besar warna biru.
Perahu tersebut sempat dites di Fakultas Perkapalan ITS. Beberapa kali juga dites di sungai Ngagel. Sebatas untuk mengetahui bahwa perahu tersebut bisa mengapung dan jalan.
“Bapak berusaha memasarkan ke beberapa tempat, tapi karena kualitas dan keamanannya tidak maksimal sehingga banyak yang menolak,” kata Indah seraya menambahkan bahwa anak-anaknya juga diminta untuk menawarkan, tapi ora tegel. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.