Andai Pelatih, Nilai Transfer Ortu Selangit, kolom ditulis oleh Ichwan Arif, Guru SMP Muhammadiyah 12 GKB, Gresik.
PWMU.CO – Andai pelatih, nilai transfer orangtua bisa selangit apabila mampu antarkan anaknya meraih sukses. Ini sebuah analogi bagaimana menyamakan orangtua dengan pelatih sepak bola.
Pelatih Liverpool atau Read Madrid yang barusan menjadi juara di Liga Inggris dan Spanyor, semisal, otomatis akan meroketkan nilai transfernya ketika mampu membawa klubnya meraih prestasi tertinggi.
Jurgen Klopp maupun Zinedine Zidane yang berhasil mengantarkan klubnya menjadi raja di liga. Bandrol harganya naik dua kali lipat apabila ada klub yang pingin membajaknya.
Keberhasilan keduanya bukanlah bimsalabim, membalik telapak tangan, dengan cara instan. Mereka melakukan proses panjang yang menguras fisik maupun psikis untuk bisa meramu dan menjadi mereka tim superkuat, disegani.
Yakin, dia membutuhkan waktu dalam berproses dan bertumbuh. Mulai mendatangan pemain yang cocok dan pas di jendela transfer dan memastikan tim kompak di semua lini. Penjaga gawang mumpuni, pertahanan kokoh, pengatur serangan ciamik, dan penyerang yang haus gol. Inilah tim impian.
Tidak lupa, racikan strategi jitu juga memegang peran penting ketika timnya berhasil melenggang di panggung juara. Proses dan bertumbuh mereka membuatkan hasil, tropi juara.
Andai orangtua sebagai coach yang berhasil memberikan proses sempurna layaknya pelatih Liverpool atau Read Madrid, bukan tidak mungkin itu adalah tipe orangtua yang dirindukan anak. Anak bak pemain yang mampu mengembangkan talenta, kreatif, dan inovatif.
Anak memiliki passion dalam proses belajar, baik di kemampuan akademik dan nonakademik. Bertumbuh sesuai dengan umurnya. Kalau dalam sepak bola, anak itu bisa disejajarkan dengan Mohamed Salah, pemain Liverpool atau Karim Benzima, pemain Real Madrid. Nilai jualnya bisa langsung melonjak.
Pandemi Covid-19 dan Peran Orangtua
Di masa pandemi Covid-19, Merdeka Belajar yang telah dicanangkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nadiem Makarim harus tetap jalan. Jangan sampai program ini mandek, ikut-ikutan di lockdown gara-gara wabah ini.
Ketika sekolah melaksanakan pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang secara ruang waktu belajar anak secara tatap muka di sekolah terhambat diganti dengan virtual, proses edukasi anak tidak boleh jalan di tempat. Atau malah berhenti.
Orangtualah yang harus menangkap peluang ini. Intensitas dan kuantitas waktu dengan anak lebih banyak. Orangtua adalah ‘tangan’ pertama bagi anak dalam bertumbuh dalam belajar.
Mereka memiliki peran sentral dalam membuat dan membuat road map skenario masa depannya. Munif Chatib dalam buku Orangtuanya Manusia (2012) mengatakan dengan ‘jasa’ orangtua yang sangat besar ini seharusnya anak lebih mudah terpengaruh orangtua daripada lingkungan pertemanan mereka.
Menurut dia, anak akan menghabiskan waktu sejak 0-18 tahun pertamanya lebih banyak dengan orang-orang terdekat dalam keluarga, bukan orang lain. Mereka memang merawat, memberik makan, menutupi anaknya dengan baju, tetapi tidak mendidik anaknya.
Ini menjadi pekerja rumah bagi orangtua. Mendidik anak tidak bisa dipasrahkan bongkoan kepada sekolah. Integrasi dan sinergitas orangtua dan sekolah harus menjadi kunci sukses. Apalagi dalam pendidikan karakter.
Sekolah bukanlah pabrik, memasukkan bahan baku seng, keluar langsung jadi panci. Pendidikan karakter itu pandasi anak dalam menajemeni olah rasa, olah pikir, olah hati, dan olah raga. Ini berkaitan dengan pembiasaan, habit. Maka, orangtua harus menjadi garda terdepan menjadi creator, pendidik, sekaligus figur teladan.
PJJ yang menfasilitasi pembelajaran akademik maupun life skill yang dilakukan sekolah harus diracik, sekaligus ditambahi bumbu oleh orangtua di rumah. Rempah-rempah apa? Pendidikan karakter.
Resep ini harus bisa memberikan nuansa ‘baru’ sehingga anak dalam tidak terlalu capek, jenuh, atau malah gabut mengikuti Zoom atau PJJ.
Phobia Orangtua dalam ‘Mendidik’
Anak adalah harta karun bagi orangtua. Dia memiliki talenta yang bisa dijadikan bintang. Ketika proses bertumbuh di rumah dan di sekolah benar, maka anak menjadi baik juga.
Sebaliknya, ketika bertumbuh di sekolah baik, tetapi di rumah kurang diperhatian, proses bertumbunya juga akan tersendat. Atau, bertumbuh di rumah baik tetapi di sekolah ada masalah, itu pun bisa dipastikan ada masalah dalam diri si anak.
Orangtua harus menjadikan partner bagi anak. Dia harus mampu menjadi teman dalam proses belajar. Ini yang kadang disalahartikan oleh orangtua di rumah. Ketika pandemi Covid-19 yang mengharuskan anak mengikuti PJJ orangtua menjadi guru di rumah.
Pemahaman inilah yang mengakibatkan ada orangtua ‘phobia’ saat menggantikan guru bagi anaknya di rumah. Dalam proses PJJ itu, orangtua hanya memosisikan sebagai teman yang bisa memotivasi, memperhatikan, dan mengarahkan. Perihal konten materi, anak bisa menyelesaikan dengan gurunya, baik lewat virtualclass, Zoom, atau media sosial lain.
Orangtua yang bekerja, apakah memiliki kendala? Pertanyaan ini seharusnya menjadi proses pembelajaran untuk orangtua. Bagaimana mereka mengatur strategi dalam menata waktu yang pas, tepat untuk memberikan perhatian dan memotivasi belajar pada anak.
PJJ, prioritas utamanya adalah bagaimana orangtua memberikan motivasi pada anak. Orangtua harus paham dan mengerti jadwal PJJ sehingga bisa melakukan kontrol proses belajarnya anak.
“Adek, jadwal hari ini ada PJJ di Zoom ya. Ayo segera disiapkan!”
“Apakah masih ada tugas yang belum diselesaikan, Dek?”
Peluang Orangtua Jadi Guru bagi Anak
Memang, figur orangtua akan menjadi seperti guru saat anak belajar di sekolah. Mengontrol dan memperhatikan aktivitas anak saat belajar. Ini ada realitas yang harus dilakukan orangtua dan bukan terus menyalahkan Covid-19.
Apakah ada hikmah di balik ini semua? Pasti. Ini adalah peluang bagi orangtua untuk menjadi ‘guru’ bagi anak. Kualitas waktu dengan anak bisa lebih banyak. Bisa mendalami dan menggali talenta, kembangkan karakter, dan juga hobi anak.
Hal yang sangat penting lagi adalah bagaimana orangtua menjadi role model bagi anak. Dia adalah orang yang mampu mengangkat sekaligus meroketkan pendidikan karakternya. Apakah bisa? Jawabannya sangat bisa. Dia adalah teladan sekaligus guru terbaik.
Bagaimana dengan pendidikan literasi? Tidak bisa dipungkiri, karakter ini adalah ‘pintu’ anak untuk membuka proses belajar ‘materi’ yang lain. Mulai dari kemampuan baca tulis, numerasi, sains, finansial, digital, serta budaya dan kewargaan.
Orang Pertama Tanamkan Literasi
Era pandemi, harus menjadi tonggak merdeka belajar bagi anak dan orangtua saat bertumbuh di rumah, terutama tanamkan karakter literasi. Hal ini sangatlah penting karena bangsa yang maju tidak hanya dibangun oleh sendi kekayaan alam dan kuantitas jumlah penduduknya. Bangsa besar ditandai kemampuan literasi masyarakatnya.
Budaya membaca kita menjadi masalah krusial. Ini belum sepenuhnya menjadi habit. Kesenjangan mereka yang terbiasa membaca dan yang tidak terbiasa jauh. Orang yang terbiasa membaca semakin pintar karena semakin berilmu dan berpengetahuan, sedangkan orang yang tidak terbiasa membaca akan semakin lemah karena kurang berpengetahuan dan sedikit ilmu.
Dampak yang sangat terasa adalah ketidakmampuan mereka mencerna dengan benar tulisan, apakah itu hoax atau fakta. Maka penyebaran hoax saat ini semakin luar biasa karena lebih mendasarkan pada rasa emosional dibanding rasional.
Orangtua juga memiliki sumbangsih untuk bisa menjadikan anak-anak lebih dekat dengan literasi.
Menurut Karin Ireland (2003) dalam buku 150 Cara untuk Membantu Anak Meraih Sukses orangtua menambah waktu setengah jam untuk membaca menjadi menarik bagi si anak karena alternatif lain hanyalah pergi tidur. Karena membaca merupakan aktivitas ‘istirahat’, hal itu tidak akan terlalu mengganggu waktu tidurnya.
Ketika masa pandemi, gerakan literasi sekolah praktis tidak bisa dilakukan di sekolah. Sebagai gantinya, orangtualah yang melakukan memonitor dan sekaligus memotivasi anak di rumah.
Kalau di sekolah ada durasi waktu 15 menit sebelum mengikuti proses belajar mengajar (PBM), di rumah, orangtua bisa lebih fleksibel dalam menerapkan.
Pembiasaan Orangtua Dorong Literasi
Budaya literasi inilah yang harus dibidik orangtua. Secara umum, orangtua mengambil peran strategis dalam perkembangan budaya ini. Bagaimanapun juga, anak gampang meniru hal-hal yang berada di sekitar mereka, termasuk kebiasaan orangtua.
Orangtua yang senang bertanam akan membuat anak menyenangi tanaman. Demikian pula orangtua yang suka membaca akan menularkan kebiasaan tersebut kepada anaknya. Ibaratnya buah jatuh tak jauh dari pohon.
Budaya literasi lebih mudah tertanam dengan peran orangtua. Dia adalah figur yang mampu menjadi contoh. Mulai dari pembiasaa kecil, sederhana dengan membaca koran, majalah, artikel ringan sampai dengan membaca buku fiksi.
Pembiasaan yang tidak boleh dilewatkan orangtua juga mengajak anak mengunjungi perpustakaan terdekat, ‘liburan’ ke toko buku ketika akhir pekan, jadikan buku sebagai reward sebagai apresiasi atau merayakan prestasi anak, dan memberikan nutrisi buku yang ‘bergizi’ untuk perkembangan kepribadian anak.
Akan semakin lengkap, apabila orangtua mampu mengontrol dengan rapi isi buku. Tidak semua buku baik bagi perkembangan anak. Hanya buku-buku bermutulah yang mampu menumbuhkan karakter positif anak.
Di sini orangtua sangat berperan untuk menyeleksi, bacaan mana yang menyehatkan dan bermanfaat. Buku yang pas dan cocok sesuai umur, logika, dan pemahaman anak.
Sadar gerakan literasi sekolah tidaklah cukup amunisinya sekolah. Arsenal yang bisa memiliki daya ledak adalah peran orangtua. Figur ini tidak boleh hilang atau menghilang.
Orangtua tidak boleh acuh tak acuh, sambil lalu, atau tidak memperdulikan. Ibaratnya pertandingan sepak bola, kalau pelatihnya sudah tidak menghiraukan anak asuhnya di lapangan, apa adanya saja, maka permainan bisa ditebak, hujan gol pun terjadi.
Apakah anak kita harus mengalami permasalah sedratis ini?
Kalau dia adalah investasi jangka panjang, orangtua seharusnya sudah punya plan yang jelas dan tepat. Prioritas dan target apa yang dikehendaki. Sukses anak tidak bisa diukur semata-mata lewat nilai. Sukses anak pun bisa distimulasi melalui pendidikan karakter, literasi. Inilah yang harus menjadi pahami orangtua ketika akan menjadi pelatih yang baik anak. Menjadi orangtua yang dirindukan anak.
Perlakukan Anak secara Hormat
Merdeka belajar secara sederhana adalah bagaimana kita memberikan perlakukan anak secara hormat dalam proses belajar dan bertumbuh. Terkait dengan literasi, orangtua harus mampu membantu perkembangan kepercayaan dan harga diri anak.
Mengajak anak belajar dari apa yang dia lihat. Dari televisi, Youtube, koran, majalah, lingkungan sekitar, internet, sampai dengan pengalaman orang-orang sukses. Imun ini harus kita gelorakan. Anak diberi kebebasan selanjutnya diarahkan. Bukan malah dilarang tanpa diberikan alasan mengapa?
Inilah merdeka belajar sebenarnya. Memberlakukan anak dengan hormat. Dia diberikan ruang gerak dalam mengasah diri. Mulai olahrasa, olahpikir, olahhati, maupun olahraga.
RPP ‘Literasi’ ala Orangtua
Literasi adalah media belajarnya. Ketika anak yang masih duduk di bangku TK maupun SD, orangtua bisa membuat ‘Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)’ lebih kreatif dan menarik bagi anak.
Sadar untuk bisa menarik minat anak, RPP ala orangtua ini pun terkondisikan dengan baik rapi walaupun kelasnya adalah ruang tamu atau keluarga. Membuat perlombaan membaca buku cerita plus menyampaikan pesan dari isi buku.
Beberapa buku disediakan, panggung disiapkan, konsumsi dihidangkan, penonton siap memberikan aplusan meriah. Kakak jadi MC, orangtua sebagai juri, adik sebagai peserta.
Suasana inilah adalah drama literasi yang bisa diciptakan di ruang kelas baru anak, di rumah. Selain termotivasi, anak juga tidak merasa sudah menjalani proses belajar. Suasana enjoy and fun ini acara contoh memberlakukan belajar anak dengan hormat.
Membaca yang dilakukan anak adalah proses memahami dan mengingat apa yang dibaca. Kalau proses ini dilakukan secara kontingu dan berkualitas, maka kemampuan berpikir, beropini, dan problem solving anak bisa bertambah dan meningkat.
Kemampuan literasi berkomunikasi pada anak akan mempengaruhi perkembangan sosial, emosi dan kognitif. Ketika perkembangan ini bisa dioptimalkan, anak akan mampu berkomunikasi di lingkungan sekitar. Dampak yang bisa dirasa adalah rasa percaya diri dan proses adaptasi anak di lingkungan semakin mudah.
Home literacy mau tak mau harus dicipta. Orangtua harus terlibat langsung sekaligus mampu menciptakan suasana yang menyenangkan. Anak dan orangtua bersama-sama terlibat dalam membaca dan menulis sehingga memberikan energi positif bagi proses belajar anak.
Orangtua Madrasah Utama
Orangtua merupakan madrasah utama bagi anak dalam mendapatkan pendidikan. Guru dan sekolah merupakan madrasah lanjutan bagi para siswa. Pemahaman ini yang mengharuskan orangtua memiliki andil besar dalam ketercapaian dan berkemajuannya pengetahuan, wawasan, dan karakter anak.
Orangtua tidak lepas tangan, menyalahkan, bahkan sekadar menyerahkan pada sekolah untuk mengubah dan menjadikan anak jadi bintang. Pemain sekaliber Cristiano Ronaldo pun, kepiawaian pun pasti berkat jasa dan tangan dingin para pelatih di klubnya.
Tidak mungkin dia lahir langsung jadi pemain besar dan tenar. Tidak mungkin juga dia hanya duduk di pinggir lapangan tanpa mengikuti latihan, langsung menjadi pemain termahal di dunia.
Suksesnya anak pun demikian. Andil orangtualah yang menentukan. Di tangan dingin orangtualah anak-anak kita menjadi cemerlang. Mereka menempah dan ditempah proses panjang, berliku. Butuh tenaga, fisik, bahkan psikis untuk bisa membawa dan mengarahkan anak menuju tangga sukses.
Sudahkah orangtua menjadi coach bagi anak-anaknya?
Jadi Coach Maksimalkan Potensi Anak
Predikat ini secara otomatis melekat. Bukan melalui proses tranining untuk mendapatkan lisensinya. Lisensi itu ada keluarga. Maka, orangtua sejatinya menjadi coach, yakni orang yang membantu anak mencapai tujuan dengan memaksimalkan potensi dari diri.
Coach harus mendamping anak dalam bertumbuhnya. Hal dilakukan supaya bisa mengukur dan memaksimalkan potensi yang ada pada diri anak. Apa kekurangan, kelemahan, maupun langkah yang jitu untuk bisa mencapai tujuan. Ketrampilan, strategi coach inilah yang diperlukan guna bisa menjadikan kemampuan anak melejit.
Maka, coach kelas dunia sudah memiliki skema, trik, jurus, program latihan, maupun jadwal tryout, bagimana menjadikan para pemainnya siap tanding dan berhasil meraih kemenangan.
Orangtua pun harus memilikinya. Dia harus membuat plan, jadwal, latihan, evaluasi, sampai dengan reward yang akan diberikan ke anak. Proses latihan terus lakukan dengan mempertimbangkan kualitas.
Maka, orangtua akan menyandang sebagai pelatih sekelas Jurgen Klopp maupun Zinedine Zidane yang memiliki nilai transfer selangit. Keberhasilan orangtua menjadi pelatih sukses bagi anak-anaknya. Pelatih yang bisa menjadikan anak-anak memiliki karakter terbaik.
Orangtua akan panen hasil. Anak memiliki kemampuan literasi yang ditunjang dengan perkembangan mental dan kompetensi komunikasi yang bagus. Ketika orangtua menjadi coach kelas dunia, maka anaknya mengikuti kesuksesannya. Dia akan menjadi pemain kelas dunia. Menjadi anak-anak yang bisa memberikan kebanggaan pada orangtua.
Menjadi orangtua yang dirindukan dalam merdeka belajar saat pandemi Covid-19 memang keharusan dan kewajiban. Di tangan dialah pendidikan karakter anak, terutama literasi itu bisa dikembangkan dan dilejitkan.
Dengan proses bertumbuh yang tepat dan baik, anak dan orangtua bersama-sama menguatkan, maka pendidikan secara hakiki itu bisa dicapai. Horison pendidikan sejatinya ada di dalamnya.
Betul, andai sebagai pelatih, nilai transfer orangtua bisa melangit ketika bisa membawa anak-anak brilian plus sukses. Semoga. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.